Popular Post

Archive for Maret 2013

sistem Pengelolaan Pemerintah Daerah Dalam Era Reformasi

By : Sopriadi Ahmad




KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sembahkan kepada ALLAH SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “sistem Pengelolaan Pemerintah Daerah Dalam Era Reformasi”. dan tidak lupa pula solawat beriring salam penulis  hadiahkan  kepada junjungan alam yakni    nabi Muhammad  SAW sebagai pembawa syari’at Islam, keluarga dan sahabat, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan di sebabkan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis.Oleh sebab itu, penulis  mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan. Penulis mengharapkan  keritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan penulis makalah berikutnya.


                            Pekanbaru, 20 maret 2013


      Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia berdasarkan pendekatan kesisteman meliputi sistem pemerintahan pusat atau disebut pemerintah dan sistem pemerintahan daerah.  Praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam hubungan antarpemerintah , dikenal dengan konsep sentralisasi dan desentralisasi.  Konsep sentralisasi menunjukkan karakteristik bahwa semua kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berada di pemerintah pusat, sedangkan sistem desentralisasi menunjukkan karakteristik yakni sebagian kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban pemerintah, diberikan kepada pemerintah daerah. 
Sistem desentralisasi pemerintahan tidak pernah surut dalam teori maupun praktik pemerintahan daerah dari waktu ke waktu.  Desentralisasi menjadi salah satu isu besar yakni to choose between a dispension of power and unification of power.  Dispension of power adalah sejalan dengan teori pemisahan kekuasaan dari John Locke. Berdasarkan tujuan desentralisasi, yaitu:
1.    untuk mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil bidang pemerintahan di tingkat local.
2.    meningkatkan dukungan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan local.
3.    melatih masyarakat untuk dapat mengatur urusan rumah tangganya sendiri; dan
4.     mempercepat bidang pelayanan umum pemerintahan kepada masyarakat.
Implementasi sistem desentralisasi (otonomi daerah) merujuk format yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Perubahan kedua UUD 1945 tentang pemerintahan daerah dalam pasal 18 dinyatakan sebagai berikut:
1.  Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
2. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya diplih melalui pemilu.
4. Gubernur, buapati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain, untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7.  Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang- undang.

1.2    Rumusan Masalah

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Bentuk  Pemerintahan Daerah
Bentuk  pemerintahan daerah dalam era reformasi seperti yang tercantum dalam UU No. 22/1999 adalah otonomi. Seperti sudah disebutkan diatas, wujud pemerintahan yang demikian adalah kewenangan dan tanggung jawab penyelenggraan pemerintahan ada pada daerah. Sebab itu, ada dua tantangan yang segera timbul, yang perlu dijawab oleh daerah-daerah: Pertama, bagaimana bentuk organisasi pemerintahan yang otonom, kedua bagaimana mendapatkan dana untuk membiayai pemerintahan tersebut.
Hakekat dari bentuk pemerintahan daerah otonom, seharusnya tergantung pada masing-masing daerah. Artinya, sekalipun dalam UU No.22/1999 tidak disebutkan adanya keragaman bentuk dari perangkat pemerintahan, namun daerah-daerah sebenarnya mempunyai kewenangan untuk membuat variasi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Dalam pasal 65 UU No. 22/99 hanya disebutkan "Di daerah dapat dibentuk lembaga teknis sesuai dengan kebutuhan daerah." Sekalipun dalam pasal ini dibatasi pada "lembaga teknis", namun karena wujud pemerintahan daerah adalah spatial sifatnya, yakni tergantung pada "ruang dan waktu", maka pengertian dari lembaga teknis disini dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan daerah, tetapi dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada. Dengan demikian maka bentuk dan jenis organisasi pemerintah daerah perlu diaktualisasikan. Di daerah-daerah yang tidak ada hutan, tidak perlu diadakan dinas kehutanan, di daerah-daerah yang tidak ada pertambangan tentu saja tidak perlu dinas pertambangan dan sebagainya. Besarnya organisasi yang ada juga perlu disesuaikan dengan jenis dan banyak urusan yang diperlukan. Disamping itu daerah perlu mengindahkan prinsip-prinsip tertentu dalam penataan organisasi, antara lain prinsip kesederhanaan (simplicity), mudah dan murah (efficiency), kesamaan fungsi (semilarity) dan koordinasi (coordination). Hal ini dikemukakan karena ada daerah-daerah yang untuk kesederhanaan misalnya, menggabungkan Dinas Pendapatan Daerah dengan Dinas Kebersihan, atau Dinas Pemadam Kebakaran dengan PDAM dan sebagainya. Alasan yang dipakai mungkin karena pada Dinas Kebersihan juga ada pendapatan daerah berupa retribusi kebersihan.
Alasan ini tentu saja bertentangan dengan tugas pokok pemerintah adalah member pelayanan kepada masyarakat. Termasuk pengadaan kebersihan, keamanan dan lain-lain. Prinsip yang dipakai dalam retribusi berbeda sekali dengan prinsip pemungutan pajak atau penerimaan dari penjualan jasa pemerintah lainnya. Tantangan kedua untuk merealisasikan otonomi daerah adalah biaya. Baik untuk keperluan rutin maupun untuk pembangunan.
Perkembangan  demokrasi yang menuntut adanya keadilan perlakuan antar daerah, dan dengan pertimbangan bahwa banyak daerah yang menjadi tertinggal bukan karena kelemahan daerah itu sendiri, tetapi karena sistem pemerintahan masa lampau yang sering merugikan daerah-daerrah tertentu (ingat, daerah–daerah yang kaya sumber daya alam menjadi daerah tertinggal), maka dalam era reformasi ini, pemberian hak otonomi harus diberikan secara merata kepada semua daerah. Untuk kemudian dinilai  kemampuannya. Bukan untuk membubarkan, tetapi untuk memberdayakannya. Bila nanti ternyata tidak juga bisa berkembang, barulah dapat diterapkan ketentuan yang ada dalam pasal 6 UU No. 22/1999, yakni menghapus atau menggabungkan dengan daerah lain. Tugas pemerintah pusat dalam hal ini adalah memberdayakan daerah untuk mampu mengemban wewenang otonom.

2.2 Kebijakan Politik Dalam Otonomi Daerah di Era Reformasi.
Pada periode setelah orde baru, lahir dua undang-undang tentang pemerintahan daerah yang dianggap aspiratif mengakomodasikan prinsip demokrasi dalam sistem pemerintahan daearah di Indonesia.  Kedua undang-undang tersebut adalah: UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 yang dianggap sebagai revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999.
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi ditegaskan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang tidak lain sebagai badan eksekutif daerah. Daerah provinsi berkedudukan sebagai wilayah administrasi kewenangan daerah, mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lainnya. Kewenangan-kewenangan daerah otonom lebih luas dan bertumpu pada tingkat kabupaten/kota.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan implikasi dan simplikasi terhadap melemahnya peran dominasi pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini tercermin dalam proses pencalonan, pemilihan, usulan pengangkatan calon kepala dan wakil kepala  daerah dilakukan sepenuhnya dan menjadi wewenang DPRD.
Langkah reformasi telah mengubah sistem pemerintahan era sebelumya dengan dilahirkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini. Euforia politik sebagai hasil pemilu tahun 1999 telah memberikan kerangka dasar dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, yang lebih banyak dipengaruhi kekuatan politik dalam penyelenggaraannya. Beberapa indikator yang mewarnai penyelenggaraan sistem pemerintahan di era ini antara lain:
1. Kekuasaan Legislatif lebih besar dibanding kekuasaan eksekutif
2. Pemerintahan dikendalikan oleh kekuasaan politik
3. Pertanggungjawaban kepala daerah kepada lembaga legislati
4. Kepala daerah dapat diberhentikan oleh DPRD
5. Wewenang DPRD menetapkan belanja DPRD
6. Menjamurnya pemekaran daerah kabupaten / kota.

b. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi dengan adanya perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan otonomi daerah.  Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, dalam penyelenggaraan otonomi menggunakan format otonomi seluas-luasnya.  Artinya, azas ini diberlakukan oleh pemerintah seperti pada era sebelum UU Nomor 5 Tahun 1974.  Alasan pertimbangan ini didassarkan suatu asumsi bahwa hal-hal mengenai urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat diberikan kebijakan otonomi sehingga setiap daerah mampu dan mandiri untuk memberikan pelayanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.
Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan mekanisme pengawasan yang menunjukkan formulasi cukup ketat dengan mekanisme pengawasan preventif, represif, dan pengawasan umum.  Proses pemelihan kepala/wakil kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi menjadi wewenang DPRD, melainkan dilaksanakan dengan pemilihan langsung yang diselenggarakan oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD).  Hal ini amat berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 bahwa DPRD merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila dan kedudukannya sejajar (mitra) dari pemerintah daerah, namun dalam praktek sering kali terjadi penafsiran berbeda.
2.3    Perevisian Aspek-Aspek dalam Pemerintahan Daerah Di Era Reformasi
Beberapa aspek yang sekarang direncanakan untuk direvisi, antara lain adalah: letak otonomi, asal usul otonomi, wewenang daerah atas wilayah laut, pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD, kedudukan propinsi dan kabupaten/kota, pembagian sumber daya alam; dan wewenang daerah atas PNS.
1.    Letak otonomi daerah di tingkat II
Hal ini sudah menjadi persoalan sejak awal pembahasan Rancangan UU No.22/99 tersebut. Dari pihak yang menyetujui berpendapat, bahwa letak otonomi di daerah tingkat II dapat mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Pelayanan yang lebih dekat tidak hanya menjadi lebih efisien, tetapi juga menjadi lebih efektif, karena dapat mengetahui apa yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat. Disamping itu, rakyat dapat langsung mengawasi proses pelayanan itu dari dekat.
Sementara dari pihak yang tidak menyetujui menunjukkan adanya beberapa kelemahan. Pertama, penduduk daerah tingkat II secara umum lebih homogeny dibandingkan dengan penduduk yang ada di ibu kota propinsi. Sebab itu di daerah tingkat II masih terasa adanya perasaan kedaerahan yang sempit, sehingga cenderung sulit menerima tenaga dari luar daerah dibandingkan dengan sikap mereka yang ada pada tingkat propinsi. Akibatnya, terdapat kesulitan untuk melengkapi tenaga-tenaga yang diperlukan dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Sementara di tingkat propinsi, pola pikir pejabat pada umumnya tidak jauh berbeda dengan pejabat pusat. Rasa nasionalisme sudah berkembang. Mereka sudah memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan pejabat pada tingkat II. Kedua, secara ekonomis, wilayah tingkat II terlalu sempit untuk kegiatan investasi berskala besar, kecuali jika dapat dilakukan penggabungan dan perpaduan dengan daerah-daerah tingkat II sekitar. Padahal jika otonomi ada di tingkat propinsi, hal yangdemikian dapat ditangani secara langsung.
2.    Asal usul otonomi
otonomi yang dikemukakan oleh UU No.22/1999 dianggap orang terbalik dengan kenyataan yang ada di Indonesia. Dalam UU tersebut, otonomi seolah-olah berasal dari daerah, bukan dari pusat. Sehingga yang dibatasi bukan kewenangan daerah, tetapi adalah kewenangan pusat (lihat pasal 7 ayat 1 UU No. 22/1999). Pendapat ini berdasarkan pada pertimbangan, bahwa Negara Indonesia berbentuk kesatuan. Atas dasar pendapat ini timbul anggapan bahwa sistem pemerintahan yang cocok untuk negara kesatuan adalah seragam dan sentralistis.
Padahal apa yang tercantum dalam UUD ’45 dan yang berlangsung di Indonesia sejak permulaan kemerdekaan, sistem pemerintahan di Indonesia telah menunjukkan adanya kecenderungan kearah “bentuk sendiri” yang berbeda dengan bentuk negara kesatuan dan berbeda pula dengan bentuk federasi. Ini dapat dilihat pada pengakuan terhadap bentuk-bentuk pemerintahan asli dalam UUD, dan adanya pengakuan terhadap wilayah kerajaan Yogyakarta, keistimewaan D.I. Aceh pada tahun 1956 dan kekhususan DKI Jakarta, sejak sebelum adanya UU No.5/1974.
3.    Wewenang daerah atas wilayah laut
Ditentukan  sejauh 12 mil untuk propinsi, dan wilayah daerah kabupaten dan kota sepertiga dari batas laut daerah propinsi (pasal 3 dan pasal 10 ayat 3), merupakan topik yang sering dibicarakan dewasa ini. Ketentuan ini dipandang dapat menimbulkan kesulitan, bahkan bisa berkembang menjadi konflik diantara para nelayan yang berlayar tanpa menyadari telah melewati wilayah laut daerah lain. Disamping itu, batas laut yang “dikotak” selebar wilayah kabupaten/kota juga dirasakan terlalu sempit untuk kegiatan perikanan, sekalipun untuk skala nelayan miskin tradisional.
4.    Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD.
Dalam pasal 45 dan 46 UU No. 22/1999 ditentukan adanya kewajiban dari kepala daerah untuk memberi pertanggung jawaban kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran atau untuk hal-hal tertentu atas permintaan DPRD. Kalau pertanggungjawaban itu ditolak, maka dia harus memperbaiki dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari. Kalau ditolak untuk kedua kali, maka DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden. Ketentuan ini telah membawa ketegangan hubungan antara DPRD dengan kepala daerah. Ketegangan ini timbul karena sistem demokrasi merupakan barang baru di Indonesia. Akibatnya, baik kepala daerah maupun DPRD sama-sama belum terbiasa dengan sistem yang baru ini. Bagi kepala daerah pertanggaungjawaban yang diminta DPRD ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar.
5.    Kedudukan daerah propinsi yang secara hirarkis setingkat dengan daerah Kabupaten/Kota
Salah  satu aspek yang banyak dipersoalkan dewasa ini (lihat ayat 1 dan 2 , Pasal 4 UU No. 22/1999). Masalahnya, pertama, ketentuan ini menghilangkan wawenang koordinasi antar daerah kabupaten dan daerah kota pada tingkat propinsi, yang pada gilirannya menimbulkan kesulitan koordinasi pada tingkat pemerintah pusat karena terlalu luas rentang kendali pengawasan. Yang perlu diingat, betapapun adanya otonomi daerah dalam arti besarnya kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, namun daerah adalah bagian dari wilayah negara. Sebab itu selalu diperlukan adanya pengendalian pemerintahan dari pusat, baik langsung maupun secara tidak langsung. Tanpa adanya kedudukan koordinatif secara berjenjang melalui propinsi, pemerintah pusat akan menghadapi permasalahan rentang kendali yang terlaluPerencaan Pembangunan luas, betapun canggihnya teknologi informasi.
6.    Formula pembagian hasil dari sumber alam yang ada di daerah antara pemerintah pusat dan daerah
     Merupakan  aspek yang diperdebatkan dan dituntut untuk ditinjau kembali. Disatu sisi timbul tuntutan dari beberapa daerah yang kaya sumber alam untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari apa yang diatur dalam UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999. Ada empat daerah yang secara nyaring menuntut bagian yang lebih besar itu, yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Irian. Tuntutan ini cukup beralasan mengingat selama puluhan tahun pusat telah mengeksploitasi hasil alam daerah tersebut tanpa mngembalikan hasilnya secara berarti kepada mereka. Sehingga tidak heran kalau daerah-daerah penghasil sumberalam terbesar itu justru berada dalam jajaran daerah-daerah termiskin di Indonesia.
7.    Wewenang penataan terhadap PNS
 UU No.22/1999 menetapkan kewenangan penataan PNS untuk pemerintah pusat pada tingkat kebijakan umum, dan kewenangan daerah pada tingkat kebijakan implementasi. Artinya, pemerintah pusat menetapkan norma, standar, dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, menetapkan pensiun, gaji dan kedudukan hukum dari PNS di Daerah dan PNS Daerah (pasal 75 UUNo.22/1999). Sedangkan daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah (pasal 76 UU No.22/1999). Tetapi dalam UU No. 43/1999 dikatakan bahwa kebijakan manajemen PNS yang mencakup kebijakan umum dan kebijakan pelaksanan seperti tersebut diatas berada pada presiden selaku kepala pemerintahan (pasal 13 ayat 2 UU No. 43/1999). Dan “untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan kebijakan manajeman PNS, dibentuk BKN” (pasal 34 UU No. 43/1999). Sebagai akibat dari ketentuan yang ada dalam kedua UU tersebut, terdapat penafsiran yang berbeda dilapangan. Disatu pihak menganggap, sesuai dengan UU No. 22/1999, kebijakan pelaksanaan terhadap PNS daerah ada pada daerah. Sedangkan BKN berpendapat sesuai dengan UU No. 43/1999 bahwa PNS daerah bukan semata-mata hanya aparatur dan perangkat daerah yang hanya melaksanakan tugas di daerah.
Mobilitasnya tetap harus dijamin. Selanjutnya pembinaan semua PNS termasuk PNS daerah harus dilakukan seragam dan terintegrasi (Telaahan Atas UU No. 8/1974 jo. UU No. 43/1999). Yang menjadi soal dalam hal ini, UU mana yang harus direvisi ? Apakah UU No. 22/ 1999 yang sifatnya lebih luas, ataukah UU No. 43/1999 yang lebih khusus yang harus direvisi untuk menyesuaikan diri dengan yang lain.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Reformasi di segala bidang yang di dukung oleh masyarakat dalam mensikapi permasalahan yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah menyebabkan lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi. Indonesia memasuki Era Otonomi Daerah dengan diterapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (kamudian menjadi UU No.32 Tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 (kemudian menjadi UU No.33 Tahun 2004 ) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dalam UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dilaksanakan pula dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bagian utama dari tujuan nasional.
Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat:
1.    menciptakan efisinesi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah,
2.    meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat.
3.    membudayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisifasi dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002).
Dalam otonomi daerah, pimpinan daerah memegang peran sangat srategis dalam mengelola dan memajukan daerah yang dipimpinnya. Perencanaan strategis sangat vital, karena disanalah akan terlihat dengan jelas peran kepala daerah dalam mengoordinasikan semua unit kerjanya. Betapapun besarnya potensi suatu daerah, tidak akan optimal pemanfaatannya bila bupati/walikota tidak mengetahui bagaimana mengelolanya. Sebaliknya, meskipun potensi suatu daerah kurang, tetapi dengan strategis yang tepat untuk memanfaatkan bantuan dari pusat dalam memberdayakan daerahnya, maka akan semakin meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang ada. Seagaimana dijelaskan dalam pasal 156 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Untuk itulah, perlu kecakapan yang tinggi bagi pimpinan daerah agar pengelolaan dan terutama alokasi dari keuangan daerah dilakukan secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah.
Otonomi daerah harus diikuti dengan serangkaian reformasi sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tersebut tidak sekadar perubahan format lembaga, akan tetapi menyangkut pembaruan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif transparan, dan akuntabel sesuai dengan cita-cita reformasi yaitu menciptakan good governace benar-benar tercapai.
Beberapa aspek yang sekarang direncanakan untuk direvisi, antara lain adalah: letak otonomi, asal usul otonomi, wewenang daerah atas wilayah laut, pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD, kedudukan propinsi dan kabupaten/kota, pembagian sumber daya alam; dan wewenang daerah atas PNS.









DAFTAR PUSTAKA

Ali Faried. 1996.  Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia. Jakarta ; Raja Grafindo.
Amal, Ichlasul dan Nasikun. 1988. Desentralisasi dan Prospeknya. P3PK, Yogyakarta, Universitas Gajah Mada
Huda, Ni’matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta; RajaGrafindo Persada.



Buruknya Pelayanan Adminsitrasi Kependudukan Di UPTD Dinas Kependudukan Catatan Sipil (Disdukcapil) tampan

By : Sopriadi Ahmad




KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat serta hidayahnya  yang diberikan  sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul.” Buruknya Pelayanan Adminsitrasi Kependudukan Di UPTD Dinas Kependudukan Catatan Sipil (Disdukcapil) tampan “Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Politik Birokrasi Di Indonesia. Penyusun makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, melalui kesempatan ini penulis ingin menghantarkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing yakni bapak Alexsander Yandra.S.Ip,.M.Si  yang telah memberikan tugas ini, sehingga penulis dapat memahaminya .
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penyusun makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan, baik kritik maupun saran, demi kelengkapan dan kebaikan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca pada umumnya, sekian terima kasih.

               
Pekanbaru, 19  maret  2013
         penulis


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
   Masyarakat Pekanbaru masih saja di hantui dengan pelayana  dari pemerintah yang tak kunjung baik, padahal semestinya sebagai ibu kota propinsi Pekanbaru tentunya memiliki tanggung jawab dan contoh untuk kabupaten lain khususnya dari segi pelayanan. Saat ini untuk pengurusan baik perpanjangan, maupun pembutan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP)  masih saja lamban. Selaian itu pengurusan Akte kelahiran tak jauh beda.

B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dan berdasarkan fenomena yang ada, maka penulis menetapkan perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan yaitu :
“Kekecewaan seperti apakah yang dirasakan masyarakat terhadap pelayanan administrasi seperti KTP, KK, dan Akte Kelahiran di Kecamatan Tampan?”



C.    Tujuan permasalahan
 Bertujuan untuk mengetahui penyebab Buruknya pelayanan administrasi seperti KTP, KK, dan Akte Kelahiran di Kecamatan Tampan.








BAB II
PEMBAHASAN
1.BURUKNYA BIROKRASI
Menindaklanjuti pernyataan Kemendagri bahwa seharusnya tidak ada denda keterlambatan e-KTP kepada warga, Wali Kota Pekanbaru H Firdaus ST MT akhirnya menambah waktu masa perekaman e-KTP massal bagi warganya.  Dengan begitu, masyarakat yang belum sempat merekam bisa melaksanakan perekaman dengan pelayanan dan kebijakan seperti sebelumnya. Cukup membawa KK dan KTP Pekanbaru bisa melaksanakan perekaman tanpa dipungut biaya.
Kita berikan pelayanan tambahan selama dua pekan untuk mereka yang belum merekam e-KTP di kecamatan masing-masing. Soal pelayanan sama dengan program pusat, sangat mudah dan gratis. Setelah itu mungkin ada beberapa prosedur yang harus dilakukan masyarakat namun khusus e-KTP tetap gratis. Soal denda itu hanya salah penyampaian informasi saja,’’ terang Wali Kota Pekanbaru H Firdaus ST MT kepada Riau Pos, Senin (7/5) usai menghadiri acara di UIN Suska Riau.  Menurut Firdaus, pelaksanaan program perekamanmassal dari pusat memang sudah berakhir pada 30 April yang lalu. Namun hal tersebut bukan berarti perekaman tidak lagi dilakukan karena masih banyak masyarakat yang belum merekam identitas.
Untuk program dua pekan akan datang, Pemko yang akan menanggung seluruh pembiayaan.Tidak hanya itu, Wako juga menjelaskan bahwa tidak ada denda untuk pelaksanaan e-KTP seperti yang sempat menjadi polemik dan menyatakan mengacu pada Perda nomor 2/2012.
Saya luruskan dan tegaskan, tidak ada denda untuk pembuatan e-KTP. Denda yang dibunyikan pada Perda 2/2012 itu untuk masyarakat yang lalai dalam mengurus KTP, bukan e-KTP. Ini dilakukan agar masyarakat peduli dengan identitas mereka karena ini adalah kewajiban dan penting,’’ ujarnya lagi. Dicontohkan mantan Kadis PU Riau ini, saat masyarakat berusia 17 tahun tapi belum juga diurus denda baru akan dikenakan.

Begitu juga untuk mereka yang KTP-nya sudah mati pada Januari namun baru diurus pada Maret akan langsung dikenakan denda sebesar Rp50 ribu per bulan dengan maksimal enam bulan keterlambatan. Jika masyarakat mengikuti aturan denda, tidak akan diberlakukan.

