- Back to Home »
- Contoh Makalah KAJIAN KRITIS BIROKRASI PELAYANAN DI INDONESIA
Posted by : Sopriadi Ahmad
Selasa, 07 Mei 2013
MAKALAH KELOMPOK
TENTANG
KAJIAN KRITIS BIROKRASI PELAYANAN DI INDONESIA
TENTANG
KAJIAN KRITIS BIROKRASI PELAYANAN DI INDONESIA
OLEH KELOMPOK I :
MAIRA SARI
HABIBULLAH
ADITIA NUGRAHA PUTRA
SUKRI PUTRA
WAHYUNI
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FALKUTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ABDURRAB PEKANBARU
2013
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr,wb
Puji syukur kita ucapkan kehadiran Allah Swt, dimana atas rahmat dan karunia nya
Penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul ‘KAJIAN KRITIS BIROKRASI PELAYANAN DI INDONESIA’’
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada temen-teman semua yang telah mendukung dan berpatisipasi dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.
Demikianlah makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini kurang sempurna, dan penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan yang tidak sengaja. Penulis juga mengharapkan kritik dan sarannya dari pembaca , agar makalah ini bisa menjadi lebih baik untuk kedepannya. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan penulis. Dapat menambah. Ilmu pengetahuan seluruh pembaca.
Pekanbaru, 07 Mei 2013
Penulis
Assalamualaikum wr,wb
Puji syukur kita ucapkan kehadiran Allah Swt, dimana atas rahmat dan karunia nya
Penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul ‘KAJIAN KRITIS BIROKRASI PELAYANAN DI INDONESIA’’
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada temen-teman semua yang telah mendukung dan berpatisipasi dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.
Demikianlah makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini kurang sempurna, dan penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan yang tidak sengaja. Penulis juga mengharapkan kritik dan sarannya dari pembaca , agar makalah ini bisa menjadi lebih baik untuk kedepannya. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan penulis. Dapat menambah. Ilmu pengetahuan seluruh pembaca.
Pekanbaru, 07 Mei 2013
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Birokrasi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dirancang sebagai birokrasi yang rasional dengan pendekatan struktural-hirarkikal (tradisi weberian). Pendekatan Weberian dalam penataan kelembagaan yang berlangsung dalam pendayagunaan aparatur negara hingga dewasa ini, secara klasikal menegaskan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya, disertai tata kerja yang formalistik dan pengawasan yang ketat (Tjokrowinoto, 1987:79).
Organisasi birokratik adalah salah satu bentuk organisasi yang digunakanoleh pemerintah untuk melaksanakan pelayanan publik. Bermula ketika Max Weber mengenalkan pengamatannya tentang bureaucrationally, yang melihat sosok birokrasi sebagai alat yang bermanfaat bagi pelaksan aan rasionalitas terhadap tugas-tugas administrasi sehingga bisa mencapai efisiensi – sungguhpun Weber tidak pernah mendefinisikan birokrasi yang dimaksud secara jelas – akan tetapi hasil pengamatan Weber tersebut kemudian dikukuhkan Hegel yang memandang birokrasi tersebut dapat dijadikan sebagai alat penghubung antara negara dan masyarakat (Tjokrowinoto, 1987:82). Sehingga sampai dengan dewasa ini birokrasi pemerintah menjadi alat yang
sangat utama dan paling dominan peranannya dalam pelaksanaan tugas-tugas
negara (Effendi, 1987:3). Pada era reformasi, birokrasi dituntut untuk berubah sikap dan perilaku agar dapat melayani masyarakat dengan baik. Perubahan -perubahan sosial yang terjadi baik yang berlangsung cepat (revolusi) maupun yang berlangsung dengan
lambat (evolusi) menuntut pada organisasi birokrasi untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan -perubahan tersebut, sebab perubahan selalu mengandung
unsur perbedaan.
` Namun, di dalam mengamati kondisi lingkungan masyarakat di mana organisasi birokrasi itu berada, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, sebab kondisi lingkungan masyarakat memiliki ciri-ciri spesifik yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Birokrasi sebagai organisasi jenis seperti ini memiliki keterbatasan dalam memberikan pelayanannya pada masyarakat. Berangkat dari keterbatasan inilah biasanya organisasi pelayanan membentuk pola pelayanan yang bagi sebagian masyarakat dianggap tidak masuk akal, persyaratan prosedur yang berbelit dari mekanisme yang ditentukan birokrasi pemerintah dalam mendapatkan pelayannya, dan sebagainya, serta tambah tidak masuk akal lagi kalau kita berharap bahwa birokrasi akan dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah: kajian kritis birokrasi di Indonesia.
C. Tujuan
Tujuan Makalah ini adalah agar kita memahami dan mengerti hal-hal di bawh ini :
1. Megetahui birokrasi di bidang kesehatan di Kotamadya Ambon memang telah membuka diri
terhadap peluang partisipasi publik.
