- Back to Home »
- Makalah Konflik dayak dan etnik Madura, Contoh Makalah Konflik Pluralisme
Posted by : Sopriadi Ahmad
Rabu, 20 Februari 2013
I.
Pendahuluan
Indonesia merupakan sebuah
negara bangsa (nation-state) yang sangat majemuk dilihat dari berbagai
dimensi. Salah satu dimensi menonjol dari kemajemukan itu adalah keragaman
etnik atau suku bangsa. Bahar (1997), dengan mengacu pada data di Direktorat
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mencatat bahwa di Indonesia
saat ini terdapat 525 kelompok etnik. Dalam sejarahnya, kelompok etnis tertentu
biasanya mendiami atau tinggal di sebuah pulau, sehingga sebuah pulau di
wilayah nusantara seringkali identik dengan etnik tertentu. Pulau Kalimantan,
misalnya, identik dengan etnik Dayak (walau di dalamnya terdapat sekian banyak
subetnik, dan karena itu konsep Dayak sesungguhnya hanyalah semacam sebutan
umum untuk penduduk asli Kalimantan). Meskipun begitu, hubungan antara etnis
yang satu dengan etnis yang lain telah berlangsung cukup lama seiring dengan
terjadinya mobilitas penduduk antarpulau, kendati pun masih terbatas antarpulau
tertentu yang letak wilayahnya strategis un-tuk urusan perniagaan.
Ketika kepulauan nusantara
menjadi suatu bagian yang integral dalam perdagangan Asia, dengan rute
perdagangan yang merentang dari Asia Barat Daya dan Asia Selatan ke
Tiongkok, dan ketika abad ke-4 dan ke-5 rempah-rempah dari kepulauan Indonesia
—seperti merica, cengkeh, dan pala— menja-di komoditi dalam ekonomi dunia kuno,
keterlibatan dalam perdagangan rempah-rempah meningkat-kan mobilitas antar
pulau di kalangan penduduk nusantara. Mereka yang tinggal pada daerah-daerah
strategis dalam jaringan perdagangan antarpulau, seperti Sulawesi Selatan,
pantai timur dan barat Pulau Jawa, Sumatera Selatan, Ma-laka, dan Aceh kemudian
tampaknya menjadi negara-negara atau kerajaan-kerajaan dagang kecil
(Ko-entjaraningrat, 1993).
Jaringan perdagangan antar
pulau itulah yang lebih sebagai as-pek determinan yang menghubung-kan penduduk
dari berbagai pulau, yang berarti pula terjadi pertemuan antar anggota etnik
tertentu dengan etnik lainnya. Dalam perkembangannya, seiring dengan
meningkat-nya hubungan dagang serta berba-gai kontak antaretnik lainnya,
mun-cul pula perkampungan-perkam-pungan etnis tertentu di sebuah pulau untuk
kemudian hidup me-ngelompok dan membaur. Masing-masing etnis tersebut memiliki
karakterisktik kebudayaan yang spesifik dari daerah asalnya yang umumnya masih
dipegang dengan kuat. Dalam kehidupan sosial, ten-tu saja terjadi interaksi
atau saling hubungan antaretnik, sehingga da-pat saling mempengaruhi antara
sa-tu etnik dengan etnik lainnya.
II.
Rumusan Masalah
I.
Pengertian Konflik
II.
Konflik Di Dayak
dengan etnik Madura
III. Analisis Penyelesaian
PEMBAHASAN
I.
Pengertian Konflik
Banyak definisi konflik yang dkemukakan oleh para pakar. Dari
berbagai definisi dan berbagai sumber yang ada istilah konflik dapat dirangkum
dan diartikan sebagai berikut: konflik adalah
(1) bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau
kelompok karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan,
nilai-nilai, serta kebutuhan;
(2) hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu
maupun kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu, namun
diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan;
(3) pertentangan atau pertikaian karena ada perbedaan dalam
kebutuhan, nilai, dan motifasi pelaku atau yang terlibat di dalamnya;
(4) suatu proses yang terjadi ketika satu pihak secara negatif
mempengaruhi pihak lain, dengan melakukan kekerasan fisik yang membuat orang
lain perasaan serta fisiknya terganggu;
(5) bentuk pertentangan yang bersifat fungsional karena
pertentangan semacam itu mendukung tujuan kelompok dan memperbarui tampilan,
namun disfungsional karena menghilangkan tampilan kelompok yang sudah ada;
(6) proses mendapatkan monopoli ganjaran, kekuasaan, pemilikan,
dengan menyingkirkan atau melemahkan pesaing;
(7) Suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak secara antagonis;
kekacauan rangsangan kontradiktif dalam diri individu.