‘’Ini semata-mata agar masyarakat peduli dengan identitas mereka dan tidak lalai. Tapi jika ada petugas yang meminta denda atau apalah namanya diluar dari ketentuan segera laporkan karena itu adalah pungli. Sekarang Pemko komitmen bagaimana masyarakat Pekanbaru memiliki identitas secara resmi,’’ terangnya.
Kembali Dibuka Sementara itu, setelah sempat istirahat selama sepekan, Senin (7/5) pagi proses perekaman data e-KTP kembali dibuka. Namun perekaman e-KTP kali ini sifatnya tidak lagi nasional, melainkan regular. Pembukaan perekaman e-KTP secara regular ini langsung dibuka oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Kadisdukcapil) Kota Pekanbaru Drs H M Noer MBS. Kadisdukcapil melalui Sekretaris, Hermanto Yasin SH kepada Riau Pos mengimbau kepada masyarakat, yang sampai 30 April lalu belum melakukan proses perekaman data untuk e-KTP agar dapat datang ke kantor kecamatan untuk melakukan proses perekaman data. Dalam perekaman lanjutnya, masyarakat sama sekali tidak dipungut biaya. ‘’Kita mengimbau kepada masyarakat, segera lakukan perekaman data di kantor kecamatan. Tidak dipungut biaya.
Sanksi denda hanya kita berikan kepada masyarakat yang terlambat dalam pengurusan KTP biru atau melakukan perpanjangan KTP, di mana jangka waktu keterlambatannya melebihi dari satu bulan atau 30 hari setelah KTP-nya mati. Sepanjang KTP-nya masih hidup, maka tetap gratis ‘’ ungkapnya. Hermanto Yasin menambahkan, saat ini dari 12 kecamatan di Pekanbaru, beberapa kecamatan yang warganya termasuk banyak belum merekamkan datanya adalah Kecamatan Pekanbaru Kota, Marpoyan Damai, Tampan dan Tenayanraya.
Di lain sisi, meski perekaman data e-KTP reguler baru dimulai, namun untuk hasil perekaman data terdahulu sudah diterima oleh Disdukcapil.
Namun untuk jumlahnya Hermanto Yasin belum bisa untuk menjelaskan, karena yang berwenang untuk menyampaikan itu adalah kepala dinas.
2.ADANYA KEKECEWAAN DIMASYARAKAT
Buruknya pelayanan administrasi seperti KTP, KK, dan Akte Kelahiran di Kecamatan Tampan membuat kecewa semua warga tempatan. Bahkan, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Pekanbaru, M Noer MBS sendiri mengakui dibuat pusing dengan kondisi pelayanan UPTD Kecamatan Tampa "Kita kemarin sudah melakukan Sidak ke UPTD Tampan, karena banyaknya pengaduan yang masuk ke kita atas buruknya pelayanan di sana. Memang ketika kita lakukan Sidak itu, yang menjadi persoalan di Tampan ini adalah, kurangnya tenaga kita di sana. Sehingga dalam mencari dokumen milik masyarakat saja, petugas tak ada dan warga mencari sendiri punyanya masing-masing," ungkap M Noer ketika ditemui di ruang kerjanya, Kamis (5/7).
Kejadian yang selama ini, bahwa masyarakat mengeluhkan banyak dokumen yang hilang. Akan tetapi setelah M Noer bersama Kepala Bidang melakukan kunjungan ke UPTD Tampan ini, ternyata dokumen tersebut tidak hilang, hanya saja tersembunyi bercampur baur dengan dokumen lainnya. Buktinya, ketika M Noer mencoba melakukan pencarian, dokumen yang dianggap hilang itu ternyata ada. Kondisi ini semakin memburuk ketika kepala UPTD Tampan yang baru saja dilantik pada 15 Juni 2012 lalu, Wira Septiadi ternyata mengundurkan diri dengan alasan tidak sanggup menghadapi masalah yang dianggap terlalu berat di Kecamatan Tampan tersebut. Dengan hal itu, M Noer mengambil siasat untuk menempatkan petugas harian yang akan mengkordinir kegiatan dinas di UPTD Kecamatan Tampan tersebut.
Masyarakat Pekanbaru masih saja di hantui dengan pelayana  dari pemerintah yang tak kunjung baik, padahal semestinya sebagai ibu kota propinsi Pekanbaru tentunya memiliki tanggung jawab dan contoh untuk kabupaten lain khususnya dari segi pelayanan. Saat ini untuk pengurusan baik perpanjangan, maupun pembutan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP)  masih saja lamban. Selaian itu pengurusan Akte kelahiran tak jauh beda.
3.ADANYA PENILAIYAN TERHADAP PEMERINTAH PEKANBARU
Busuk berbau, jatuh berdebuk. Peribahasa itu mengartikan sesuatu yang buruk, lama kelamaan pasti akan ketahuan. Sepandai-pandainya menutup bangkai, baunya tetap akan menyebar. Peribahasa itu sangat tepat menjadi analogi kondisi Kota Pekanbaru, Riau, yang dalam dua pekan terakhir menerima dua pukulan telak. Pertama, lembaga Tranparency International Indonesia menobatkan kota yang terletak di tengah-tengah Pulau Sumatera itu sebagai kota paling korup di Indonesia. Dari surveri TII yang dilakukan di 50 kota , Pekanbaru memiliki skor terendah 3,61. Adapun Bali tertinggi dengan skor (6,71) disusul Tegal ( 6,26), dan Surakarta (6,0).
Belum lagi hilang pembicaraan survei TII, Komisi Pemberantasan Korupsi kembali memberikan nilai merah kepada Pemerintah Kota Pekanbaru atas integritas pelayanan publik,  Kamis (18/11/2010). Pekanbaru menempati urutan ke-16 dari 22 kota yang disurvei dengan nilai 4,56. Surabaya mendapat nilai tertinggi 6,13.
Aparat pelayanan publik Pekanbaru mendapat nilai sangat rendah dalam cara pandang terhadap korupsi hanya 3,85 dari nilai tertinggi 10. Adapun perilaku individu dan pencegahan korupsi mendapat nilai 5,43.
Penilaian itu tentu saja terkait dengan repotnya membuat kartu tanda penduduk (KTP) di Pekanbaru. Tahun lalu, pengurusan KTP paling cepat diselesaikan dalam waktu 14 hari kerja. Apalagi bagi pendatang. Repot dan bertele-tele. Begitu juga urusan membuat surat izin usaha atau izin mendirikan bangunan. Cap sebagai kota terkorup versi TII, menurut pengamat sosial Kota Pekanbaru, Haris Jumadi, membuat sejumlah pejabat di Kota Bertuah itu seperti kebakaran jenggot. Hampir seluruh pejabat enggan atau menolak membicarakan masalah itu karena takut ikut dicap sebagai pejabat korup.
Dilihat dari fenomena pejabat Pekanbaru setelah rilis TII itu memang menunjukkan ketakutan luar biasa. TII dicap sebagai musuh. Sebenarnya kalau pejabat itu tidak korup, mereka tidak perlu resah. Namun sayang, survei itu tidak pernah ditanggapi serius pemerintah kota. Indeks Pekanbaru tahun 2008 nyaris tidak berubah sampai 2010. Sementara itu, Tegal yang dulunya berada di level bawah, sekarang sudah berpindah ke atas, ujar Haris dalam seminar yang dilaksanakan TII di Pekanbaru, awal pekan ini.
Haris, mantan anggota DPRD Riau dari Partai Keadilan Sejahtera itu, menambahkan, selama ini persepsi korupsi di Pekanbaru memang dipandang sempit, sebagai perbuatan mengambil uang negara semata. Padahal, penyalahgunaan kekuasaan, meminta uang untuk pelayanan atau pemakaian kendaraan operasional untuk kepentingan pribadi sudah dikategorikan korupsi. Hasil penelitian KPK tidak terbantahkan. Apalagi KPK melakukan pengujian dari sampel orang-orang yang sedang berurusan dengan pelayanan publik. Cap kurang berintegritas versi KPK itu semakin menguatkan survei TII bahwa Pekanbaru memang pantas menyandang gelar kota terkorup.
Memang, cap kota korup itu bukan murni milik Pemerintah Kota Pekanbaru. Tri Radito, Kepala Bagian Pengawasan dan Evaluasi Pemberantasan Korupsi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, juga mengatakan, indeks korupsi versi TII bukan mutlak tanggung jawab Pemerintah Kota Pekanbaru.
"Mengingat sektor politik dan hukum juga korup. Namun, birokrasi memang ujung tombaknya. Yang penting survei TII dapat menjadi dasar untuk perbaikan," ujar Tri.
Sekretaris Ruang Publik, sebuah lembaga pemerhati sosial di Pekanbaru, Haidir Anwar, menyatakan, cap kota terkorup yang disandang Pekanbaru hanyalah salah satu bagian dari kota-kota korup yang ada di Provinsi Riau, tetapi tidak disurvei. Dengan kata lain, Riau adalah gudangnya korupsi. Riau adalah provinsi terkorup. Kalaupun Pekanbaru yang disorot, lebih disebabkan kota itu merupakan ibu kota Provinsi Riau. Pernyataan Haidir itu memang tidak terbantahkan. Begitu banyak contoh hebohnya pelaksanaan tender proyek pembangunan di Riau.
Awal tahun 2010 ini, PT Telaga Mega Buana (TMB) menggugat penitia lelang proyek pembangunan jalan Dinas PU Bina Marga Kabupaten Kampar. Menurut kuasa hukum PT TMB, Syamsul Rakan Chaniago (sekarang hakim agung adhoc tindak pidana korupsi), kliennya melakukan penawaran terendah pada empat item proyek, tetapi seluruh proyek itu jatuh kepada penawar yang harganya jauh lebih tinggi. Syamsul menuding ada yang tidak beres pada pelaksanaan tender di Kampar. April 2010, puluhan polisi bersenjata lengkap berjaga-jaga di gedung Dinas PU Kabupaten Pelalawan mengawal proses lelang proyek. Kehadiran polisi disebabkan peserta lelang merasa takut karena sejak pagi halaman dinas dipenuhi preman.
Juni 2010, lelang proyek Pasar Ikan Hygienis Terpadu Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau di Pekanbaru ricuh. Sekitar 10  pemuda berbadan tegap menghadang peserta lain yang akan menyerahkan dokumen tender kepada panitia lelang. Peserta yang dihalang-halangi melapor ke polisi dan aparat akhirnya mengambil alih pengamanan lelang.   Juli 2010, lelang di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kota Pekanbaru ricuh. Preman mengancam wartawan agar tidak meliput proses tender.
Riki, anak Arwin AS, Bupati Siak, dijebloskan dalam tahanan setelah dituding menipu seorang kontraktor PT Anak Negeri. Riki menjanjikan akan memberikan sejumlah proyek di Siak asal sang kontraktor memberi uang pelicin Rp 1,5 miliar. Rupanya, setelah uang diterima, janji proyek tidak kunjung diberikan. Akhirnya Riki dilaporkan kepada polisi. Sudah menjadi rahasia umum, orang-orang dekat pejabat tinggi di Riau menjadi pemegang kendali atas sejumlah proyek-proyek besar. Tanpa tangan-  tangan lingkaran dalam itu, jangan harap proyek akan diperoleh. Tidak perlu repot menelitinya. Lihat saja proyek-proyek besar di Riau, pemenangnya boleh dikatakan perusahaan yang itu-itu saja.
 Sejumlah pengusaha Pekanbaru dalam berbagai kesempatan kepada kompas.com mengatakan, di Riau ini pemenang proyek sudah ditentukan  jauh hari sebelum tender dilaksanakan. Pelaksanaan tender lebih banyak formalitas belaka. Apalagi lelang pengadaan barang-barang khusus, spesifikasi barang yang dibuat panitia jelas-jelas mengarah pada satu produk yang sudah disepakati bersama antara panitia dan rekanan.
Pantaslah apabila responden TII menyimpulkan Pekanbaru (baca: Riau) sebagai kota paling korup di Indonesia. Ironi. Cap Pekanbaru sebagai kota terbersih, peraih Piala Adipura selama enam tahun berturut-turut, ternyata hanya artifisial luar saja. Bersih di luar, tetapi busuk di dalam.




BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Masyarakat Pekanbaru masih saja di hantui dengan pelayana  dari pemerintah yang tak kunjung baik, padahal semestinya sebagai ibu kota propinsi Pekanbaru tentunya memiliki tanggung jawab dan contoh untuk kabupaten lain khususnya dari segi pelayanan. Saat ini untuk pengurusan baik perpanjangan, maupun pembutan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP)  masih saja lamban. Selaian itu pengurusan Akte kelahiran tak jauh beda.
Buruknya pelayanan administrasi seperti KTP, KK, dan Akte Kelahiran di Kecamatan Tampan membuat kecewa semua warga tempatan. Bahkan, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Pekanbaru, M Noer MBS sendiri mengakui dibuat pusing dengan kondisi pelayanan UPTD Kecamatan tampan.
Kejadian yang selama ini, bahwa masyarakat mengeluhkan banyak dokumen yang hilang. Akan tetapi setelah M Noer bersama Kepala Bidang melakukan kunjungan ke UPTD Tampan ini, ternyata dokumen tersebut tidak hilang, hanya saja tersembunyi bercampur baur dengan dokumen lainnya. Buktinya, ketika M Noer mencoba melakukan pencarian, dokumen yang dianggap hilang itu ternyata ada. Kondisi ini semakin memburuk ketika kepala UPTD Tampan yang baru saja dilantik pada 15 Juni 2012 lalu, Wira Septiadi ternyata mengundurkan diri dengan alasan tidak sanggup menghadapi masalah yang dianggap terlalu berat di Kecamatan Tampan tersebut. Dengan hal itu, M Noer mengambil siasat untuk menempatkan petugas harian yang akan mengkordinir kegiatan dinas di UPTD Kecamatan Tampan tersebut.
B.    Saran
Adapun harapan dan saran untuk pemerintah kota pekanbaru adalah memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat agar tidak ada lagi kekecewaan dimasyarakat dalam hal  ini khususnya pelayanan ktp itu sendiri dan semoga pemerintah bisa memberikan contoh yang baik dlam birokrasi Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA
http://www.blogdetik.com
http://www.detik.com/pemilihan/kepala/daerah/
http://www.m.antarariau.com
www.id.shvoong.com/law-and-politics/law/2242578-definisi-mediasi/ : 6 Desember 2012.
www.aswinhsh.wordpress.com/2009/01/06/tinjauan-umum-arbitrase/ :6Desember 2012. Riau Pos, 28 September 2012: 1.
http://www.riauterkini.com


Dinamika Konflik Pemilihan Umum Kepala Daerah Dikota Pekanbaru Tahun 2011

By : Sopriadi Ahmad




KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat serta hidayahnya  yang diberikan  sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul ’’Dinamika Konflik Pemilihan Umum Kepala Daerah Dikota Pekanbaru Tahun 2011’’Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah ’’ Negoisasi Dan Resolusi Konflik’’ Penyusun makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, melalui kesempatan ini penulis ingin menghantarkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing yakni ibu Suryaningsih, S.Ip., M.Si yang telah memberikan tugas ini, sehingga penulis dapat memahaminya .
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penyusun makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan, baik kritik maupun saran, demi kelengkapan dan kebaikan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca pada umumnya, sekian terima kasih.