2. Mengetahui Secara khusus, tujuan dari Disertasi ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh partisipasi publik terhadap pelayanan publik di bidang kesehatan di Kotamadya Ambon, secara riil telah dilaksanakan oleh pelaku pelayanan publik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Gambaran umum birokrasi
Pupusnya harapan masyarakat bahwa birokrasi akan dapat memberikan pelayanan untuk dapat menyelesaikan persoalannya, menyebabkan masyarakat enggan berurusan dengan birokrasi pemerintah terbukti dengan adanya “jalan belakang”, “uang pelicin”, “jalan tol” dan sebagainya yang mereka sebut “birokrasi amplop” -- pada intinya memotong prosedur untuk mendapatkan pelayanan atas prosedur yang panjang dari birokrasi pemerintahan itu.
Buruknya kinerja birokrasi pemerintahan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat ini, menggambarkan bahwa betapa kompleks persoalan organisasi birokratik yang begitu mekanistik dihadapkan pada persoalan masyarakat yang begitu heterogen, kondisi demikian menyebabkan organisasi birokrasi membentuk sejumlah pola yang digunakan untuk memberikan pelayanan pada masyarakatnya :
1. pelayanan yang sama bagi semua, dalam pola ini terbatas daya serapnya, karena kemampuan pelayanan pemerintah terbatas sehingga tidak bisa digunakan secara sama oleh semua warga negara. Hal ini menyebabkan tipe pelayanan pada pola ini yang pada mulanya untuk semua. Oleh karena keterbatasan yang ada justru merancang pola yang hanya untuk memenuhi kebutuhan sekelompok masyarakat tertentu saja
2. pola pelayanan yang, sama secara proporsional bagi semua, dalam pola ini menyarankan suatu distribusi pelayanan yang didasarkan atas suatu ciri tertentu yang berhubungan dengan Birokrasi.
kebutuhan. Kondisi ini tampak lebih pragmatis sebab pola pelayanan ini menyediakan dasar yang kongkrit dan lebih obyektif untuk dibagikan pada masyarakat. Di sisi lain pola pelayanan ini memungkinkan dapat disediakannya pelayanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
.3. pola pelayanan yang tidak sama bagi individu -individu bersesuaian dengan perbedaan yang relevan, dalam pola pelayanan ini perbedaan pelayanan berdasarkan pada ciri–ciri yang dimiliki oleh para penerima pelayanan (Frederickson, 1984:70 -72). Menyimak pola pelayanan tersebut di atas, maka akan tampak dua dimensi dalam melihat masalah keadilan distribusi pelayanan organisasi birokrasi pemerintahan pada masyarakatnya.
Pertama, memberikan pelayanan di antara orang-orang yang beraneka ragam itu harus ditentukan lebih dahulu kriteria dalam membagikan pelayanan-pelayanan di antara kelompok masyarakat yang berbeda.
Kedua, pemberian pelayanan itu harus dilakukan dengan memberikan perlakuan
yang sama pada pihak-pihak yang sama. Meskipun demikian, pada realitanya tidak semudah apa yang ditampilkan sebab pola pelayanan tersebut di atas menuntut sejumlah besar informasi dan cara organisasi birokrasi itu menangani informasi tersebut dalam menerapkan distribusi pada pola pelayanannya. Di sisi lain, organisasi birokratik yang begitu mekanistik memiliki keterbatasan kemampuan dalam menyerap informasi dari lingkungan masyarakat yang begitu kompleks. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan seringnya terjadi kesalahan dalam kinerja birokrasi itu.
Pertama, kurangnya informasi mengenai faktor lingkungan yang bertalian dengan situasi khusus pengambilan keputusan organisasi tersebut.
Kedua, ketidakmampuan organisasi itu untuk secara tepat menetapkan kemungkinan mengenai faktor-faktor di lingkungan masyarakat tersebut mampu mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah unit penentu dalam melaksanakan fungsinya.
Ketiga, kurangnya informasi mengenai kerugian yang harus dipikul akibat keputusan atau langkah yang keliru (Steers, 1985:104 -105).
Kekaburan data dan informasi seperti ini justru akan lebih memburukkan kinerja organisasi birokrasi pemerintah tersebut dalam memberikan pelayanannya dan tanpa disadari kelompok tersebut bahwa dirinya telah menjebak organisasi Birokrasi. birokrasi itu pada posisi yang sangat dilematis dengan mengaburkan informasi di satu sisi sambil menyalahkan kinerja organisasi birokrasi itu di sisi yang lain. Kondisi ini menunjukkan lingkungan masyarakat di satu sisi menyediakan sumber daya yang sangat diperlukan oleh organisasi birokrasi itu, dan di sisi lain lingkungan masyarakat menawarkan batas dan hambatan bagi aktivitas organisasi birokrasi tersebut (Bryant & White, 1987:65). Kondisi tersebut juga menyebabkan organisasi birokratik mengalami kekaburan peran dan fungsinya dalam melakukan tugasnya sebab di posisikan pada posisi yang sangat sulit. Masalahnya terletak pada bagaimana masyarakat mampu memposisikan organisasi birokrasi tersebut menjadi pelayan yang baik dengan segala keterbatasan yang ada, bukankah setiap bentuk layanan apapun yang kita terima di dalamnya selalu mengisyaratkan batasan, batasan tertentu, di satu sisi sedangkan di sisi lain bagai-mana organisasi birokrasi mampu memuaskan semua pihak, bukankah setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik, pada posisi seperti ini akan tampak dua kutub yang berseberangan yaitu tuntutan masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang terbaik dengan keterbatasan kemampuan organisasi birokrasi sebagai penyedia jasa pelayanan tersebut.