II. Konflik
Di Dayak dengan etnik Madura
Di Kalteng, konflik antara
etnik Dayak dan etnik Madura pada awal 2001. Konflik tersebut, sebenarnya
merupakan ulang-an dari konflik antara kedua etnik itu yang terjadi beberapa
tahun sebelumnya di Kalbar. Bahkan 8 atau 9 kali berturut-turut dalam waktu dari
lima tahun. Kalau konflik itu dapat berkali-kali terjadi di Kalbar dan kemudian
disusul di Kalteng maka ada dua hal yang perlu diperhatikan:
(1) penyelesaian konflik di
Kalbar dulu tidak tuntas, artinya tidak dilakukan secara mendalam sampai pada
akar-akar-nya;
(2) konflik seperti
yang teru-lang di Kalteng itu dapat terjadi lagi, mungkin di daerah lain.
konflik antara suku Dayak
dengan Madura di Kalteng berada dalam hubungan antar kedua etnik. Di Kalbar dan
Kalteng kedua suku itu hidup berdamping-an di suatu tempat atau lokasi dan
mereka bisa melakukan interaksi. Dalam hubungan antara suku Da-yak dengan
suku-suku pendatang selain suku Madura tidak ada masalah sosial atau ekonomi.
Tetapi masalah yang bertentangan itu ada dalam hubungan antara suku Da-yak
dengan suku Madura.
Pada dasarnya terdapat
persamaan antara konflik etnik di Kalteng pada 2001 dengan yang terjadi di
Kalbar pada 1999 dan sebelumnya, baik dalam stereotip etnik maupun pola
penyerangan. Dengan mengacu pada model analisis kebudayaan dominan yang
dikembangkan Bruner, penelitian Suparlan (2000), menyebutkan bahwa kekerasan
etnik yang terjadi di Sambas karena adanya produk dan corak hubungan antaretnis
yang didominasi oleh cara-cara kekeras-an yang terpola yang telah dilaku-kan
secara sepihak oleh orang-orang Madura. Dengan kata lain, kekerasan yang
dilakukan orang-orang Melayu Sambas dapat dilihat sebagai imbas balik dari
pendomi-nasian dengan cara-cara main ka-yu, ancaman, dan kekerasan yang
dilakukan oleh orang-orang Madura Sambas sebelum terjadinya keru-suhan Sambas.
Kekerasan orang-orang Melayu Sambas terhadap orang-orang Madura Sambas yang
berupa pembunuhan dan penghan-curan rumah serta segala harta milik mereka,
secara simbolik dapat dilihat sebagai sebuah upacara pembersihan atau penyucian
terha-dap kekotoran yang menimpa kehi-dupan mereka yang dikarenakan oleh
keberadaan dan perbuatan-perbuatan orang-orang Madura.
Temuan penelitian Suparlan
menunjukkan, hubungan antar et-nik yang relatif tidak berlangsung secara
harmonis seperti yang terjadi antara Orang Melayu-Madura dan antara Orang
Dayak-Madura di Sambas, hubungan antarpribadi atau perorangan di antara mereka
tidak berlaku umum. Yang ada adalah hubungan antar stereotip yang berupa label
yang dihasilkan dari hubungan antarkategori atau label yang tidak menunjukkan
ciri-ciri kemanusiaan. Orang Madura dilihat oleh Orang Melayu sebagai kategori
hewan yang kotor, yaitu anjing. Sebaliknya, Orang Madura melihat Orang Melayu
sebagai penakut dan hanya kelihatan besar tetapi kropos seperti krupuk.
Sedangkan Orang Dayak melihat orang Madura sebagai hewan hama dan buruan mereka
yang rakus yaitu babi hutan, dan sebaliknya Orang Madura melihat Orang
Dayak sebagai kafir dan mahluk terbela-kang. Konflik antarindividu yang
menghasilkan kerusuhan antar su-ku bangsa dan yang mewujud sebagai kekerasan
dapat dipahami dengan mengacu pada stereotip sukubangsa yang mereka punyai
masing-masing dan yang mereka gunakan. Yaitu, kekerasan telah terwujud karena
pihak lawan tidak lagi dilihat sebagai kategori manusia atau orang-perorang
tetapi sebagai kategori hewan atau benda yang sudah sewajarnya untuk
dihancur-kan.