Pekanbaru,  14 maret 2013
        
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
   Dasar hukum pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung adalah UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Adapun petunjuk pelaksanaannya tertuang dalam PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah. Sedangkan aturan yang mengatur tentang penyelenggaran Pemilu adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.Menyikapi kekurangan yang terdapat dalam regulasi Pemilihan Umum Kepala Daerahtersebut, Pemerintah akhirnya membuat sebuah PP No. 17 Tahun 2005 tentang perubahan atas PPNo. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerahdan Wakil Kepala Daerah, sebagai revisi terhadap kekurangan-kekurangan dalam UU No. 32 Tahun2004 dan PP No. 6 Tahun 2005 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 adalah tentang perubahan kedua undang-undang nomor 32 Tahun 2004.Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Walikota dan Wakil Walikota Pekanbaru 18 Mei 2011, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) selaku penyelenggaran "pesta politik" itu hanya meloloskan dua pasangan calon. Masing-masing, Firdaus-Ayat Cahyadi dengan nomor urut satu dan Septina Primawati-Erizal Muluk dengan nomor urut dua. Firdaus dan Ayat Cahyadi, maju sebagai Calon Walikota dengan sejumlah partai pengusung yaitu: Partai Demokrat(PD), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).Sementara pasangan Septina Primawati-Erizal Muluk, "menunggangi" sejumlah"perahu/partai besar" yaitu: Partai Golkar (PG), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Gerakan Indonesia Raya(GERINDRA).(www.Antarariau News.com).
Dalam pelaksanaan Pemilukada di Kota Pekanbaru tahun 2011, terjadi beberapa hal penting yang menjadi kendala dalam pelaksanaan Pemilukada. Beberapa hal tersebut kemudian menjadi sebuah permasalahan yang berujung terjadinya sengketa hingga dipertentangkan dan menjadi Konflik Pemilukada pada Pemilukada di Kota Pekanbaru tahun 2011.Berikut permasalahan permasalahan yang terjadi dalam tahapan-tahapan Pemilukada Kota Pekanbaru 2011;
1.    Konflik-konflik yang terjadi pada Masa Persiapan Pemilukada 18 Mei 2011 di Kota Pekanbaru adalah sbb:
a.    Berpindahnya dukungan Partai Demokrat ke Kubu PAS.
b.    Konflik internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
2.    Konflik-konflik yang terjadi pada tahap pelaksanaan Pemilukada 18 Mei 2011 di Kota Pekanbaru adalah sbb:
a.    Adanya curi start kampanye diluar jadwal.
b.    Adanya penggunaan kendaraan dinas.
c.    Black Campaign yang dilakukan oleh Herman Abdullah.
d.    Pembagian sembako yang di lakukan BERSERI.
e.    Terjadinya praktek Joki di beberapa TPS.
f.    DPT yang Bermasalah.
3.    Konflik-konflik yang terjadi pada tahap Pasca Pemilukada 18 Mei 2011 di Kota pekanbaru adalah sbb:
a.    Pengaduan dan penggugatan hasil Rekapitulasi Suara Pemilukada Kota Pekanbaru tanggal
b.    18 Mei Tahun 2011 ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh pasangan BERSERI.
c.    Putusan MK Nomor 63/PHPU.D-IX/2011 tanggal 24 Juni 2011 tentang Pemungutan Suara
d.    Ulang (PSU).
e.    Pemecatan Ketua KPU Kota Pekanbaru Yusri Munaf.
f.    Pemutasian PNS Oleh Walikota dan Penjabat Walikota Pekanbaru.
g.    Demonstrasi tuntut pelaksanaan PSU Pemilukada Kota Pekanbaru.
h.    Penambahan waktu PSU 2011.
i.    KPUD Kota Pekanbaru menggugurkan Firdaus.
j.    Massa demonstrasi mendatangi kantor KPU dan kantor Gubernur. Menuntut pencabutan surat
k.    peryataan gugurnyanya pasangan nomor Urut satu (PAS).
a.    Rumah Ketua Tim Koalisi BERSERI di tembak.
l.    Rumah Komisioner KPU di bakar.
m.    Putusan MK Akhiri Konflik Pemilukada Kota Pekanbaru.

B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dan berdasarkan fenomena yang ada, maka penulis menetapkan perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan yaitu :
“Apa sajakah penyebab lahirnya konflik dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah di Kota Pekanbaru Tahun 2011?”

C.    Tujuan permasalahan
 Bertujuan untuk mengetahui penyebab terlahirnya konflik dan penyelesaian konflik dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah yang di adakan secara langsung di Kota PekanbaruTahun 2011.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori Konflik
Ramlan Surbakti mengatakan bahwa konflik berhubungan dengan “benturan” seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. (Ramlan Surbakti, 1992: 149).
Adapun ciri-ciri konflik menurut Ted Robert Gurr menyebutkan paling tidak memiliki empat ciri konflik (Maswadi Rauf: 2001), yaitu sebagai berikut:
1.    Ada dua atau lebih pihak yang terlibat
2.    Masing-masing pihak terlibat dalam tindakan yang saling memusuhi.
3.    Masing-masing pihak menggunakan tindakan kekerasan yang bertujuan untuk menghancurkan lawan-lawannya.
4.    Interaksi pertentangan bersifat terbuka, sehingga bisa dideteksi dengan mudah oleh pengamat independen. Akan tetapi Menurut Maswadi Rauf, konflik lisan pun bisa dikategorikan sebagai konflik. Hal ini seperti yang diungkapkannya, bahwa; “konflik lisan dapat dikategorikan sebagai konflik karena sudah terlihat adanya pertentangan di dalamnya meskipun tindakan kekerasan yang melibatkan benda-benda fisik belum terjadi. Bila konflik hanya terbatas pada tindakan kekerasan secara fisik, maka seharusnya tidak ada istilah seperti conflict of interest, conflicting ideas, dan lain sebagainya yang lebih banyak mengacu pada konflik lisan”.

1.    Penyebab Konflik
Mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Paul Conn, tentang Penyebab konflik Politik, pada dasarnya disebabkan oleh dua hal:
a.    Kemajemukan horisontal.
b.    Kemajemukan Vertikal.
Pertama, Kemajemukan horisontal ialah struktur masyarakat yang majemuk kultural, seperti, suku bangsa, daerah, agama, dan ras; dan majemuk secara sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi, seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri sipil, militer, wartawan, dokter, alim ulama, dan cendekiawan; dalam arti perbedaan karakteristik tempat tinggal seperti desa dan kota. (Siti Nur Solechah: 2007)
Kemajemukan horisontal dapat menimbulkan konflik karena masing-masing unsur cultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari ancaman kultur lain. Dalam masyarakat yang demikian itu, apabila belum ada suatu konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik politik karena benturan budaya akan menimbulkan perang saudara ataupun gerakan separatisme. Kemajemukan horisontal dapat menimbulkan konflik karena masing-masing kelompok yang berdasarkan pekerjaan dan profesi serta tempat tinggal tersebut memiliki kepentingan berbeda bahkan saling bertentangan. Kelompok masyarakat yang tinggal dikota, misalnya, menghendaki harga beras dan harga bahan bakar minyak dikendalikan oleh pemerintah, dan kalau perlu disubsidi oleh pemerintah, sedangkan masyarakat yang tinggal di desa menghendaki agar pemerintah membiarkan harga-harga beras dan bahan bakar minyak berkembang sesuai dengan mekanisme pasar. Sebaliknya, pemerintah hanya berperan dalam menciptakan dan menegakkan aturan main yang adil. Kedua, Kemajemukan vertikal ialah struktur masyarakat yang terpolarisasikan menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan.
Kemajemukan dapat menimbulkan konflik, sebab sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan akan memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kelompok kecil masyarakat yang mendominasi ketiga sumber pengaruh tersebut. Jadi, Distribusi kekuasaan, pengetahuan, dan kekuasaan yang pincang merupakan penyebab utama timbulnya konflik politik. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan perbedaan kepentingan karena kemajemukan horizontal dan vertikal tidak dengan sendirinya menimbulkan konflik politik. Hal ini disebabkan adanya fakta, terdapat sejumlah masyarakat yang menerima perbedaan-perbedaan tersebut. Perbedaan-perbedaan masyarakat ini baru menimbulkan konflik apabila sekelompok tersebut memperebutkan sumber yang sama, seperti kekuasaan, kekayaan, kesempatan, dan kehormatan. Konflik terjadi manakala terdapat benturan kepentingan. Dalam rumusan lain dapat dikemukakan konflik terjadi jika ada pihak yang merasa diperlakukan tidak adil atau manakala pihak berperilaku menyentuh “titik kemarahan” pihak lain. Dengan kata lain, perbedaan kepentingan karena kemajemukan vertikal dan horisontal merupakan kondisi yang harus ada (necessary condition) bagi timbulnya konflik, tetapi perbedaan kepentingan itu bukan kndisi yang memadai(subficient condition) untuk menimbulkan konflik. (Ramlan Surbakti, 1992: 152).

2.    Tipe-tipe Konflik
Max Webber mendeskripsikan konflik menjadi dua tipe (sohidin, 2004: 12-13), yaitu:
a.    Konflik dalam arena politik. Konflik ini muncul tidak hanya didasarkan pada kepentingan kekuasaan dan ekonomi, tetapi banyak faktor lain dibalik itu semua, diantaranya factor ideologi. Demikian pula konflik ini tidak hanya terjadi pada organisasi politik, tetapi juga terjadi pada organisasi keagamaan. Konflik dalam gagasan dan cita-cita. Konflik ini terjadi karena setiap individu atau kelompok.
b.    Ada naluri ingin mendominasi dalam pandangan dunia, baik yang berkaitan dengan doktrin agama, nilai budaya, filsafat, maupun gaya hidup kultural. Konflik politik dikelompokkan menjadi dua tipe, yang mana meliputi konflik positif dan konflik negatif. Konflik positif adalah konflik yang tidak mengancam eksistensi sistem politik, biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang dimaksud ialah lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan perwakilan rakyat, pengadilan, pemerintah, pers, dan forum-forum terbuka lainnya. Tuntutan akan perubahan yang di ajukan oleh sejumlah kelompok masyarakat melalui lembaga-lembaga itu merupakan contoh konflik posisitf. Sebaliknya, konflik negatif ialah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan melalui cara-cara non konstitusional, seperti kudeta, separatisme, terorisme dan revolusi.

3.    Struktur Konflik
Menurut Paul Conn mengatakan, situasi konflik pada dasarnya dibedakan menjadi konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang (non zero-sum conflict). Konflik menang-kalah ialah situasi konflik yang bersifat antagonistic sehingga tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Ciri struktur konflik ini, yakni tidak mungkin mengadakan kerja sama, hasil kompetisi hanya akan dinikmati oleh pemenangnya saja (pihak yang menang akan mendapatkan segalanya, sedang pihak yang kalah akan kehilangan segalanya) dan yang dipertaruhkan biasanya hal-hal yang dianggap prinsipil, seperti harga diri, iman kepercayaan, masalah-masalah hidup atau mati, dan jabatan penting pemerintahan.
Konflik menang-menang ialah suatu situasi konflik dimana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik masih mungkin untuk mengadakan kompromi dan bekerja sama sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut, Yang dipertaruhkan dalam situasi konflik kompromi dan kerjasama yang menguntungkan kedua pihak. Ciri struktur konflik ini, yakni kompromi dan kerjasama, hasil kompetisi akan dinikmkati oleh kedua pihak tetapi tidak secara maksimal (Ramlan Surbakti, 1999: 154).

