Popular Post

Posted by : Sopriadi Ahmad Kamis, 21 Maret 2013





KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sembahkan kepada ALLAH SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “sistem Pengelolaan Pemerintah Daerah Dalam Era Reformasi”. dan tidak lupa pula solawat beriring salam penulis  hadiahkan  kepada junjungan alam yakni    nabi Muhammad  SAW sebagai pembawa syari’at Islam, keluarga dan sahabat, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan di sebabkan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis.Oleh sebab itu, penulis  mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan. Penulis mengharapkan  keritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan penulis makalah berikutnya.


                            Pekanbaru, 20 maret 2013


      Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia berdasarkan pendekatan kesisteman meliputi sistem pemerintahan pusat atau disebut pemerintah dan sistem pemerintahan daerah.  Praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam hubungan antarpemerintah , dikenal dengan konsep sentralisasi dan desentralisasi.  Konsep sentralisasi menunjukkan karakteristik bahwa semua kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berada di pemerintah pusat, sedangkan sistem desentralisasi menunjukkan karakteristik yakni sebagian kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban pemerintah, diberikan kepada pemerintah daerah. 
Sistem desentralisasi pemerintahan tidak pernah surut dalam teori maupun praktik pemerintahan daerah dari waktu ke waktu.  Desentralisasi menjadi salah satu isu besar yakni to choose between a dispension of power and unification of power.  Dispension of power adalah sejalan dengan teori pemisahan kekuasaan dari John Locke. Berdasarkan tujuan desentralisasi, yaitu:
1.    untuk mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil bidang pemerintahan di tingkat local.
2.    meningkatkan dukungan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan local.
3.    melatih masyarakat untuk dapat mengatur urusan rumah tangganya sendiri; dan
4.     mempercepat bidang pelayanan umum pemerintahan kepada masyarakat.
Implementasi sistem desentralisasi (otonomi daerah) merujuk format yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Perubahan kedua UUD 1945 tentang pemerintahan daerah dalam pasal 18 dinyatakan sebagai berikut:
1.  Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
2. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya diplih melalui pemilu.
4. Gubernur, buapati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain, untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7.  Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang- undang.