B. Kebijakan Manajemen Pelayanan Publik di Indonesia
Pemerintah mengatur pelayanan publik di Indonesia untuk menjamin terselenggaranya pelayanan masyarakat yang maksimal. Kebijakan tersebut antara lain : Undang-Undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.90/MENPAN/1989 tentang Delapan Program Strategis Pemicu Pendayagunaan Administrasi Negara. Diantara 8 program strategis tersebut salah satunya adalah tentang penyederhanaan pelayanan publik.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.1 tahun 1993 tentang Pedoman Tata laksana Pelayanan Umum. Yang antara lain mengatur tentang azas pelayanan umum, tata laksana pelayanan umum, biaya pelayanan umum,dan penyelesaian persoalan dan sengketa.
Intruksi Presiden No. 1 / 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat. Inpres RI kepada MENPAN untuk mengambil langkah-langkah yang terkoordinasi dengan departemen / instansi pemerintah di pusat dan daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat baik yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan pemerintah, pembangunan maupun kemasyarakatan.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Pedoman Penganugrahan Penghargaan Abdisatyabakti bagi unit kerja / Kantor Pelayanan Percontohan.
Instruksi Mendagri No. 20 / 1999.Gubernur KDH TK I dan Bupati / Walikota madya KDH TK II diseluruh Indonesia diinstruksikan untuk : (a). mengambil langkah-langkah penyederhanaan perijinan beserta pelaksanaannya; (b). memberikan kemudahan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan di bidang usaha; dan (c). menyusun buku petunjuk pelayanan perijinan di daerah.
Surat Edaran Mendagri No. 100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002, tentang Pelaksanaan kewenangan wajib dan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25/2004 tentang Transparansi dan Akuntabilitas Pelayanan.
Kotamadya Ambon yang merupakan barometer kemajuan pelayanan publik di Maluku, juga merasa perlu secara intens untuk meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan. Sebab melalui pemenuhan kualitas Birokrasi pemerintahan, diharapkan para aparatur pemerintahan akan memiliki kemampuan pikir yang tinggi dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Oleh karena itu, kualitas Birokrasi pemerintahan memiliki peran yang strategis dalam rangka meningkatkan pelayanan publik di Kotamadya Ambon. Selain itu, Birokrasi pemerintahan yang berkualitas di Kotamadya Ambon adalah penopang bagi pencapaian manajemen pemerintahan yang akuntabel. Sebab kualitas aparatur pemerintahan menjadi kunci bagi terbangunnya kembali kepercayaan masyarakat dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang amanah. Sehingga aparatur pemerintahan sebagai penyelenggara roda pemerintahan,
dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja, dalam rangka meningkatkan pelayanan publik.
Oleh karena itu, pengembangan kualitas sumber daya aparatur
pemerintahan didasarkan pada tiga aspek sebagai human capital, yang meliputi:
Intelectual capital, Social capital dan Soft capital. Dimana pembangunan bidang
aparatur negara mengandung empat misi utama yakni :
1. mewujudkan
penyelenggara negara yang profesional,
2. mengembangkan etika birokrasi dan
budaya kerja yang transparan,
3. akuntabel, peka dan tanggap terhadap aspirasi
masyarakat dan
4. mewujudkan sistem manajemen pelayanan publik yang cepat,
tepat dan memuaskan (Masdar, 2005). Kemudian untuk mengahasilkan aparatur pemerintahan yang berkualitas, maka dalam pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menyebutkan bahwa: “untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya diadakan pengaturan dan penyelenggaraan pendidikan dan latihan Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan dan ketrampilan”. Hal ini menunjukan bahwa, pemerintah telah berupaya mengambil kebijaksanaan dalam mengantisipasi mutu kualitas aparatur yang ada dalam suatu instansi agar lebih profesional dan lebih mandiri. Kemudian dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa: Daerah berwenang mengelolah sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-.undangan.
Menindaklanjuti aturan main tersebut, pemerintah Kotamadya Ambon perlu berupaya secara terus menerus meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan melalui diklat. Melalui upaya ini merupakan mekanisme untuk memacu kinerja aparatur pemerintahan sekaligus akan dapat meningkatkan pengetahuan, disiplin dan kemampuan aparatur pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka dalam rangka meningkatkan pelayanan publik di Kotamadya yang bertajuk manise tersebut.
Dalam perspektif Governability, jika terdapat sosok aparatur pemerintahan mampu meningkatkan kinerja mereka, yang akhirnya berdampak terhadap kepuasan publik maka Kotamadya Ambon akan masuk dalam lanskap Serve State, yakni fungsi negara adalah memaksimalkan peran untuk melayani rakyat dengan kebutuhan barang-barang politik (political goods), sekaligus memberikan kepuasan kepada rakyat melalui pelayanan publik, yang mampu direalisasikan oleh aparat pemerintahah.
Kemudian dalam Serve State negara berperan melayani rakyat dengan kebutuhan barang-barang politik (political goods), sekaligus memberikan kepuasan kepada rakyat melalui pelayanan publik, yang dilakukan oleh aparat birokrat, dimana ciri-cirinya mencakup:
1. mampu melayani rakyat dengan baik,
2. kesejahteraan rakyat diperhatikan,
3. pelayanan birokrasi yang memadai dan
4. penciptaan pemerintah yang berwibawa.