4.    Tujuan Konflik
Secara umum tujuan konflik ada dua, yakni mendapatkan dan atau mempertahankan sumbersumber. Tujuan konflik untuk mendapatkan sumber-sumber merupakan ciri manusia yang hidup bermasyarakat karena manusia memerlukan sumber-sumber tertentu yang bersifat materil-jasmaniah maupun spirituil-rohaniah untuk dapat hidup secara layak dan terhormat dalam masyarakat. Yang ingin diperoleh manusia meliputi hal-hal yang sesuai dengan kehendak bebas dan kepentingannya. Kemudian kecendrungan hidup manusia juga akan selalu mempertahankan dan memelihara sumber yang dimilikinya dari usaha pihak lain untuk merebut atau mengurangi sumber-sumber tersebut. Yang ingin dipertahankan bukan hanya harga diri, keselamatan hidup dan keluarga, tetapi juga wilayah/daerah tempat tinggal, kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki (Ramlan Surbakti, 1992:155).
Dengan asumsi tersebut, maka tujuan konflik juga bisa dikategorikan sebagai berikut:
a.    Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik mempunyai tujuan yang sama, yakni sama-sama berupaya mendapatkan.
b.    Disatu pihak hendak mendapatkan, sedangkan dipihak lain berupaya keras mempertahankan apa yang dimiliki.
5.    Resolusi Konflik
Pengaturan/Resolusi konflik menurut Ralf Dahrendorf, ia mengatakan bahwa pengaturan konflik yang sangat efektif bergantung pada tiga faktor.
Pertama, kedua pihak harus mengakui kenyataan dan situasi konflik yang terjadi diantara mereka (adanya pengakuan atas kepentingan yang diperjuangkan oleh pihak lain).
Kedua, kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisir secara rapi, tidak bercerai berai dan terkotak-kotak sehingga masing-masing pihak memahami dengan jelas lingkup tuntutan pihak lain.
Ketiga, kedua belah pihak menyepakati aturan main (rules of the game) yang menjadi landasan dan pegangan dalam hubungan dan interaksi diantara mereka. Ketika ketiga isyarat ini dipenuhi maka berbagai bentuk pengaturan konflik dapat dibuat dan dilaksanakan. Dahrendorf juga menyebutkan tiga bentuk pengaturan konflik. Pertama, bentuk koalisi seperti parlemen atau kuasi-parlemen yang mana semua pihak berdiskusi atau berdebat secara terbuka dan mendalam untuk mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak.
Kedua, bentuk mediasi yang mana kedua pihak sepakat mencari nasehat dari pihak ketiga (seorang mediator berupa tokoh, ajli, atau lembaga tertentu yang dipandang mempunyai pengetahuan dan keahlian yang mendalam mengenai hal yang dipertentangkan), tetapi nasehat yang diberikan mediator ini tidak mengikat mereka. Ketiga, bentuk arbitrasi, dimana kedua pihak sepakat mendapatkan keputusan akhir (yang bersifat legal) sebagai jalan keluar konflik pada pihak ketiga sebagai arbitrator. Ketiga bentuk pengaturan konflik ini dapat dilaksanakan satu saja atau ketiganya secara bertahap. Ziegenhaen lebih melihat pengaturan konflik yang cenderung bersifat kekerasan (political violence) dari segi kebijakan yang ditempuh dalam mengatur prilaku puhak-pihak yang berkonflik. Ia berpendapat bahwa pemerintah dapat melakukan salah-satu dari tiga kebijakan intervensi sebagai upaya mengendalikan konflik politik, yakni kemampuan paksaan secara fisik (coercive capacity) dan ancaman penggunaannya, penggunaan sanksi negatif atas salah satu atau kedua belah pihak yang berkonflik, dengan cara seperti mengeluarkan peraturan-peraturan larangan mengadakan demonstrasi, melakukan tindakan separatisme, mengadakan kritik dan lain sebagainya. (Ramlan Surbakti, 1992).
Komunikasi efektif dipengaruhi oleh saluran komunikasi formal, struktur organisasi, spesialisasi jabatan, pemilikan informasi, jaringan komunikasi dalam organisasi. Artinya faktor-faktor

B.    Konflik
1.    Konflik Pemilukada Pada Tahapan Persiapan I
a.    Pemindahan Dukungan Partai Demokrat kepada pasangan PAS
Pada awalnya Dewan Perwakilan Pusat (DPP) Partai Demokrat sudah secara resmi mendeklarasikan Septina Primawati yang notabene adalah istri Gubernur Riau Rusli Zaenal pada pertemuan di DPP Partai Demokrat, karena pada musyawarah mufakat yang telah dilakukan oleh Partai Demokrat dan Partai Golkar di Riau,
Gubernur Riau pada saat itu telah menyanggupi untuk memberikan kursi calon walikota kepada Partai Demokrat, akan tetapi yang terjadi dilapangan tidak seperti yang di harapkan oleh Partai Demokrat, Gubernur tidak memberikan akomodasi yang telah di janjikan dikarenakan Ketua Umum DPP Partai Golkar Abu Rizal Bakrie juga sudah menetapkan yang akan menjadi calon wakil walikota adalah ketua DPD Golkar Kota Pekanbaru yakni Erizal Muluk. Padahal pada saat itu Sekretaris DPD Partai Demokrat sudah berbicara di media bahwa ia akan maju mendampingi Septina Primawati untuk menjadi peserta pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kota Pekanbaru. Kemudian DPD I Partai Demokrat Riau melaporkan hal tersebut ke DPP, Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat memberikan perintah agar tidak lagi mendukung Septina Primawati. Oleh sebab itulah Partai Demokrat tidak lagi berpasangan dengan Partai Golkar, dalam artian tidak mendukung Septina Primawati. Kemudian pada akhirnya DPP Partai Demokrat memutuskan untuk mendukung Firdaus dan Ayat Cahyadi sebagai Calon Walikota dan Wakil Walikota Kota Pekanbaru.


b.    Konflik internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Konflik internal PDIP tidak dapat dihindari terkait perbedaan pendapat mengenai dukungan terhadap pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Kota Pekanbaru yang pada akhirnya menyebabkan beberapa kader terbaik PDIP memilih untuk mengundurkan diri baik dari struktur maupun statusnya sebagai kader PDIP dan lebih memilih untuk bergabung bersama tim koalisi oposisi (lawan). Pada Rabu, 9 Maret 2011, satu jam sebelum berakhirnya batas pendaftaran calon Walikota dan Wakil Walikota Kopta Pekanbaru, Kordias Pasaribu Ketua DPC PDIP Kota Pekanbaru datang ke KPUD Kota Pekanbaru untuk memberikan dukungan kepada pasangan PAS bersama perwakilan 18 partai non Parlemen, diantaranya adalah PKPI, PIS, PKNU, Partai Republikan, Partai Buruh, PNBK Indonesia, Partai Barnas, PNI Marhaenis, PBR, PPI, Pakar Pangan, PKP Indonesia, PKDI, PPRN, PPIB, Partai Pelopor, dan PDP.
Sikap PDIP Kota Pekanbaru yang mendukung pasangan Firdaus-Ayat Cahyadi ternyata berbeda dengan yang dikeluarkan oleh DPP PDIP. Sehari sebelumnya, Suryadi Khusaini, Ketua DPD Provinsi Riau mengatakan bahwa PDIP mendukung pasangan calon Peri Akri-Kusdani dalam Pemilukada Kota Pekanbaru. Pada hari Selasa, 12 April 2011, Kordias Pasaribu mengundurkan diri dari jabatannya yakni Ketua Umum DPC PDIP Kota Pekanbaru, diduga mendapat tekanan dari petinggi partai berjuluk “partai wong cilik” ini. Hal tersebut memancing amarah para pendukungnya yang pada hari tersebut langsung melakukan demo di sekretariat PDIP Kota Pekanbaru sambil melakukan aksi bakar kartu anggota PDIP mereka.

2.    Konflik Pemilukada Pada Tahapan Persiapan II
a.    Adanya Curi Start Kampanye Diluar Jadwal
Permasalahan curi start saat kampanye sudah tidak lagi menjadi hal yang aneh dalam pelaksanaan Pemilihan Umum, pasalnya, curi start dalam kampanye merupakan keuntungan tersendiri bagi calon-calon yang sedang bersaing dalam pelaksanaan Pemilihan Umum, baik itu pemilihan Presiden, pemilihan Gubernur, Pemilihan Legislatif dan lain sebagainya. Pada Pemilukada Kota pekanbaru juga tidak luput dari adanya praktek yang bernama curi start dalam kampanye, seperti yang dilakukan oleh Wakil Gubernur Riau H.R Mambang Mit pada acara malam pagelaran wayang semalam suntuk yang diselenggarakan oleh pasangan Calon walikota dan Wakil Walikota Firdaus-Ayat Cahyadi di lapangan sekuntum, kulim, pada hari jumat, 29 April 2011.
Pidato Mambang Mit tersebut dinilai sudah melakukan kampanye diluar jadwal kampanye yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Pekanbaru. Oleh karena itu, pada hari Sabtu sore, 30 April 2011, Tim Koalisi pemenangan BERSERI, Muhammadun Royan, didampingi ketua Tim Advokasi BERSERI, Syam daeng Rani melaporkan hal tersebut kepada panitia Pengawas Pemilihan Umum PANWASLU Kota Pekanbaru dengan membawa saksi dan bukti-bukti berupa rekaman dan foto-foto. Syam Daeng Rani menyebutkan ada beberapa alasan kenapa mereka membuat laporan Ke PANWASLU Kota Pekanbaru, di antaranya adalah; Mambang Mit merupakan Wakil Gubernur yang semestinya harus bersikap netral, karena kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang menjadi juru kampanye. Hal tersebut sesuai dengan UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 12 Tahun 2008. Selanjutnya Firdaus-Ayat Cahyadi melanggar aturan karena membuat kegiatan seperti kampanye diluar masa kampanye seperti yang dilarang didalam PP No 49 Tahun 2008.

b.    Adanya Penggunaan Kendaraan Dinas
Pemakaian kendaraan dinas dalam sosialisasi salah satu pasang calon yang bersaing dalam Pemilukada tentu saja hal tersebut tidak dibenarkan dan dilarang, Sesuai dengan UU No 12 tahun 2008 yang sebagai perubahan kedua dari UU 32 No 2004. Praktek Black Campaign atau kampanye gelap juga sering kali muncul dalam Pemilukada atau Pemilu Gubernur atau Pemilu Legislatif bahkan Pemilu Presiden, hal ini juga menjadi momok dalam sistem perpolitikan di Indonesia bersamaan dengan Politik Uang, dan Poltik Curi Start Kampanye.
Dalam pelaksanaan Pemilukada Kota Pekanbaru terdapat beberapa Black Campaign yaitu, kampanye gelap yang dilakukan oleh Herman Abdullah yang pada waktu masih menjabat sebagai Walikota Kota Pekanbaru, selebaran isu kepemimpinan Perempuan, dan Pembagian sembako yang di lakukan BERSERI .

c.    Black Campaign yang dilakukan oleh Herman Abdullah
Sebuah dinamika yang menarik apabila pejabat pemerintah yang sedang menjabat menjadi tim pemenangan salah satu pasangan calon Kepala Daerah. Hal tersebut yang tentunya dilarang didalam UU No 32 Tahun 2004 tidak pantas dan sangat tidak etis untuk dilakukan oleh pejabat pemerintah yang notabene Kepala didaerah tersebut. Pelanggaran Herman Abdullah sebagai Walikota Pekanbaru Pada Pemilukada Kota Pekanbaru 2011 yang Mengerahkan 11 camat dan 57 lurah untuk memobilisasi massa dan memfasilitasi sosialisasi kampanye untuk memenangkan salah satu pasangan dari Peserta Pemilukada Kota Pekanbaru periode 2011-2016 telah mencoreng perpolitikan di Pekanbaru Khususnya di Riau. Terlepas masalah kepentingan politik atau individu yang jelas hal tersebut tidak dibenarkan oleh undang-undang dan secara otomatis telah melanggar hukum yang berlaku. Bukti pelanggaran tersebut didapati oleh tim intelijen BERSERI dan kemudian di Expose di Youtube. Hingga detik inipun masih bisa di lihat di youtube.

d.    Pembagian sembako yang di lakukan BERSERI
Dalam segi dana Pasangan BERSERI memang lebih kuat dibandingkan dengan pasangan PAS hal itu juga di akui oleh Ketua Tim Koalisi PAS. Tidak hanya masalah isu yang dimainkan didalam penyelenggaraan pemilukada, sejumlah permainan politik uang, dan pembagian sembako pun juga dilakukan demi menjulang perolehan suara dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah. Adanya balas membalas isu tidak membuat para peserta pemilukada puas.
Mereka ingin memastikan kemenangan mereka dengan cara-cara halus dan lebih merakyat. Salah satu contohnya adalah pembagian sembako, selain terkesan memperhatikan masyarakat kegiatan tersebut adalah merupakan langkah yang tepat untuk bersilaturahmi dan berkampanye produktif demi memperoleh simpati dari masyarakat. Strategi tersebut diketahui oleh Tim sukses dari pasangan PAS, dan praktek pembagian sembako dilaporkan kepada Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kota Pekanbaru.


e.    Terjadinya Praktek Joki
Pada hari H pelaksanaan pemungutan suara tanggal 18 Mei Tahun 2011 yang lalu, permasalahan klasik dalam Pemilukada juga tidak mau ketinggalan, permasalahan mencoblos dua kali, mencoblos tidak sesuai identitas, terdaftar di dua tempat TPS yang berbeda, bahkan ada yang melakukan pembayaran kepada oknum masyarakat untuk mencoblos mengunakan undangan masyarakat lain yang tidak mencoblos.

f.    DPT Yang Bermasalah
Dalam pelaksanaan Pemilukada juga tidak terlepas dari permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Masih banyaknya masyarakat yang belum terdaftar didalam DPT membuat permasalahan dihari H pelaksanaan Pemilukada sedikit bermasalah, untuk menanggulangi masalah tersebut maka pemerintah daerah mengambil kebijakan boleh mencoblos asal membawa identitas sebagai penduduk setempat meskipun tidak mendapatkan undangan atau namanya tidak terdaftar didalam DPT. Tentu saja hal ini bisa saja dimainkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab, karena selain KTP bisa di scan dengan alat tertentu atau pembuatan KTP palsu, ada juga oknum yang menggunakan KTP masyarakat yang tidak memilih untuk dipinjam oleh tim pemenangan salah satu pasangan calon.