1.2    Rumusan Masalah

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Bentuk  Pemerintahan Daerah
Bentuk  pemerintahan daerah dalam era reformasi seperti yang tercantum dalam UU No. 22/1999 adalah otonomi. Seperti sudah disebutkan diatas, wujud pemerintahan yang demikian adalah kewenangan dan tanggung jawab penyelenggraan pemerintahan ada pada daerah. Sebab itu, ada dua tantangan yang segera timbul, yang perlu dijawab oleh daerah-daerah: Pertama, bagaimana bentuk organisasi pemerintahan yang otonom, kedua bagaimana mendapatkan dana untuk membiayai pemerintahan tersebut.
Hakekat dari bentuk pemerintahan daerah otonom, seharusnya tergantung pada masing-masing daerah. Artinya, sekalipun dalam UU No.22/1999 tidak disebutkan adanya keragaman bentuk dari perangkat pemerintahan, namun daerah-daerah sebenarnya mempunyai kewenangan untuk membuat variasi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Dalam pasal 65 UU No. 22/99 hanya disebutkan "Di daerah dapat dibentuk lembaga teknis sesuai dengan kebutuhan daerah." Sekalipun dalam pasal ini dibatasi pada "lembaga teknis", namun karena wujud pemerintahan daerah adalah spatial sifatnya, yakni tergantung pada "ruang dan waktu", maka pengertian dari lembaga teknis disini dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan daerah, tetapi dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada. Dengan demikian maka bentuk dan jenis organisasi pemerintah daerah perlu diaktualisasikan. Di daerah-daerah yang tidak ada hutan, tidak perlu diadakan dinas kehutanan, di daerah-daerah yang tidak ada pertambangan tentu saja tidak perlu dinas pertambangan dan sebagainya. Besarnya organisasi yang ada juga perlu disesuaikan dengan jenis dan banyak urusan yang diperlukan. Disamping itu daerah perlu mengindahkan prinsip-prinsip tertentu dalam penataan organisasi, antara lain prinsip kesederhanaan (simplicity), mudah dan murah (efficiency), kesamaan fungsi (semilarity) dan koordinasi (coordination). Hal ini dikemukakan karena ada daerah-daerah yang untuk kesederhanaan misalnya, menggabungkan Dinas Pendapatan Daerah dengan Dinas Kebersihan, atau Dinas Pemadam Kebakaran dengan PDAM dan sebagainya. Alasan yang dipakai mungkin karena pada Dinas Kebersihan juga ada pendapatan daerah berupa retribusi kebersihan.
Alasan ini tentu saja bertentangan dengan tugas pokok pemerintah adalah member pelayanan kepada masyarakat. Termasuk pengadaan kebersihan, keamanan dan lain-lain. Prinsip yang dipakai dalam retribusi berbeda sekali dengan prinsip pemungutan pajak atau penerimaan dari penjualan jasa pemerintah lainnya. Tantangan kedua untuk merealisasikan otonomi daerah adalah biaya. Baik untuk keperluan rutin maupun untuk pembangunan.
Perkembangan  demokrasi yang menuntut adanya keadilan perlakuan antar daerah, dan dengan pertimbangan bahwa banyak daerah yang menjadi tertinggal bukan karena kelemahan daerah itu sendiri, tetapi karena sistem pemerintahan masa lampau yang sering merugikan daerah-daerrah tertentu (ingat, daerah–daerah yang kaya sumber daya alam menjadi daerah tertinggal), maka dalam era reformasi ini, pemberian hak otonomi harus diberikan secara merata kepada semua daerah. Untuk kemudian dinilai  kemampuannya. Bukan untuk membubarkan, tetapi untuk memberdayakannya. Bila nanti ternyata tidak juga bisa berkembang, barulah dapat diterapkan ketentuan yang ada dalam pasal 6 UU No. 22/1999, yakni menghapus atau menggabungkan dengan daerah lain. Tugas pemerintah pusat dalam hal ini adalah memberdayakan daerah untuk mampu mengemban wewenang otonom.

2.2 Kebijakan Politik Dalam Otonomi Daerah di Era Reformasi.
Pada periode setelah orde baru, lahir dua undang-undang tentang pemerintahan daerah yang dianggap aspiratif mengakomodasikan prinsip demokrasi dalam sistem pemerintahan daearah di Indonesia.  Kedua undang-undang tersebut adalah: UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 yang dianggap sebagai revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999.
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi ditegaskan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang tidak lain sebagai badan eksekutif daerah. Daerah provinsi berkedudukan sebagai wilayah administrasi kewenangan daerah, mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lainnya. Kewenangan-kewenangan daerah otonom lebih luas dan bertumpu pada tingkat kabupaten/kota.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan implikasi dan simplikasi terhadap melemahnya peran dominasi pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini tercermin dalam proses pencalonan, pemilihan, usulan pengangkatan calon kepala dan wakil kepala  daerah dilakukan sepenuhnya dan menjadi wewenang DPRD.
Langkah reformasi telah mengubah sistem pemerintahan era sebelumya dengan dilahirkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini. Euforia politik sebagai hasil pemilu tahun 1999 telah memberikan kerangka dasar dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, yang lebih banyak dipengaruhi kekuatan politik dalam penyelenggaraannya. Beberapa indikator yang mewarnai penyelenggaraan sistem pemerintahan di era ini antara lain:
1. Kekuasaan Legislatif lebih besar dibanding kekuasaan eksekutif
2. Pemerintahan dikendalikan oleh kekuasaan politik
3. Pertanggungjawaban kepala daerah kepada lembaga legislati
4. Kepala daerah dapat diberhentikan oleh DPRD
5. Wewenang DPRD menetapkan belanja DPRD
6. Menjamurnya pemekaran daerah kabupaten / kota.

b. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi dengan adanya perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan otonomi daerah.  Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, dalam penyelenggaraan otonomi menggunakan format otonomi seluas-luasnya.  Artinya, azas ini diberlakukan oleh pemerintah seperti pada era sebelum UU Nomor 5 Tahun 1974.  Alasan pertimbangan ini didassarkan suatu asumsi bahwa hal-hal mengenai urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat diberikan kebijakan otonomi sehingga setiap daerah mampu dan mandiri untuk memberikan pelayanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.
Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan mekanisme pengawasan yang menunjukkan formulasi cukup ketat dengan mekanisme pengawasan preventif, represif, dan pengawasan umum.  Proses pemelihan kepala/wakil kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi menjadi wewenang DPRD, melainkan dilaksanakan dengan pemilihan langsung yang diselenggarakan oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD).  Hal ini amat berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 bahwa DPRD merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila dan kedudukannya sejajar (mitra) dari pemerintah daerah, namun dalam praktek sering kali terjadi penafsiran berbeda.
2.3    Perevisian Aspek-Aspek dalam Pemerintahan Daerah Di Era Reformasi
Beberapa aspek yang sekarang direncanakan untuk direvisi, antara lain adalah: letak otonomi, asal usul otonomi, wewenang daerah atas wilayah laut, pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD, kedudukan propinsi dan kabupaten/kota, pembagian sumber daya alam; dan wewenang daerah atas PNS.
1.    Letak otonomi daerah di tingkat II
Hal ini sudah menjadi persoalan sejak awal pembahasan Rancangan UU No.22/99 tersebut. Dari pihak yang menyetujui berpendapat, bahwa letak otonomi di daerah tingkat II dapat mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Pelayanan yang lebih dekat tidak hanya menjadi lebih efisien, tetapi juga menjadi lebih efektif, karena dapat mengetahui apa yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat. Disamping itu, rakyat dapat langsung mengawasi proses pelayanan itu dari dekat.
Sementara dari pihak yang tidak menyetujui menunjukkan adanya beberapa kelemahan. Pertama, penduduk daerah tingkat II secara umum lebih homogeny dibandingkan dengan penduduk yang ada di ibu kota propinsi. Sebab itu di daerah tingkat II masih terasa adanya perasaan kedaerahan yang sempit, sehingga cenderung sulit menerima tenaga dari luar daerah dibandingkan dengan sikap mereka yang ada pada tingkat propinsi. Akibatnya, terdapat kesulitan untuk melengkapi tenaga-tenaga yang diperlukan dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Sementara di tingkat propinsi, pola pikir pejabat pada umumnya tidak jauh berbeda dengan pejabat pusat. Rasa nasionalisme sudah berkembang. Mereka sudah memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan pejabat pada tingkat II. Kedua, secara ekonomis, wilayah tingkat II terlalu sempit untuk kegiatan investasi berskala besar, kecuali jika dapat dilakukan penggabungan dan perpaduan dengan daerah-daerah tingkat II sekitar. Padahal jika otonomi ada di tingkat propinsi, hal yangdemikian dapat ditangani secara langsung.
2.    Asal usul otonomi
otonomi yang dikemukakan oleh UU No.22/1999 dianggap orang terbalik dengan kenyataan yang ada di Indonesia. Dalam UU tersebut, otonomi seolah-olah berasal dari daerah, bukan dari pusat. Sehingga yang dibatasi bukan kewenangan daerah, tetapi adalah kewenangan pusat (lihat pasal 7 ayat 1 UU No. 22/1999). Pendapat ini berdasarkan pada pertimbangan, bahwa Negara Indonesia berbentuk kesatuan. Atas dasar pendapat ini timbul anggapan bahwa sistem pemerintahan yang cocok untuk negara kesatuan adalah seragam dan sentralistis.
Padahal apa yang tercantum dalam UUD ’45 dan yang berlangsung di Indonesia sejak permulaan kemerdekaan, sistem pemerintahan di Indonesia telah menunjukkan adanya kecenderungan kearah “bentuk sendiri” yang berbeda dengan bentuk negara kesatuan dan berbeda pula dengan bentuk federasi. Ini dapat dilihat pada pengakuan terhadap bentuk-bentuk pemerintahan asli dalam UUD, dan adanya pengakuan terhadap wilayah kerajaan Yogyakarta, keistimewaan D.I. Aceh pada tahun 1956 dan kekhususan DKI Jakarta, sejak sebelum adanya UU No.5/1974.