Kemudian, kesamaan yang
cukup jelas antarkedua etnik baik di Sambas maupun di Kalteng adalah terutama
dalam pola penyerangan terhadap orang-orang Madura sebagaimana dilakukan oleh
orang-orang Melayu dan Dayak terhadap mereka di Sambas pada 1999, yaitu bunuh
orang-orangnya, hancurkan rumah dan harta bendanya, dominasi seluruh wilayah
konflik dengan teror dan ketakutan, sehingga orang Madura harus mengungsi dari
wilayah tersebut. Berbeda dengan orang-orang Melayu, tokoh-tokoh Dayak di
Kalteng masih bersedia berdamai dengan orang Madura sebagaimana terjadi
berulang kali di Sambas. Suparlan (2000), mempertanyakan mengapa kerusuhan
massal tersebut baik antaretnis maupun yang bukan di masa dan setelah kejatuhan
Orde Baru selalu terwujud dalam bentuk kekerasan? Hal itu terjadi dengan selalu
didasari oleh adanya perasa-an tertekan dan ketakutan yang meluas dalam
masyarakat, serta dipicu oleh adanya perlawanan yang dilakukan oleh korban
pemalakan, atau kejahatan, atau tindakan se-wenang-wenang terhadap sumber
kesewenang-wenangan tersebut.
Perlawanan yang dilakukan
oleh orang-perorang berubah men-jadi perlawanan oleh kelompok, dan berkembang
menjadi perlawanan massal yang berupa amuk massal. Karena perlawanan yang
dilakukan oleh perorangan tersebut merupa-kan keinginan yang mendalam da-lam
hati mereka yang juga merasa-kan penderitaan karena kesewe-nang-wenangan
tersebut. Perlawan-an yang kemudian berubah menjadi amuk massa tersebut dapat
dilihat sebagai puncak dari keberanian un-tuk menghancurkan ketakutan dan teror
yang mereka derita secara massal yang sudah tidak tertahan-kan.
Dalam hubungan antara suku
lokal Dayak dan suku pendatang Madura di Kalbar dan Kalteng tampaknya prasangka
nega-tif dari suku Dayak terhadap suku Madura lebih mendalam daripada prasangka
yang positif, kalau pun ada. Lagi pula unsur budaya suku Madura di bidang
ekonomi yang lebih kuat ketimbang dalam kebu-dayaan suku Dayak membawa suku
Madura pada tingkat dominan di atas suku Dayak. Suku Dayak merasa tidak senang
di daerah asalnya sendiri didominasi oleh suku lain yang datang dari daerah
lain. Sementara pada pihak suku Madura berpendapat bahwa masya-rakatnya memberi
sumbangan be-sar pada perkembangan ekonomi umum, baik di Kalbar maupun di
Kalteng. Tanpa kegiatan ekonomi suku Madura, ekonomi di kedua daerah itu tidak
akan menjadi setinggi seperti sekarang.
Warga etnik Madura yang
minoritas di tengah-tengah suku Dayak yang mayoritas dikenal sebagai pekerja
keras sekaligus memiliki tingkat kesetiaan ke dalam (kelompok) yang kuat dan
terus berusaha menggalang kekuatan sosial dalam identitas etnisnya yang kuat
pula. Akan tetapi hal itu kurang diimbangi dengan upaya melakukan akulturasi
dengan suku Dayak, sehingga di mata orang-orang Dayak orang-orang Madura lebih
dilihat sebagai orang asing. Dalam konteks demikian, jika kita bertanya mengapa
suku Dayak bermusuhan dengan suku penda-tang yang Madura saja dan tidak suku
pendatang lainnya? Menurut Soemardjan (2001), karena suku-suku lain seperti
Jawa, Bugis, Minangkabau, Batak, dan lain sebagainya pandai berakulturasi
dengan suku Dayak, sehingga mereka dapat bekerjasama atau setidak-tidaknya
berkoeksistensi dengan suku mayoritas itu. Suku Madura bersikap berbeda dengan
akibat konflik. Di antara kedua suku itu (Dayak-Madura) timbul suasana konflik
budaya. Semula bersifat laten (tertutup), tetapi lama-lama cukup kuat
untuk meledak menjadi konflik manifest (terbuka) yang diwujudkan dengan
interaksi yang berisikan permusuhan disertai keke-rasan yang tak terkendalikan.
Di samping itu, ada
kecende-rungan orang-orang Dayak merasa bahwa orang-orang Madura tidak
menghargai harkat martabat mere-ka sebagai manusia dan sebagai penduduk
setempat, dan juga me-mandang sebelah mata adat-istiadat yang mereka junjung
tinggi sebagai pedoman etika dan moral dalam kehidupan mereka. Orang-orang
Madura telah memperoleh keun-tungan secara berlebihan (tanah-tanah pertanian
dan kebun, rumah, monopoli kegiatan-kegiatan ekono-mi, jasa, dan bisnis,
monopoli eksploitasi atas sumber-sumber da-ya alam yang ada) dengan cara-cara
curang, ancaman, pemerasan, dan kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan
serta pembunuhan. Orang-orang Madura tidak pernah merasa bersalah terhadap
warga masyarakat setempat maupun seca-ra umum adalah salah dan secara hukum
juga melanggar ketentuan hukum.