Terlepas dari itu, terdapat banyak jenis pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, khususnya yang diletakan dalam konteks kebijakan publik yang dapat berbentuk distributif, redistributif, dan regulatif. Namun, secara generik, pelayanan yang diberikan kepada pemerintah dibagi menjadi tiga, mencakup:
1. pelayanan primer, yaitu pelayanan yang paling mendasar,
2. pelayanan sekunder,yaitu pelayanan pendukung namun bersifat kelompok spesifik dan pelayanan
3 tersier, yaitu pelayanan yang berhubungan secara tidak langsung kepada publik.
(Djijowiyoto,2003) Menurut Djijowiyoto (2003), pelayanan primer atau pelayanan paling
mendasar pada hakikatnya ada pada pelayanan minimum. Secara sederhana,
terdapat empat pelayanan minimum yang dilakukan pemerintah, yaitu:
1. pelayanan kewarganegaraan,
2. pelayanan kesehatan,
3. pelayanan pendidikan
4. pelayanan ekonomi.
5. Pemberian pelayanan minimum atau dasar adalah
tugas pokok yang diemban oleh pemerintah, dan menjadi tolak ukur kinerja pemerintah. Sehingga keberhasilan pelayanan minimum atau dasar ini membutuhkan adanya aparatur yang mampu mengimplementasikannya dalam kinerja pada instansi tempat mereka bekerja.
Bahkan pelayanan minimum sebagai bagian dari hak azasi manusia merupakan kewajiban negara yang tak dapat ditawar-tawar lagi, dimana sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Dalam level lokal pemerintah Kotamadya Ambon, senantiasa berupaya menyediaan aparatur pemerintahan yang berkualitas dalam upaya merealisasikan pelayanan minimum itu. Dalam obeservasi penulis upaya pemenuhan pelayanan dasar yang dilakukan pemerintah Kotamadya Ambon mencakup (Papilaja, 2008) :
1. pelayanan kewarganegaraan yang terkait dengan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi warga Kotamadya Ambon mulai ditingkatkan sejak tahun 2005, dimana pembuatan KTP telah dialihkan dari Kantor Kelurahan ke Kantor Kecamatan. Mereka yang mengajukan pembuatan KTP adalah warga Kotamadya Ambon dengan terlebih dahulu menunjukan pelunasan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) kepada aparatur pemerintahan di tingkat kecamatan. Begitu pun dalam pengurusan surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), yang diajukan warga Kotamadya Ambon di Dinas Tata Kota, dikenai syarat bahwa, keberadaan tanah yang hendak dilakukan aktivitas pembangunan rumah/gedung adalah sah kepemilikannya dan pendirian bangunan gedung/rumah harus sesuai dengan pengembangan tata ruang Kotamadya Ambon.
2. pelayanan kesehatan merupakan hal yang paling urgen. Di Kotamadya Ambon pelayanan kesehatan, pasca konflik kemanusiaan senantiasa mendapat perhatian sirius dari pemerintah Kotamadya Ambon melalui Dinas Kesehatan. Bahkan bagi warga Kotamadya Ambon yang masih mendiami barakbarak pengungsian senantiasa diberikan pelayanan kesehatan yang maksimal kepada mereka. Upaya Dinas Kesehatan Kotamadya Ambon tersebut tidak sia-sia. Sebab sampai saat ini tidak ada wabah penyakit seperti gizi buruk, malaria,demam berdarah dan berbagai jenis penyakit lainnya menyerang warga
Kotamadya Ambon sampai pada level Kejadian Luar Biasa (KLB).
Perhatian pemerintah Kotamadya Ambon dalam peningkatan pelayanan
kesehatan tersebut, tidak terlepas dari dengan dukungan penuh fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, puskesmas dan tenaga medis yang memadai, sehingga pemerintah Kotamadya Ambon secara dini dapat mengatisipasi berbagai ancaman wabah penyakit yang setiap saat dapat mengancam kesehatan warga Kotamadya Ambon.
3. pelayanan pendidikan di Kotamadya Ambon tetap ditingkatkan.
Meskipun saat konflik puluhan fasilitas pendidikan di Kotamadya Ambon hangus
terbakar oleh amuk konflik komunal, namun sejak tahun 2001, pemerintah
Kotamadya Ambon bersama dinas terkait mulai perlahan-lahan merekonstruksi
sejumlah fasilitas pendidikan itu. Bahkan pemerintah Kotamadya Ambon di bawa
kepemimpinan Walikota M.J Papilaja mulai melakukan pembebasan biaya SPP
kepada siswa-siswa dilingkup Sekolah Dasar (SD), dimana pada waktu yang akan datang akan dilakukan juga pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Untuk tenaga pendidik, sekolah-sekolah di Kotamadya Ambon sudah bisa terpenuhi, pasalnya pemerintah Kotamadya Ambon merekrut puluhan guru kontrak untuk sementara diperbantukan pada sekola-sekolah yang ada pada wilayah administratif Kotamadya Ambon, sambil kedepan meningkatkan status mereka menjadi PNS. Upaya yang dilakukan pemerintah Kotamadya Ambon ini dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM), yang kualitasnya menurun sejak konflik di tahun 1999 lalu.