3.    Wewenang daerah atas wilayah laut
Ditentukan  sejauh 12 mil untuk propinsi, dan wilayah daerah kabupaten dan kota sepertiga dari batas laut daerah propinsi (pasal 3 dan pasal 10 ayat 3), merupakan topik yang sering dibicarakan dewasa ini. Ketentuan ini dipandang dapat menimbulkan kesulitan, bahkan bisa berkembang menjadi konflik diantara para nelayan yang berlayar tanpa menyadari telah melewati wilayah laut daerah lain. Disamping itu, batas laut yang “dikotak” selebar wilayah kabupaten/kota juga dirasakan terlalu sempit untuk kegiatan perikanan, sekalipun untuk skala nelayan miskin tradisional.
4.    Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD.
Dalam pasal 45 dan 46 UU No. 22/1999 ditentukan adanya kewajiban dari kepala daerah untuk memberi pertanggung jawaban kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran atau untuk hal-hal tertentu atas permintaan DPRD. Kalau pertanggungjawaban itu ditolak, maka dia harus memperbaiki dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari. Kalau ditolak untuk kedua kali, maka DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden. Ketentuan ini telah membawa ketegangan hubungan antara DPRD dengan kepala daerah. Ketegangan ini timbul karena sistem demokrasi merupakan barang baru di Indonesia. Akibatnya, baik kepala daerah maupun DPRD sama-sama belum terbiasa dengan sistem yang baru ini. Bagi kepala daerah pertanggaungjawaban yang diminta DPRD ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar.
5.    Kedudukan daerah propinsi yang secara hirarkis setingkat dengan daerah Kabupaten/Kota
Salah  satu aspek yang banyak dipersoalkan dewasa ini (lihat ayat 1 dan 2 , Pasal 4 UU No. 22/1999). Masalahnya, pertama, ketentuan ini menghilangkan wawenang koordinasi antar daerah kabupaten dan daerah kota pada tingkat propinsi, yang pada gilirannya menimbulkan kesulitan koordinasi pada tingkat pemerintah pusat karena terlalu luas rentang kendali pengawasan. Yang perlu diingat, betapapun adanya otonomi daerah dalam arti besarnya kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, namun daerah adalah bagian dari wilayah negara. Sebab itu selalu diperlukan adanya pengendalian pemerintahan dari pusat, baik langsung maupun secara tidak langsung. Tanpa adanya kedudukan koordinatif secara berjenjang melalui propinsi, pemerintah pusat akan menghadapi permasalahan rentang kendali yang terlaluPerencaan Pembangunan luas, betapun canggihnya teknologi informasi.
6.    Formula pembagian hasil dari sumber alam yang ada di daerah antara pemerintah pusat dan daerah
     Merupakan  aspek yang diperdebatkan dan dituntut untuk ditinjau kembali. Disatu sisi timbul tuntutan dari beberapa daerah yang kaya sumber alam untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari apa yang diatur dalam UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999. Ada empat daerah yang secara nyaring menuntut bagian yang lebih besar itu, yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Irian. Tuntutan ini cukup beralasan mengingat selama puluhan tahun pusat telah mengeksploitasi hasil alam daerah tersebut tanpa mngembalikan hasilnya secara berarti kepada mereka. Sehingga tidak heran kalau daerah-daerah penghasil sumberalam terbesar itu justru berada dalam jajaran daerah-daerah termiskin di Indonesia.
7.    Wewenang penataan terhadap PNS