Jarak keyakinan, corak
ke-budayaan, dan karakteristik ma-sing-masing yang sangat jauh itu ditambah
dengan stereotipe dan/ atau label negatif dari masing-masing etnik terhadap
yang lain menjadi penopang semangat dan keberanian yang luar biasa kedua belah
pihak ketika terjadi peristiwa-peristiwa tertentu yang dinilai mengusik
sentimentalisme etnisitas mereka. Kenyataan itulah yang sesungguhnya menjadi
akar masa-lah dalam kerusuhan demi keru-suhan dan konflik demi konflik antara
etnik Dayak dengan etnis Madura baik di Kalteng maupun Kalbar.
Agaknya karena begitu
kuat-nya citra negatif terhadap etnik Madura oleh etnik Dayak, telah
membangkitkan rasa nasionalisme etnisitas masyarakat untuk mengu-sir
orang-orang etnik Madura dari bumi Kalimantan Tengah. Pasca tragedi Sampit,
Pangkalan Bun, dan Palangkaraya, lewat LMMDD-KT (Lembaga Musyawarah Masyarakat
Masyarakat Dayak dan Daerah Kali-mantan Tengah), masyarakat etnik Dayak hampir
tak memberikan sedikit pun peluang bagi orang-orang etnik Madura untuk kembali
ke Kalteng. Kalau pun diperkenan-kan kembali, maka syarat-syarat yang
ditentukan sangatlah berat.
Dalam konteks stereotip
etnis dan berbagai kekecewaan lainnya (misalnya di bidang ekonomi) dari
orang-orang Dayak terhadap orang-orang Madura, maka hanya dengan latar pemicu
yang sepele saja meledaklah kerusuhan dalam wajah konflik etnik Dayak-Madura di
Sampit, Palangkaraya, dan Pangka-lan Bun, Kalteng pada awal 2001 itu, yang
membawa ribuan korban nyawa dan terbanyak di pihak etnik Madura. Orang-orang
Madura yang masih hidup baik yang tinggal di kota maupun yang tersebar di
banyak desa di bumi Borneo itu terpaksa memilih lari keluar ber-amai-ramai
karena jiwanya teran-cam, dan mereka itulah saat ini yang menjadi pengungsi di
Pulau Madura.
III.
Analisis Penyelesaian
1) Pertama, penyelesaiannya di-serahkan untuk ditangani oleh lembaga
independen yang beranggo-takan tokoh-tokoh dari kedua etnik serta kalangan
intelektual dan to-koh-tokoh kredibel dari pemerintah-an, yang difasilitasi
sepenuhnya oleh negara. Lembaga ini diberi kewenangan untuk menemukan
ke-sepakatan-kesepakatan dari pihak-pihak yang bertikai dan kemudian
mengantarkan para pihak ke titik rekonsiliasi yang memungkinkan menata mereka
kembali keharmo-nisan sosial dalam ketenangan dan rasa aman yang terjamin.
2) Kedua, siapa pun yang diindi-kasikan kuat sebagai aktor-aktor
intelektual di balik kerusuhan di Kalteng, baik dari kalangan etnis Dayak
maupun Madura, harus ditangkap dan dibawa ke pengadil-an. Supremasi hukum harus
dite-gakkan atas mereka.
3) Ketiga, negara mesti mem-bantu warga etnis Madura untuk
mendapatkan kembali hak milik mereka berupa aset ekonomi teru-tama yang berupa
tanah serta rumah tempat tinggal. Juga mem-berikan kompensasi terhadap etnik
Dayak untuk menjadi tuan di tanah nenek moyangnya sendiri. Mereka harus
diberdayakan dari berbagai aspek kehidupan.
4) Keempat, negara bekerjasama sama dengan lembaga swadaya
ma-syarakat (LSM) melakukan sosiali-sasi dan kampanye terus-menerus dalam
berbagai bentuk tentang kenyataan Indonesia sebagai bangsa majemuk berikut
pentingnya hidup berdampingan secara damai serta keutamaan menyelesaikan
konflik tanpa kekerasan di dalam masyara-kat. Dan, yang tak kalah pentingnya
adalah berupaya menghapus kesan negatif atau steoretip antara etnis Dayak dan
Madura yang ada selama ini.
Hal itu semua dimaksudkan
sebagai upaya untuk melakukan rekonstruksi dalam hubungan antar etnis, yang
diharapkan di mana semua pihak dapat belajar dari pengalaman sekaligus mampu
me-rakit hubungan sosial secara damai kendati dalam seribu satu macam
perbedaan.
mantap artikelnya gan.
BalasHapuswww.kiostiket.com
setuju sajelah aye
BalasHapus