4 pelayanan ekonomi dari waktu ke waktu senantiasa
ditingkatkan pemerintah Kotamadya Ambon. Hal ini bisa dilihat dengan upaya pemerintah Kotamadya Ambon mempromosikan peluang berinvestasi di Kotamadya Ambon. Sehingga akan menarik investor domestik maupun mancanegara. Kemudian para pengusaha keturunan Cina, Bugis, Makasar, Buton dan Sumatera yang hengkang akibat konflik kemanusiaan pada berbagai daerah di tanah air, saat ini sudah kembali ke Kotamadya Ambon untuk menjalankan usahanya seperti sebelum terjadinya konflik, sehingga perekonomian Kotamadya Ambon semakin bergeliat.
Begitu juga kebutuhan sembilan bahan pokok mudah dijangkau oleh warga Kotamadya Ambon, tidak seperti saat konflik dimana harga sembilan bahan pokok melambung tinggi karena mengalami kelangkaan di pasaran lokal. Semua
ini terjadi, berkat upaya pemerintah Kotamadya Ambon bersama dinas terkait
secara intens melakukan operasi pasar guna mengontrol harga Sembilan bahan pokok. Sehingga para pedagang tidak menainkan harga sembilan bahanpokok demi keuntungan mereka dan merugikan warga Kotamadya Ambon. Seiring dengan meredahnya konflik komunal, pemerintah Kotamadya Ambon bersama sejumlah instansi terkait mulai bahu-membahu untuk meningkatkan pelayanan dasar tersebut. Hal dilakukan sebagai bagian dari upaya rekonstruksi, recovery dan rehabilitasi Kotamadya Ambon pasca konflik kemanusiaan. Dalam perspektif governability, hal ini menunjukan bahwa terdapat upaya serius yang dilakukan negara untuk mengelola dan menyediakan barangbarang politik (political goods) di Kotamadya Ambon, yang mencakup; pelayanan kewarganegaraan, kesehatan pendidikan dan ekonomi.
Mencermati sejumlah prestasi dan hasil yang dicapai selama Tahun 2006 dan perkembangan Kotamadya yang terus meningkat sampai denagn pertengahan thaun 2007 akan memberi dorongan untuk mewujudkan skenario pembangunan seperti tertuang dalam RPJM Kotamadya AMBON 2008-2011. Walikota Ambon, MJ. Papilaja menjelaskan dalam kaitan dengan hal ini maka Kebijakan pembangunan Kotamadya Abon tahun 2008 akan diletakkan pada empat bidang startegis yaitu sosial budaya, ekonomi, pemerintahan, Hukum dan HAM serta sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Menurut Papilaja pembanguan sosial diarahkan untuk memepertahankan dan memelihara serat meningkatkan stabilitas sosial dan keamanan yang didasarkan pada kesadran masyarakat bagi kelangsungan pembangunan dengan isu-isu aktual seperti pendataan dan pengendalian penduduk, pengendalian pemukiman dan penyehatan lingkungan serta peningkatan mutu pelayanan pendidikan. Sementara itu terkait dengan pembangunan dibidang ekonomi menurut Papilaja (2008) diarahkan untuk lebih meningkatkan dan memantapkan stabilitas ekonomi yang telah terbina dan tercipta dengan isu aktual antara lain penyebaran infrastruktur ekonomi secara merata guna memacu pertumbuhan ekonomi. Untuk bidang hukum dan HAM diarahkan untuk mentransformasikan pemahaman dan kesadran multikultur dalam kehidupan politik, pengembangan pemahaman hak dan kewajiban serta optimalisasi pelayanan publik dengan isu aktual antara lain,
1. pemantapan kapasitas lembaga Pemerintah Kotamadya, serta pemantapan sistem pelayanan publik.
2. Problem utama proses kebijakan publik di Kotamadya Ambon, seperti juga secara umum di Indonesia, adalah rendahnya proporsi partisipasi publik didalamnya. Ditengarai, ada dua sebab utama mengapa proporsi keterlibatan masyarakat rendah: pertama, bahwa elit penentu kebijakan masih belum ikhlas
memberikan kesempatan kepada publik untuk turut berperan dalam proses-proses kebijakan. Memang, masih terasa adanya kekhawatiran di kalangan elit kekuasaan bahwa dengan memberikan kesempatan kepada publik secara luas untuk ikut menentukan kebijakan, maka menjadi kian sulit bagi elit kekuasaan untuk menyelewengkan kebijakan publik. Dengan kata lain, belum ada niatan baik dari elit kekuasaan untuk bersikap transparan dalam mengelola wewenang kekuasaan yang diamanahkan kepada mereka.