3.    Konflik Pemilukada Pada Tahapan Persiapan III
a.    Gugatan Sengketa Pemilukada oleh BERSERI
Dalam setiap pelaksanaan Pemilukada setiap pasangan yang kalah mempunyai waktu senggang untuk mengadukan kepada pihak yang berwenang apabila didalam proses pelaksanaan Pemilukada terdapat atau terjadi sesuatu hal yang merugikan salah satu pasang calon tersebut.
Pengaduan dan gugatan itu merupakan hak penuh pasangan calon yang tengah bersaing dalam proses penyelenggaraan Pemilukada. Demikian halnya yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Kota Pekanbaru, Septina Primawati-Erizal Muluk membuat pengaduan atau gugatan ke Mahkamah Konstitusi(MK) terkait permasalahan-permasalahan semasa proses pelaksanaan Pemilukada Kota Pekanbaru, yang kiranya telah merugikan mereka dalam proses pelaksanaan Pemilukada Kota Pekanbaru sehingga mereka BERSERI kalah dari PAS dengan jumlah suara BERSERI 107.268 suara/ 41,07 persen dan PAS dengan jumlah suara 153.943/58,93 persen.
Dengan bukti-bukti yang telah kubu BERSERI persiapkan diajukanlah gugatan Pemilukada tersebut ke MK guna untuk ditindak lanjuti mengenai kebenaran bukti-bukti pelanggaran yang di lakukan oleh pasangan PAS tersebut. Kemudian MK memproses laporan yang telah di ajukan oleh BERSERI, dalam pertimbangan putusan, delapan Hakim MK menyatakan telah terjadi berbagai pelanggaran di antaranya penglibatan Pegawai Negeri Sipil (PNS), terutama Camat, Lurah, RT dan RW secara terstruktur, sistematis dan massif dalam Pemilukada Kota Pekanbaru untuk memenangkan salah satu pasangan calon.

b.    Keputusan MK untuk melakukan PSU pada seluruh TPS
Setelah memproses dan menghadirkan fakta-fakta persidangan Akhirnya MK Membuat keputusan yang kontroversial. Hasil keputusan sidang MK tanggal 24 Juni 2011 yang termaktub dalam putusan Sela MK Nomor 63/PHPU.D-IX/2011, Pemilukada Kota Pekanbaru diputuskan untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) diseluruh TPS dalam waktu 90 hari semenjak keputusan tersebut ditetapkan di Jakarta.

c.    Pemecatan ketua KPUD Kota Pekanbaru Yusri Munaf
Bersamaan dengan hari berakhirnya masa tugas Herman Abdullah sebagai Walikota Pekanbaru pada hari yang sama, 18 Juli 2011 ketua KPUD Kota Pekanbaru di pecat. Surat pemecatan Yusri Munaf langsung diantarkan oleh Komisioner KPU Riau. Setelah mengantarkan surat ke KPUD Kota Pekanbaru, pada Pukul 10.00 WIB KPU Riau mengumumkan pemecatan Yusri Munaf, sedangkan empat komisioner lainnya yaitu Makmur Hendrik, Fachri Yasin, Tengku Rafizal dan Neni Astuti diberikan surat peringatan karena ikut melakukan pelanggaran kode etik KPU saat penyelennggaraan Pemilukada Kota Pekanbaru 18 Mei 2011.
Pemecatan Ketua KPUD Kota Pekanbaru ini dikarenakan terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik KPU, KPU Riau memutuskan pemecatan tersebut berdasarkan rekomendasi Dewan Kehormatan (DK) yang dibentuk berdasarkan laporan dari PANWASLU Kota Pekanbaru dan warga.

d.    Pemutasian PNS Oleh Walikota dan Penjabat Walikota Pekanbaru
Selama tahun 2011 ternyata Pemerintah Kota Pekanbaru telah melakukan mutasi terhadap 417 Pegawai Negeri Sipil (PNS) di jajarannya. Mutasi yang dilakukan terdiri dari promosi, rotasi, non job, dan demosi. Pejabat yang dimutasi mulai dari eselon IV hingga eselon II. Walikota Kota Pekanbaru Definitif, Herman Abdullah selama tahun 2011 yang menjabat sampai bulan juli, melakukan mutasi terhadap PNS sebanyak 247 orang, sedangkan Penjabat (PJ)
Walikota Pekanbaru, Syamsurizal yang menjabat sejak bulan juli hingga bulan Desember 2011 ini memutasi sebanyak 170 PNS. Mutasi yang dilakukan oleh Herman Abdullah terhadap 247 PNS itu pada umumnya rotasi. Namun mendapat perlawanan dari tiga orang PNS, perlawanan itu berupa penggugatan ke PTUN Kota Pekanbaru pasalnya jabatan baru yang mereka terima dari hasil mutasi itu tidak sesuai dengan pendidikan yang mereka miliki. Sedangkan mutasi terhadap 170 orang PNS oleh Syamsurizal, selain rotasi ada juga yang demosi dannon job. Mutasi ini mendapat perlawanan dari 45 orang PNS yang mengalami demosi dan non job tersebut. PNS sebanyak 45 orang tersebut terdiri dari Kasi di Kelurahan, Lurah, Sekretaris Camat, dan Camat.(Tribun Pekanbaru, 24 Desember 2011; 23)

e.    Demonstrasi Tuntut Pelaksanaan PSU Pemilukada Kota Pekanbaru
Aksi demo pasca molornya Pelaksanaan PSU Pemilukada Kota Pekanbaru terjadi pada tanggal 14 September 2011. Seharusnya hari itu adalah pelaksanaan PSU Pemilukada Kota Pekanbaru, akan tetapi karena berbagai macam alasan dan konspirasi yang terjadi dilapangan sehingga PSU Pemilukada Kota Pekanbaru tanggal 14 September tidak dapat terealisasikan. Ratusan massa dari berbagai organisasi mulai bertindak anarkis dengan memukul kuli tinta, serta menutup jalan protokol. Ratusan massa tersebut melakukan aksi di depan kantor Walikota Kota Pekanbaru. Tepatnya dibundaran Tugu Selais. Massa yang tergabung dalam aksi demonstrasi itu terdiri dari tiga aliansi, yakni Aliansi Masyarakat Peduli PSU Bersih (AMPPUH), koalisi masyarakat Pekanbaru Bersatu (KMPB), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Namun dalam melakukan orasi, Massa dari KMPB bergabung menjadi satu dengan massa KAMMI. Massa AMPPUH tidak bergabung bersama massa KMPB dan KAMMI mereka terpisah menjadi dua kubu. Masing-masing dari kubu tersebut mempunyai tuntutan-tuntutan yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah Pekanbaru. Kedua kubu tersebut menuntut hal yang sedikit berbeda antara kubu satu dan yang lainnya, sehingga untuk berjaga-jaga Polisi membuat pagar betis untuk mengantisipasi adanya tawuran antar pendemo.

f.    Penambahan Waktu Penyelenggaraan PSU
Pada hari jumat, 7 Oktober 2011, MK kembali menggelar sidang, membahas tentang gagalnya PSU pada Pemilukada Kota Pekanbaru tahun 2011. MK dalam putusannya berkesimpulan, ada rangkaian fakta dan bukti yang terungkap dalam persidangan yang meyakinkan MK bahwa ada upaya untuk menunda pelaksanaan PSU Pemilukada Kota Pekanbaru yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif yang juga dilakukan oleh pemohon, termohon, dan Penjabat Walikota Kota Pekanbaru. Putusan MK yang memperpanjang keputusan sela mengundang kontroversi seperti yang tercantum dalam Riaupos.co, MK mengabulkan sebagian permohonan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Pekanbaru. Untuk memperpanjang putusan sela MK selambat-lambatnya 90 hari setelah ketetapan tersebut di ucapkan. MK Memerintahkan KPU Kota Pekanbaru untuk melaksanakan putusan dan penetapan MK tersebut.

g.    KPUD Kota Pekanbaru menggugurkan Firdaus
Komisi Pemilihan Umum Kota Pekanbaru menggugurkan pencalonan Firdaus MT, meski yang bersangkutan sudah di tetapkan sebagai pemenang Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Pekanbaru yang berlangsung pada 21 Desember 2011. Dalam surat keputusan KPUD Kota Pekanbaru nomor 79/2011 (SK KPU 79/2011) tertanggal 28 Desember 2011 disebutkan, Firdaus tidak memenuhi persyaratan sebaiagai calon Walikota Kota Pekanbaru 2011. Seperti yang tercantum pada Kompas.com, 5 januari 2012, Abdul Wahid, Ketua Kelompok Kerja Sosialisasi KPUD Kota pekanbaru mengungkapkan bahwa SK KPU 79/2011 itu merupakan hasil rapat pleno KPUD Kota Pekanbaru. Surat itu merupakan salah satu dokumen yang dikirimkan
KPUD Kota Pekanbaru Kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pertimbangan sebelum menetapkan sebagai pemenang. Awalnya, hal tersebut merupakan temuan Panwaslu Kota Pekanbaru yang kemudian ditindak lanjuti oleh KPU Kota Pekanbaru. KPU Kota Pekanbaru menindak lanjutinya dengan mengeluarkan kesimpulan bahwa Calon Walikota Pekanbaru H. Firdaus, MT tidak memenuhi syarat (TMS).

h.    Rumah Ketua Tim Koalisi BERSERI di Tembak
Seperti yang tercantum pada tribunnews.com. 6 Januari 2011; 14.05 WIB, Muhammadun menyatakan dirinya belum siap berkomentar saat dimintai keterangan oleh tribunnews.com. "Nanti saja ya kepala saya masih pusing dan masih syok," ucapnya. Penasihat Hukum Pasangan Berseri Eva Nora yang berada dilrumah Muhammadun mengatakan, kejadian itu sekitar pukul 06.30 WIB, dan korban terbangun saat mendengar suara letusan tersebut. Selanjutnya dilaporkan ke Mapolsek Senapelan. Mendapat laporan tersebut Kapolsek Senapelan Kompol Arif Hidayat Ritonga SIK bersama Kanit Reskrim Iptu Milson Jhoni dan anggotanya serta di bantu Tim Identifikasi Polresta Pekanbaru untuk melakukan olah TKP. Hasil dari olah TKP petugas berhasil menemukan sebutir selongsong dipinggir jalan atau tepatnya diluar pagar rumah Muhammadun Royan. Hingga pukul 12.30 WIB polisi masih melakukan olah TKP dilapangan. (Tribunnews.com, 6 Januari 2011; 14.05).

i.    Rumah komisioner KPU di Bakar
Seperti yang berada dalam berita tribunnews.com, Selasa 10 januari 2012 pukul 11:35 WIB, RT 03, H. Ibrahim mengatakan, saat kebakaran sempat mendengar bunyi ledakan, yang diperkirakan berasal dari ban mobil Honda CRV dengan nomor polisi B 1377 KJB. Sedangkan Agusniati (Istri H. Ibrahim) menyebutkan bahwa dirinya baru usai sholat sunat tahajjud, ketika mendengar ledakan Ia membangunkan cucunya dan langsung keluar rumah, cucu saya langsung membantu memadamkan api, api itu hanya menyala sekitar 10 menit. Saat kejadian tersebut, ada lima orang yang beradadidalam rumah, dua anak, dua menantu dan istri Makmur Hendrik. Pihak kepolisian dari identifikasi sudah turun ke lokasi dan sudah membawa mobil Honda CRV dan seorang saksi yakni Erik. (Tribunnews.com, Selasa 10 Januari 2012 Pukul 11:35).

j.    Putusan MK Akhiri Kisruh Pemilukada Kota Pekanbaru
Kisruh sengketa dan Konflik Pemilukada Kota Pekanbaru berakhir sudah, saat palu hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuai oleh Mahfud MD memutuskan pasangan Firdaus-Ayat Cahyadi (PAS) sebagai Walikota dan Wakil Walikota terpilih Kota Pekanbaru Periode 2012-2017. Suasana siding sempat di warnai suasana haru sejak majelis hakim secara bergantian membacakan pertimbangan hukum. Belum lagi usai hakim membacakan secara utuh, balkon dua, ruang siding yang mayoritas dipenuhi pendukung PAS mulai pula diwarnai dengan tangisan.









BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan tentang dinamika konflik pemilukada Kota Pekanbaru Tahun 2011, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1.    Pada dasarnya Konflik yang terjadi didalam Pemilukda Kota Pekanbaru 2011 adalah konflik yang bersifat strategi politik.
2.    Timbulnya konflik karena dilater belakangi oleh peraturan yang masih jauh dari sempurna sehingga membuka celah bagi oknum-oknum untuk memannfaatkan celah tersebut untuk kepentingan kelompoknya.
3.    Konflik Pemilukada Kota Pekanbaru 2011 juga dilatar belakangi oleh banyaknya jumlah pasangan calon yang tidak lulus seleksi Pemilukada Kota Pekanbaru dikarenakan system borong partai politik yang terjadi pada Pengusungan calon Walikota dan Wakil Walikota Kota Pekanbaru.
4.    Didalam Pemilukada Kota Pekanbaru terjadi sebuah konspirasi yang pada awalnya dilakukan oleh Ketua KPU, Walikota Kota Pekanbaru dan pasangan PAS pada Pemilukada Putaran pertama tanggal 18 Mei 2011. Dan hal yang sama juga dilakukan oleh pasangan BERSERI pada PSU Pemilukada Kota Pekanbaru tanggal 21 Desember 2011.
5.    Sengketa Pemilukada Kota Pekanbaru 2011 merupakan sejarah pertama di Indonesia yang mengalami penundaan PSU diseluruh TPS dan adanya persidangan di MK selama tiga kali dengan 3 permasalahan dan putusan yang berbeda.