 UU No.22/1999 menetapkan kewenangan penataan PNS untuk pemerintah pusat pada tingkat kebijakan umum, dan kewenangan daerah pada tingkat kebijakan implementasi. Artinya, pemerintah pusat menetapkan norma, standar, dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, menetapkan pensiun, gaji dan kedudukan hukum dari PNS di Daerah dan PNS Daerah (pasal 75 UUNo.22/1999). Sedangkan daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah (pasal 76 UU No.22/1999). Tetapi dalam UU No. 43/1999 dikatakan bahwa kebijakan manajemen PNS yang mencakup kebijakan umum dan kebijakan pelaksanan seperti tersebut diatas berada pada presiden selaku kepala pemerintahan (pasal 13 ayat 2 UU No. 43/1999). Dan “untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan kebijakan manajeman PNS, dibentuk BKN” (pasal 34 UU No. 43/1999). Sebagai akibat dari ketentuan yang ada dalam kedua UU tersebut, terdapat penafsiran yang berbeda dilapangan. Disatu pihak menganggap, sesuai dengan UU No. 22/1999, kebijakan pelaksanaan terhadap PNS daerah ada pada daerah. Sedangkan BKN berpendapat sesuai dengan UU No. 43/1999 bahwa PNS daerah bukan semata-mata hanya aparatur dan perangkat daerah yang hanya melaksanakan tugas di daerah.
Mobilitasnya tetap harus dijamin. Selanjutnya pembinaan semua PNS termasuk PNS daerah harus dilakukan seragam dan terintegrasi (Telaahan Atas UU No. 8/1974 jo. UU No. 43/1999). Yang menjadi soal dalam hal ini, UU mana yang harus direvisi ? Apakah UU No. 22/ 1999 yang sifatnya lebih luas, ataukah UU No. 43/1999 yang lebih khusus yang harus direvisi untuk menyesuaikan diri dengan yang lain.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Reformasi di segala bidang yang di dukung oleh masyarakat dalam mensikapi permasalahan yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah menyebabkan lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi. Indonesia memasuki Era Otonomi Daerah dengan diterapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (kamudian menjadi UU No.32 Tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 (kemudian menjadi UU No.33 Tahun 2004 ) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dalam UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dilaksanakan pula dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bagian utama dari tujuan nasional.
Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat:
1.    menciptakan efisinesi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah,
2.    meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat.
3.    membudayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisifasi dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002).
Dalam otonomi daerah, pimpinan daerah memegang peran sangat srategis dalam mengelola dan memajukan daerah yang dipimpinnya. Perencanaan strategis sangat vital, karena disanalah akan terlihat dengan jelas peran kepala daerah dalam mengoordinasikan semua unit kerjanya. Betapapun besarnya potensi suatu daerah, tidak akan optimal pemanfaatannya bila bupati/walikota tidak mengetahui bagaimana mengelolanya. Sebaliknya, meskipun potensi suatu daerah kurang, tetapi dengan strategis yang tepat untuk memanfaatkan bantuan dari pusat dalam memberdayakan daerahnya, maka akan semakin meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang ada. Seagaimana dijelaskan dalam pasal 156 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Untuk itulah, perlu kecakapan yang tinggi bagi pimpinan daerah agar pengelolaan dan terutama alokasi dari keuangan daerah dilakukan secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah.
Otonomi daerah harus diikuti dengan serangkaian reformasi sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tersebut tidak sekadar perubahan format lembaga, akan tetapi menyangkut pembaruan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif transparan, dan akuntabel sesuai dengan cita-cita reformasi yaitu menciptakan good governace benar-benar tercapai.
Beberapa aspek yang sekarang direncanakan untuk direvisi, antara lain adalah: letak otonomi, asal usul otonomi, wewenang daerah atas wilayah laut, pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD, kedudukan propinsi dan kabupaten/kota, pembagian sumber daya alam; dan wewenang daerah atas PNS.









DAFTAR PUSTAKA

Ali Faried. 1996.  Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia. Jakarta ; Raja Grafindo.
Amal, Ichlasul dan Nasikun. 1988. Desentralisasi dan Prospeknya. P3PK, Yogyakarta, Universitas Gajah Mada
Huda, Ni’matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta; RajaGrafindo Persada.



Leave a Reply

Komentarnya Kakak!

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Contoh Makalah - Date A Live - Powered by Seyoenita - Designed by Sopriadi -