Birokrasi dalam akhir-akhir ini memang semakin sering mendapatkan sorotan oleh berbagai pihak. Hal ini mungkin disebabkan semakin transparannya media membeberkan fenomena yang sebelumnya hampir tidak tersentuh oleh mata telinga publik. Semakin maraknya sorotan media dalam mengungkapkan fenomena yang terjadi di negeri ini yang memberikan kesadaran warga negara untuk menyikapi apa yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dengan kata lain, peran media semakin dapat dirasakan manfaat dalam mendewasakan masyarakat untuk turut serta mengkritisi apa-apa yang telah dikerjakan oleh birokrasi pemerintah. Maraknya tuntutan transparansi dalam tindak tanduk penyelenggaraan negara, semakin menguatkan masyarakat tentang image profesionalisme yang selama ini dimiliki oleh kelompok birokrat. Tidak sedikit warga masyarakat yang masih meragukan tentang kinerja yang ditunjukkan oleh para birokrat kita yang ada hanya saling berebut keuntungan, bukan menumbuhkan kinerja yang efektif dan efisien dalam menghadapi perubahan Zaman yang semakin menggelobal. Sisi lain, tatanan praktis terhadap tuntutan layanan lebih baik beriringan dengan semakin membaiknya pengertian masyarakat terhadap hak-haknya sebagai warga negara yang mempunyai akses langsung kepada pemerintah.
membawa dampak terhadap perubahan iklim kerja di pemerintah, khususnya sebagai abdi negara dan pelayanan masyarakat. Terlebih apabila hal tersebut dikaitkan dengan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan sebuah organisasi yang berorientasi pada publik service, yang keberhasilannya di dalam menjalankan fungsi layanan kepada publik, sesuai dengan kebutuhan yang dikehendaki.
Berkenaan dengan hal tersebut, layanan publik yang profesional perlu diwujudkan. Hal ini penting mengingat dalam sistem pemberian layanan kepada masyarakat akhir-akhir ini menunjukkan banyak permasalahan. Untuk mengantisipasi kemungkinan hal tersebut terjadi, jauh sebelumnya pemerintah telah berupaya untuk memberikan layanan masyarakat yang lebih baik melalui Keputusan Menpan No. 81./1993, yaitu :
1. Sederhana, mudah, lancar dan tidak berbelit-belit,
2. Jelas dan pasti dalam tatacara, persyaratan,
3. Aman, proses dan hasil layanan umum dapat memberi keamanan, kenyaman, persyaratan
4.Aman, proses dan hasil layanan umum dapat memberi keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum,
5.Terbuka dalam segala hal,
6.Ekonomis,
7.Efisiensi,
8.Adil dan merata, serta
9.Tepat waktu
Namun demikian ternyata masyarakat juga belum mampu memanfaatkankesempatan partisipasi yang sesungguhnya telah terbuka lebar. Selain kuantitas partisipasi, kualitas keterlibatan masyarakat juga masih memprihatinkan. Makanya, bentuk-bentuk penjaringan aspirasi masyarakat ternyata tak lebih hanya berfungsi sebagai seremoni belaka. Kebijakan yang dihasilkan, secara procedural barangkali dapat dikatakan partisipatif, tetapi tidak dalam hal substansial, sehingga, produk kebijakan pun sepertinya masih jauh dari dambaan akan rasa keadilan.
Membenahi pelayanan publik memang tidak mudah karena begitu kompleks permasalahannya termasuk banyaknya tumpang tindih peraturan yang menyertainya, sedangkan masyarakat sudah tidak sabar menanti adanya perbaikan pelayanan publik.
Institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun nonpemerintah.
Dalam konteks Disertasi ini maka Institusi pelayanan publik dibatasi sebagai pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik. Namun demikian, siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain (Stretton, and Orchard, 1994) :
1. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
2. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).
3. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedurkerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni :
pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas,
efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
4. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan
5. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif. Realisasi pelayanan publik oleh Birokrasi, seperti diuraikan di atas, tentunya sangan besar perannya dalam merealisasikan pembangunan di segala bidang kehidupan masyarakat, seperti juga salah satunya adalah di bidang kesehatan yang merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 28 ayat 1 dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), indikator status kesehatan
merupakan salah satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan per kapita. Dengan demikian pembangunan kesehatan merupakan suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam mendukung percepatan pembangunan nasional. Pembangunan bidang kesehatan juga menjadi perhatian penting dalam komitmen internasional, yang dituangkan dalam Millennium Development Goals (MDGs). Dalam MDGs terdapat target target yang terkait langsung dengan bidang kesehatan yaitu target 4 (menurunkan angka kematian anak), target 5 (meningkatkan kesehatan ibu) dan target 6 (memerangi HIV dan AIDS, malaria serta penyakit lainnya), serta 2 target lainya yg tidak terkait langsung yaitu target1 (memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem) dan target 3 (mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan). Departemen Kesehatan telah menyusun strategi untuk pencapaian target-target tersebut. Upaya penjabaran dari pelaksanaan MDGs juga dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Arah Kebijakan pembangunan kesehatan dalam RPJMN antara lain diarahkan pada peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas Puskesmas serta pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar. Salah satu strategi untuk mewujudkan visi Departemen Kesehatan (Depkes) adalah meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas seperti yang tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) Depkes Tahun 2005-2009 serta membuka akses partisipasi publik dalam menjamin peningkatan pelayanan publik yang diberikan pada
pengguna pelayanan publik.
C. partisipasi masyarakat penyelenggaraan pelayanan publik
Kegiatan partisipasi masyarakat masih lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah atau negara. Partisipasi tersebut idealnya berarti masyarakat ikut menentukan kebijakan pemerintah yaitu sebagai bagian dari kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakannya. Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Perwujudan partisipasi masyarakat dapat dilakukan, baik secara individu atau kelompok, bersifat spontan atau terorganisasi, secara berkelanjutan atau sesaat, serta dengan cara-cara tertentu yang dapat dilakukan.
Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat
serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor
pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2) adanya kemampuan, dan (3)adanya kesempatan untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Kemauan dan kemampuan berpartisipasi berasal dari yang bersangkutan (warga atau kelompok masyarakat), sedangkan kesempatan berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi kesempatan. Apabila ada kemauan tapi tidak ada kemampuan dari warga atau kelompok dalam suatu masyarakat, sungguhpun telah diberi kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka partisipasi tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada kemauan dan kemampuan tetapi tidak ada ruang atau kesempatan yang diberikan oleh negara atau penyelenggara
pemerintahan untuk warga atau kelompok dari suatu masyarakat, maka tidakmungkin juga partisipasi masyarakat itu terjadi. Dalam konteks ini masyarakat sebagai penerima pelayanan publik haruslah menjadi masyarakat aktif (active society) jika mengharapkan sebuah birokrasi yang terjadi di era reformasi ini memang berpengaruh bagi partisipasi publik dalam pelayanan publik.
BAB III
PENUTUP
A.SIMPULAN
Penulisan makalah ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana Kajian kritis birokrasi di Indonesia di peroleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengetahuan pemerintah Dalam menyelenggarakan pelayanan publik pemerintah bertanggung jawab memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.
2. Pegetahuan Kegiatan partisipasi masyarakat masih lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah atau negara. Partisipasi tersebut idealnya berarti masyarakat ikut menentukan kebijakan pemerintah yaitu sebagai bagian dari kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakannya.
B.SARAN
1. Bagi institusi pendidikan
Mengingat minimnya buku diperpustakaan khususnya Kajian kritis birokrasi di Indonesia bagi instansi pendidikan hendaknya lebih memperbanyak buku-buku perpusta
kaan tentang Kajian kritis birokrasi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto, Manajemen Pelayanan Publik; Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010.
Dwiyanto Indiahono, Perbandingan Administrasi Publik; Model, Konsep, dan Aplikasi, Gava Media, Yogyakarta, 2009.
Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik; Teori, Kebijakan, dan Implementasi, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2010
Mahmudi, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Unit Penerbit dan percetakan STIM YKPN, Yogyakarta, 2007.
Nina Rahmayanty, Manajemen Pelayanan Prima, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010.
Wahyudi Kumorotomo, Akuntabilitas Birokrasi Publik; Sketsa pada Masa Transisi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
http://silahudin66.blogspot.com/2010/05/konsep-manajemen-pelayanan-publik.html
http://dedylondong.blogspot.com/2011/11/kualitas-pelayanan.html
http://www.majalahpendidikan.com/2011/11/pengertian-pelayanan.html
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Birokrasi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dirancang sebagai birokrasi yang rasional dengan pendekatan struktural-hirarkikal (tradisi weberian). Pendekatan Weberian dalam penataan kelembagaan yang berlangsung dalam pendayagunaan aparatur negara hingga dewasa ini, secara klasikal menegaskan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya, disertai tata kerja yang formalistik dan pengawasan yang ketat (Tjokrowinoto, 1987:79).
Organisasi birokratik adalah salah satu bentuk organisasi yang digunakanoleh pemerintah untuk melaksanakan pelayanan publik. Bermula ketika Max Weber mengenalkan pengamatannya tentang bureaucrationally, yang melihat sosok birokrasi sebagai alat yang bermanfaat bagi pelaksan aan rasionalitas terhadap tugas-tugas administrasi sehingga bisa mencapai efisiensi – sungguhpun Weber tidak pernah mendefinisikan birokrasi yang dimaksud secara jelas – akan tetapi hasil pengamatan Weber tersebut kemudian dikukuhkan Hegel yang memandang birokrasi tersebut dapat dijadikan sebagai alat penghubung antara negara dan masyarakat (Tjokrowinoto, 1987:82). Sehingga sampai dengan dewasa ini birokrasi pemerintah menjadi alat yang
sangat utama dan paling dominan peranannya dalam pelaksanaan tugas-tugas
negara (Effendi, 1987:3). Pada era reformasi, birokrasi dituntut untuk berubah sikap dan perilaku agar dapat melayani masyarakat dengan baik. Perubahan -perubahan sosial yang terjadi baik yang berlangsung cepat (revolusi) maupun yang berlangsung dengan
lambat (evolusi) menuntut pada organisasi birokrasi untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan -perubahan tersebut, sebab perubahan selalu mengandung
unsur perbedaan.
` Namun, di dalam mengamati kondisi lingkungan masyarakat di mana organisasi birokrasi itu berada, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, sebab kondisi lingkungan masyarakat memiliki ciri-ciri spesifik yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Birokrasi sebagai organisasi jenis seperti ini memiliki keterbatasan dalam memberikan pelayanannya pada masyarakat. Berangkat dari keterbatasan inilah biasanya organisasi pelayanan membentuk pola pelayanan yang bagi sebagian masyarakat dianggap tidak masuk akal, persyaratan prosedur yang berbelit dari mekanisme yang ditentukan birokrasi pemerintah dalam mendapatkan pelayannya, dan sebagainya, serta tambah tidak masuk akal lagi kalau kita berharap bahwa birokrasi akan dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah: kajian kritis birokrasi di Indonesia.