B.    Saran
Adapun harapan dan saran untuk pemilukada yang selanjutnya khususnya di Riau dan umumnya di Indonesia adalah sebagai berikut;
1.    Harapan untuk kedepannya agar pasangan calon yang menjadi peserta didalam Pemilukada, penyelenggara Pemilukada dan panitia Pegawas Pemilukada dapat menjalankan peraturan yang ada sesuai dengan peraturan dan amanat undang-undang.
2.    Masyarakat menginginkan Pemilukada yang bersih, yang proffesional, yang jujur, sehingga betul-betul mekanismenya semakin sempurna, sehingga target untuk mensejahterakan kemaslahatan dan kepentingan masyarakat itu dapat tercapai.
3.    Pemerintah khususnya DPR RI harus merevisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 12 tahun 2008.
4.    Perangkat-perangkat aturan main itu harus di pertegas, dan hal itu disosialisasikan secara terbuka sehingga hal tersebut tidak multi tafsir, dan tidak ada perbedaan interpretasi yang berujung pada spekulasi.
5.    Lembaga penyelenggara, Panwaslu Kota/Kabupaten, KPU Kota/Kabupaten, maupun masyarakat harus menterjemahkan aturan main yang ada tersebut sama dengan klausul yang ada, tidak Multi Tafsir. Sehingga tidak memungkinkan terjadinya Money Politic, adanya manipulasi-manipulasi suara dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Miriam, Prof.Dr. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2001
Surbakti, Ramlan, DR. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT Grasindo, 1992
Perundang – undangan
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 63/PHPU.D-IX/2011.
http://www.blogdetik.com
http://www.detik.com/pemilihan/kepala/daerah/
http://www.m.antarariau.com
www.id.shvoong.com/law-and-politics/law/2242578-definisi-mediasi/ : 6 Desember 2012.
www.aswinhsh.wordpress.com/2009/01/06/tinjauan-umum-arbitrase/ :6Desember 2012. Riau Pos, 28 September 2012: 1.


Patologi Birokrasi di Kabupaten Bengkalis

By : Sopriadi Ahmad




KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyusun tugas makalah yang berjudul “ Patologi Birokrasi di Kabupaten Bengkalis”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Politik Birokrasi di Indonesia. Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan tugas ini, sehingga penulis bisa memahaminya
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan, baik kritik maupun saran, demi kelengkapan dan kebaikan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca pada umumnya.


Maret,   2013

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Di Negara dan pemerintahan manapun, para anggota birokrasi disebut sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Dengan predikat demikian, mereka diharapkan dan dituntut menampilkan perilaku yang sesuai dengan peranannya selaku abdi tersebut. Keseluruhan perilaku para anggota birokrasi tercermin pada pelayanan kepada seluruh masyarakat. Karena penerapan prinsip fungsionalisasi, spesialisasi dan pembagian tugas, sudah barang tentu terdapat bagian masyarakat yang menjadi “clientele” suatu instansi tertentu. Sebagai prinsip dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh birokrasi kepada para klientelenya harus bersifat adil, cepat, ramah dan tanpa diskriminasi. Karena itu, ungkapan yang mengatakan bahwa para pegawai negeri adalah untuk melayani dan bukan untuk dilayani, hendaknya terwujud dalam praktik administrasi Negara sehari-hari, sebab apabila tidak ada, ungkapan tersebut hanya akan menjadi slogan tanpa makna.
Dengan kata lain, teramat penting untuk mengupayakan agar para anggota birokrasi menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan peranannya selaku abdi negara dan abdi masyarakat.
Dari segi inilah, penting dipahami patologi birokrasi yang ber-sumber dari keperilakuan.    Pemahaman perilaku dalam kaitannya dengan patologi birokrasi, mutlak perlu disoroti dari sudut pandang etos kerja dan kultur organisasi yang berlaku dalam suatu birokrasi tertentu.
Dewasa ini, Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan hal baru lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk, negatif atau sebagai suatu penyakit (bureau patology), seperti Parkinsonian (big bureaucracy), Orwellian (peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengontrol masyarakat) atau Jacksonian (bureaucratic polity), ketimbang citra yang baik atau rasional (bureau rationality), seperti yang dikandung misalnya, dalam birokrasi Hegelian dan Weberian.
Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya, serta lambatnya pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit. Keseluruhan kondisi empirik yang terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian yang memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses pemerintahan. Birokrasi, dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak disiplin, dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat besar, tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat.
Buruk serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat untuk mencari ''jalan pintas'' dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali mendorong para pejabat untuk mencari ''kesempatan'' dalam ''kesempitan'' agar mereka dapat menciptakan rente dari pelayanan berikutnya.
Atas dasar tersebut diatas maka Penulis membuat makalah yang berjudul patologi biroksari karena perilaku aparatur ini.


1.2    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.    Apa definisi dari patologi birokrasi ?
2.    Apa saja jenis patologi birokrasi yang ditimbulkan oleh prilaku aparat pemerintah Kabupaten Bengkalis?
3.    Apa saja akibat yang di timbulkan dari Patologi yang terjadi?
4.    Apa solusi yang konkrit dalam menangani Patologi Birokrasi yang dilakukan aparat Pemerintah Kabupaten Bengkalis yang terkait?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Patologi Birokrasi.

Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David Osborne, JW Schoorl) Patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan.
Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti “sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.
Secara umum, Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal

2.2    Jenis Patologi Birokrasi pada aparatur Birokrasi.
Terdapat lima jenis patologi birokarasi yang dikenal, yaitu:
1.    Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para birokrat. Diantara patologi jenis ini antara lain, penyalahgunaan wewenag dan jabatan, menerima suap, arogansi dan intimidasi, kredibilitas rendah, dan nepotisme.
2.    Patologi yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana birokrasi. Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa puas diri, bertindak tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif, dan kebingungan.
3.    Patologi yang timbul karena tindakan para birokrat yang melanggar norma hokum dan peraturan perundang-undangan. Diantara patologi jenis ini antara lain, menerima suap, korupsi, ketidakjujuran, kleptokrasi, dan mark up anggaran.
4.    Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional. Diantara patologi jenis ini antara lain, bertindak sewenang-wenang, konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin.
5.    Patologi yang merupakan akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan. Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja kurang kondusif.
2.2.1    Data kasus.

Dari kasus di lapangan yang ada, dapat dilihat bahwa hal tersebut juga menunjukkan adanya patologi dalam birokrasi khususnya di daerah Kabupaten Bengkalis. Yaitu:
Terkait beberapa isu penyakit di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Bengkalis dapat dilihat beberapa diantaranya masuk dalam kategori patologi birokrasi Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para birokrat. Misalnya dalam hal kurang disiplin, ini terbukti dengan adanya para PNS yang tertangkap sedang berada di warung kopi pada saat jam kerja. tentunya kejadian ini bisa di temui pada saat terjadi Razia. Seperti yang di lihat dari “TribunPekanbaru.com” terbukti bahwa Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Riau, Nizhamul, Kamis (22/03/2012)pagi, mengungkapkan bahwa pihaknya sudah melakukan Razia Terhadap PNS, dan  mereka menemukan atau sudah mendata ada 49 PNS yang tertangkap tangan sedang nongkrong di Kedai kopi pada saat jam kerja.
Melihat situasi yang ada, penyakit tersebut terlihat bahwa masalahnya adalah pada kredibilitas terhadap kinerja yang rendah.



2.3    Akibat Patologi Birokrasi.   

Ironis memang jika ternyata masih banyak anggota PNS yang tidak taat pada disiplin, padahal. Tentunya mereka tahu akan Peraturan dan Undang-Undang yang berlaku. Dan dari beberapa patologi yang terjadi pada PNS yang ada di Kabupaten Bengkalis, maka hal itu memiliki dampak, yaitu antara lain:
•    Merugikan birokrasi sendiri (krisis kepercayaan, delegitimasi sosial, dll), masyarakat, stakeholder, bangsa dan negara.
•    Menghambat tercapainya kemajuan, modernisasi, dan kesejahteraan.
•    Memicu kerawanan sosial dan perubahan sistem secara evolusi dan revolusi.

Ketidakefektifan satu saja dari asas-asas umum penyelenggaraan negara akan memeberikan dampak yang signifikan dalam hal penjabaran fungsi pelayanan masyarakat. Selain itu sangat mungkin hal ini akan menjangkiti efektifitas asas-asas lainnya.

2.4    Solusi Konkrit Patologi di Bengkalis.

Dalam upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut langkah-langkah prefentif yang dapat dilakukan antara lain:
1.    Pemantapan paradigma secara menyeluruh bahwa fungsi utama birokrat adalah pelayanan masyarakat.
2.    Diketatkannya standar untuk menjadi seorang birokrat, terutama dalam penguasaan keterampilan teknologi seperti komputer.
3.    Pengenalan sanksi tegas bagi setiap pelanggaran ketika masa rekruitmen baru, bila perlu diberikan contoh nyata.




BAB III
PENUTUP


3.1    Kesimpulan
1.    Secara umum, Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal.
2.    Terdapat lima jenis patologi birokarasi yang dikenal, yaitu:
•    Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para birokrat.
•    Patologi yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana birokrasi.
•    Patologi yang timbul karena tindakan para birokrat yang melanggar norma hokum dan peraturan perundang-undangan.
•    Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional.
•    Patologi yang merupakan akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan.
3.    Dari beberapa patologi yang terjadi pada PNS yang ada di Kabupaten Bengkalis, maka hal itu berdampak pada:
•    Merugikan birokrasi sendiri (krisis kepercayaan, delegitimasi sosial, dll), masyarakat, stakeholder, bangsa dan negara.
•    Menghambat tercapainya kemajuan, modernisasi, dan kesejahteraan.
•    Memicu kerawanan sosial dan perubahan sistem secara evolusi dan revolusi.
4.    Dalam upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut langkah-langkah prefentif yang dapat dilakukan antara lain:
•    Pemantapan paradigma secara menyeluruh bahwa fungsi utama birokrat adalah pelayanan masyarakat.
•    Diketatkannya standar untuk menjadi seorang birokrat, terutama dalam penguasaan keterampilan teknologi seperti komputer.
•    Pengenalan sanksi tegas bagi setiap pelanggaran ketika masa rekruitmen baru, bila perlu diberikan contoh nyata.

3.2    Saran
Penulis menyadari bahwa materi yang penulis jelaskan masih terdapat banyak kekurangan. Sehingga untuk mengetahui lebih luas tentang kasus Patologi Birokrasi, pembaca dapat memperoleh dari berbagai sumber lainnya, seperti buku, referensi, ataupun internet.


DAFTAR PUSTAKA

Miftah Thoha.2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Penerbit Raja Grafindo. Jakarta.

Sondang P. Siagian, Patologi Birokrasi Analisis Identifikasi dan terapinya, (Jakarta;Ghalia Indonesia, 1994), hal.35-81, dikutip oleh Safri Nugraha, dkk.

www.RiauPos.com




KEBIJAKAN dan KONSEP DARI IMPLEMENTASI PEMBENTUKAN DAERAH

By : Sopriadi Ahmad




BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar belakang
Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakt di era reformasi muncul fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk suatu daerah otonom baru baik daerah propinsi maupun kabupaten dan kota. Keinginan seperti itu didasari oleh berbagai dinamika yang terjadi di daerah baik dinamika politik, ekonomi sosial maupun budaya. Dengan pembentukan daerah otonom baru, daerah otonom tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang lebih besar dalam mengurus dirinya sendiri, terutama berkaitan dengan pengelolaan sumber-sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam dan pengelolaan bantuan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang lebih baik.
Desentralisasi merupakan suatu refleksi proses reformasi politik, sosial budaya dan ekonomi. Perubahan politik dan sosial budaya di Indonesia dengan kecenderungan pergeseran pelayanan publik dari wewenang pemerintah pusat beralih menjadi wewenang tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal (Warsito Utomo,1997). Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Dinamika perkembangan wilayah menjadi otonom seperti itu disikapi pemerintah pusat dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sejak Januari 2001. Dalam hubungannya dengan pembentukan daerah otonom, Pasal 18 UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi dalam daerah kabupaten dan daerah kota Untuk mendukung implementasi kebijakan otonomi daerah, Pemerintah Pusat telah mempersiapkan berbagai kebijakan, antara lain Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa:
“dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakt. Pada pasal 4 ayat (2) dinyatakan pula bahwa daerah-daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarkis satu sama lain. Selanjutnya pada pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa keinginan masyarakat daerah untuk membentuk daerah otonom baru memang dimungkinkan oleh paraturan perundangan yang berlaku.
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan tema lama yang tampaknya selalu menemukan aktualitas dan relevansinya. Dikatakan tema lama karena Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan landasan yuridis yang jelas tentang eksistensi otonomi daerah. Seiring dengan ditetapkannya UUD 1945, sejak itu pengaturan tentang pemerintahan daerah dalam perundang-undangan sebagai penjabaran pasal 18 mulai ramai diperdebatkan. Hal ini tampak dari kehadiran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur tentang otonomi daerah. Kajian terhadap isi undang-undang yang pernah dipergunakan untuk mengatur pemerintahan daerah tetap saja menarik perhatian berbagai kalangan serta membuka peluang terjadinya perdebatan. Sampai saat ini sudah enam kali diadakan perubahan dan penyempurnaan, terakhir dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang sekarang sedang diimplementasikan. Materi perdebatan dalam Undang-undang Otonomi Daerah berada pada segi yang esensial, yaitu mengenai seberapa besar Pemerintah Pusat menyerahkan kewenangannya kepada daerah otonom (Yudoyono, 2001). 
Dengan demikian maka pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia menurut Suwandi (2002) memiliki ciri-ciri:
(1) daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal
(2) desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan,
(3) penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada angka 2 tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Sejalan dengan banyaknya keinginan untuk pembentukan daerah otonom baru, baik yang berupa pemekaran maupun peningkatan status, khususnya di daerah kabupaten dan daerah kota sesuai dengan mekanisme pembentukan daerah otonom maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, penghapusan dan Penggabungan Daerah, yang isinya antara lain menyebutkan persyaratan, kriteria, prosedur, pembiayaan pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah.
Berdasarkan data yang ada, hingga saat ini total daerah kabupaten dan kota di Indonesia berjumlah 410, terdiri dari 324 daerah kabupaten dan 86 daerah kota (Kompas, 28 Januari 2003).
  

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Konsep pemerintahan Di Indonesia

Sejak UU No.22 Tahun 1999 diberlakukan isu pemekaran lebih dominant jika dibandingkam dengan isu penggabungan atau penghapusan daerah otonom. Undang – Undang Dasar telah mengatur secara rinci hal – hal yeng berkaitan dengan penyelenggara pemerintahan di daerah, seperti yang telah tertulis dalam ketentuan pasal 18, 18 A, dan pasal 18 B UUD NRI 1945. Pembagian wilayah daerah menurut ketentuan pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) menyatakan : “Pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang – undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, hak asal usul dalm daerah – daerah yang bersifat istimewa”
Pada tanggal 18 agustus 2000, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui sidang tahunan menyetujui untuk melakukan perubahan kedua terhadap UUD 1945 dengan mengubah dan / atau menambah Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18B. Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Tuntutan perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis Permusyarakatan Rakyat (MPR).[4]
Ketentuan di dalam pasal 18 diubah dan ditambah menjadi berbunyi sebagai berikut :
Pasal 18
1.      Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas daerah – daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupten dan kota, dan tiap – tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan undang – undang.
2.      Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3.      Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Daerah yang anggota – anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4.      Gubernur, Bupati, dan Walikota masing – masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
5.      Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas – luasnya, kecuali urusan pemeintahan yang oleh undang – undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
6.      Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan – peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7.      Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam undang – undang.
Pasal 18A.
1.       Hubungan wewenang antara pemerintah pusat degan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang – undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
2.       Hubungan keuangan, pelayanan umum. Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang – undang.
Pasal 18B.
1.      Negara mengakui dan menghormati satuan – satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat isimewa yang diatur dengan undang – undang. Negara mengakui dan menghormati satuan – satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat isimewa yang diatur dengan undang – undang.
2.      Negara mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak – hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena terjadi perubahan terhadap pasal 18 UUD 1945, maka penjelasan UUD 1945 yang selama ini juga menjadi acuan dalam mengatur Pemerintahan Daerah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, satu – satunya sumber konstitusional Pemerintah Daerah adalah Pasal 18, 18A, dan Pasal 18B. selain meniadakan kerancuan, penghapusan Penjelasan Pasal 18 sekaligus juga sebagai penaatan UUD. Selain tak lazim UUD mempunyai penjelasan, selama ini penjelasan dianggap sebagai sumber hukum disamping (bukan sederajat dengan) ketentuan batang tubuh UUD.
Perubahan pasal 18 (yang baru) ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas pembagian daerah ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi daerah provinsi dan dalam daerah provinsi terdapat daerah kabupaten dan kota. Ketentuan pasal 18 ayat (1) ini mempunyai keterkaitan erat dengan ketentuan pasal 25A mengenai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 25A.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah dan batas – batas dan hak – haknya ditetapkan dengan undang – undang.
Istilah “dibagi atas” (bukan “terdiri atas”) dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) bukanlah istilah yang digunakan secara kebetulan. Istilah ini langsung menjelaskan bahwa Negara kita adalah Negara kesatuan dimana kedaulatan Negara berada di tangan pusat. Hal ini konsiten dengan kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk Negara kesatuan. Berbeda dengan istilah “terdiri atas” yang lebih menunjukkan substansi federalism karena istilah itu menunjukkan kedaulatan berada di tangan Negara – Negara bagian.
Prinsip – prinsip yang terkandung dalam pasal – pasal baru, yaitu pasal 18 Amandemen II UUD 1945 adalah sebagai berikut :
a.       Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat (2)
b.      Prinsip menjalankan otonomi seluas – luasnya (pasal 18 ayat (5)
c.       Prinsip kekhususan dan keragaman daerah (pasal 18 ayat (1)
d.      Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak – hak tardisionalnya (pasal 18 B ayat (2)
e.       Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa (pasal 18 ayat (2)
f.       Prinsip hubungan pusat dan daerah dan harus dilaksanakan secara selaras dan adil (pasal 18 ayat (2).[5]
Otonomi yang diberikan kepada daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas supaya daerah dapat mengoptimalkan dan sebagai upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat. Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan professional.

2.      Pengertian Pembentukan Daerah

Undang-Undang No 32 tahun 2004 junto undang-Undang no 12 tahun 2008 Bagian Kesatu Pembentukan Daerah Pasal 4 (1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan undangundang. (2) Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah. (3) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. (4) Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.[6]
Pasal 5 (1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. (2) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. (3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. (4) Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
(5) Syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.[7]
Berangkat dari interpretasi undang-undang pemerintahan daerah tersebut maka perlu diketahui bahwa pengertian dari adnya pembentukan daerah adala :
Pemberian status pada wilayah tertentu sebagai daerah propinsi, daerah kabupaten atau kota.
Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih.
Penggabungan daerah adalah penyatuan daerah yang dihapus ke dalam daerah lain yang bersandingan

Perkembangan Pemekaran Daerah Pengertian pemekaran daerah Pemekaran daerah merupakan suatu langkah atau cara politik sebuah daerah dengan cara membagi atau memperluas sub bagian wilayah dari daerah tersebut baik bagian atau daerah yang berbentuk provinsi baru atau pun kabupaten baru. Tujuan dari dilakukannya upaya pemerintah dalam pemekaran daerah ini adalah tidak lain dengan meningkatkan berbagai pelayanan social yang diberikan dan meningkatkan kefektivan serta keefisiensian sebuah daerah dalam mengatur atau mengelola daerahnya baik dilihat dari sector perekonomian, politik serta pelayanan public untuk masyarakatnya. Dalam Undang Undang otonomi daerah, wacana pemekaran tidak terlepas dari pemberlakuan prinsip-prinsip otonomi daerah. Hal ini menyimpulkan bahwa pada prinsipnya otonomi daerah merupakan media atau jalan untuk menjawab tiga persoalan mendasar dalam tata pemerintahan dan pelayanan terhadap publik. Sehingga banyak orang berasumsi bahwa pemekaran daerah merupakan langkah yang diambil setelah diberlakukannya otonomi daerah yang merupakan: 1. pemekaran daerah yang dilakukan oleh pemerintah merupakan jalan atau upaya untuk mendekatkan pemerintah kepada rakyat. 2. melalui pemekaran daerah juga harus tercipta akuntabilitas yang terjaga dengan baik. 3. pemekaran daerah diformulasikan menjadi langkah untuk mengupayakan responsiveness, dimana publik berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan.

3.      Tujuan Pembentukan daerah
Fenomena maraknya pemekaran daerah sebetulnya merupakan konsekuensi logis dari dinamika politik lokal yang bermuara pada keinginan masyarakat untuk mengembangkan potensi sumber daya lokal secara mandiri. Namun tidak dapat dimungkiri pula bahwa maraknya pemekaran daerah, salah satunya, adalah disebabkan karena mudahnya persyaratan pemekaran itu sendiri. Peraturan perundang-undangan mengenai pemekaran (PP No. 78 Tahun 2007) terkesan sangat akomodatif terhadap pemekaran daerah.
Secara ideal, sebenarnya tidak ada yang salah dengan pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonom baru. Sebab, tujuan utama pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan kepada masyarakat melalui peningkatan kualitas pelayanan masyarakat yang tidak terkendali akan berakibat pada pertambahan daerah otonom baru secara signifikan yang berimplikasi pada berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti aspek rentang kendali pemerintahan, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, keuangan negara, pelayanan publik dan sebagainya.
Meski tujuan pembentukan daerah otonom baru terlihat sangat ideal, namun kondisi empiris pascapembentukan daerah otonom baru sering kali menjadi pertanyaan. Pemerintah sendiri mensinyalir bahwa pembentukan daerah otonom baru (pemekaran daerah) belum mampu mencapai tujuannya.
Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan Departemen Dalam Negeri tahun 2005 terhadap beberapa sampel yaitu 2 (dua) provinsi, 40 (empat puluh) kabupaten dan 25 (dua puluh lima) kota ditemukan bahwa masalah administrasi antara daerah induk dan daerah pemekaran masih belum terselesaikan secara tuntas. Hasil monitoring menunjukkan bahwa 87,71% daerah induk belum menyerahkan Pembiayaan, Personel, Peralatan dan Dokumen (P3D) kepada daerah otonom baru.
Selain itu, 79% daerah otonom baru belum memiliki tapal batas wilayah yang jelas, 89,48% daerah induk belum memberikan dukungan keuangan kepada daerah otonom baru 84,2% pegawai sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah otonom baru, 22,8% jabatan di daerah otonom baru tidak didasarkan pada standar kompetensi, serta 91,23% daerah otonom baru belum memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Dari sisi kinerja pascapemekaran, evaluasi awal yang dilakukan Departemen Dalam Negeri terhadap sebagian daerah otonom baru juga menghasilkan temuan bahwa perkembangan daerah otonom baru sangat variatif. Ada daerah otonom baru yang berkembang cepat pascapemekaran, namun banyak pula daerah otonom baru yang ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. (bdu)
Sejalan dengan dibentuknya daerah provinsi, kabupaten dan kota, demi  tercapai dari cita-cita demokrasi. Ini kemudian terdapat beberapa tujuan yang menjadi rujukan adanya pembentukan daerah tersebut, diantaranya :
1.      Peningkatan Pelayanan kepada masayarakat
2.      Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi
3.      Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah
4.      Percepatan pengelolaan potensi daerah
5.      Peningkatan keamanan dan ketertiban
6.      Peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah

4.      Syarat-syarat Pembentukan Daerah

Pembentukan daerah merupakan pemberian status pada wilayah tertentu sebagai daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Sedangkan pemekaran daerah merupakan pemecahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota menjadi lebih dari satu daerah.
Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembentukan suatu daerah otonom baru dimungkinkan dengan memekarkan daerah setelah memenuhi syarat-syarat kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Dengan demikian, luas daerah adalah salah satu syarat pembentukan dan pemekaran daerah. Sayangnya, langkah-langkah daerah untuk membentuk suatu daerah otonom baru masih terhambat karena kurangnya informasi perihal pengonsepan aspek kepulauan sebagai salah satu pertimbangan luas daerah yang seharusnya telah lama dirampungkan Pemerintah.

Pembentukan daerah yang kemudian diatur dalam Undang-undang No 32 tahun 2004 junto undang-undang No 12 tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, mengatur tentang syarat-syarat dibentuknya daerah Provinsi, kabupaten dan kota  :
1.      syarat administrative
2.      syarat teknis
3.      syarat fisik kewilayahan.
4.      Dan faktor lain. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.




Syarat Administratif Syarat administratif untuk provinsi meliputi :
-          adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi
-          persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Syarat administratif untuk kabupaten/kota meliputi :
-          adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan
persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

Syarat teknis Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor - faktor :
-          kemampuan ekonomi kemampuan ekonomi
-          potensi daerah
-          sosial budaya
-          sosial politik
-          kependudukan
-          luas daerah
-          pertahanan
-          keamanan
-          dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Syarat Fisik :
-          Syarat fisik untuk pembentukan provinsi meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota
-          Paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.


BAB III
Penutup
I.    Kesimpulan
Undang – Undang Dasar telah mengatur secara rinci hal – hal yeng berkaitan dengan penyelenggara pemerintahan di daerah, seperti yang telah tertulis dalam ketentuan pasal 18, 18 A, dan pasal 18 B UUD NRI 1945. Pembagian wilayah daerah menurut ketentuan pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) menyatakan : “Pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang – undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, hak asal usul dalm daerah – daerah yang bersifat istimewa”




DAFTAR PUSTAKA
Dede Mariana, Caroline Paskarina.2008. Demokrasi Politik dan Politik Desentralisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.




- Copyright © Contoh Makalah - Date A Live - Powered by Seyoenita - Designed by Sopriadi -