C. Tujuan
Tujuan Makalah ini adalah agar kita memahami dan mengerti hal-hal di bawh ini :
1. Megetahui birokrasi di bidang kesehatan di Kotamadya Ambon memang telah membuka diri
terhadap peluang partisipasi publik.
2. Mengetahui Secara khusus, tujuan dari Disertasi ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh partisipasi publik terhadap pelayanan publik di bidang kesehatan di Kotamadya Ambon, secara riil telah dilaksanakan oleh pelaku pelayanan publik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Gambaran umum birokrasi
Pupusnya harapan masyarakat bahwa birokrasi akan dapat memberikan pelayanan untuk dapat menyelesaikan persoalannya, menyebabkan masyarakat enggan berurusan dengan birokrasi pemerintah terbukti dengan adanya “jalan belakang”, “uang pelicin”, “jalan tol” dan sebagainya yang mereka sebut “birokrasi amplop” -- pada intinya memotong prosedur untuk mendapatkan pelayanan atas prosedur yang panjang dari birokrasi pemerintahan itu.
Buruknya kinerja birokrasi pemerintahan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat ini, menggambarkan bahwa betapa kompleks persoalan organisasi birokratik yang begitu mekanistik dihadapkan pada persoalan masyarakat yang begitu heterogen, kondisi demikian menyebabkan organisasi birokrasi membentuk sejumlah pola yang digunakan untuk memberikan pelayanan pada masyarakatnya :
1. pelayanan yang sama bagi semua, dalam pola ini terbatas daya serapnya, karena kemampuan pelayanan pemerintah terbatas sehingga tidak bisa digunakan secara sama oleh semua warga negara. Hal ini menyebabkan tipe pelayanan pada pola ini yang pada mulanya untuk semua. Oleh karena keterbatasan yang ada justru merancang pola yang hanya untuk memenuhi kebutuhan sekelompok masyarakat tertentu saja
2. pola pelayanan yang, sama secara proporsional bagi semua, dalam pola ini menyarankan suatu distribusi pelayanan yang didasarkan atas suatu ciri tertentu yang berhubungan dengan Birokrasi.
kebutuhan. Kondisi ini tampak lebih pragmatis sebab pola pelayanan ini menyediakan dasar yang kongkrit dan lebih obyektif untuk dibagikan pada masyarakat. Di sisi lain pola pelayanan ini memungkinkan dapat disediakannya pelayanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
.3. pola pelayanan yang tidak sama bagi individu -individu bersesuaian dengan perbedaan yang relevan, dalam pola pelayanan ini perbedaan pelayanan berdasarkan pada ciri–ciri yang dimiliki oleh para penerima pelayanan (Frederickson, 1984:70 -72). Menyimak pola pelayanan tersebut di atas, maka akan tampak dua dimensi dalam melihat masalah keadilan distribusi pelayanan organisasi birokrasi pemerintahan pada masyarakatnya.
Pertama, memberikan pelayanan di antara orang-orang yang beraneka ragam itu harus ditentukan lebih dahulu kriteria dalam membagikan pelayanan-pelayanan di antara kelompok masyarakat yang berbeda.
Kedua, pemberian pelayanan itu harus dilakukan dengan memberikan perlakuan
yang sama pada pihak-pihak yang sama. Meskipun demikian, pada realitanya tidak semudah apa yang ditampilkan sebab pola pelayanan tersebut di atas menuntut sejumlah besar informasi dan cara organisasi birokrasi itu menangani informasi tersebut dalam menerapkan distribusi pada pola pelayanannya. Di sisi lain, organisasi birokratik yang begitu mekanistik memiliki keterbatasan kemampuan dalam menyerap informasi dari lingkungan masyarakat yang begitu kompleks. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan seringnya terjadi kesalahan dalam kinerja birokrasi itu.
Pertama, kurangnya informasi mengenai faktor lingkungan yang bertalian dengan situasi khusus pengambilan keputusan organisasi tersebut.
Kedua, ketidakmampuan organisasi itu untuk secara tepat menetapkan kemungkinan mengenai faktor-faktor di lingkungan masyarakat tersebut mampu mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah unit penentu dalam melaksanakan fungsinya.
Ketiga, kurangnya informasi mengenai kerugian yang harus dipikul akibat keputusan atau langkah yang keliru (Steers, 1985:104 -105).
Kekaburan data dan informasi seperti ini justru akan lebih memburukkan kinerja organisasi birokrasi pemerintah tersebut dalam memberikan pelayanannya dan tanpa disadari kelompok tersebut bahwa dirinya telah menjebak organisasi Birokrasi. birokrasi itu pada posisi yang sangat dilematis dengan mengaburkan informasi di satu sisi sambil menyalahkan kinerja organisasi birokrasi itu di sisi yang lain. Kondisi ini menunjukkan lingkungan masyarakat di satu sisi menyediakan sumber daya yang sangat diperlukan oleh organisasi birokrasi itu, dan di sisi lain lingkungan masyarakat menawarkan batas dan hambatan bagi aktivitas organisasi birokrasi tersebut (Bryant & White, 1987:65). Kondisi tersebut juga menyebabkan organisasi birokratik mengalami kekaburan peran dan fungsinya dalam melakukan tugasnya sebab di posisikan pada posisi yang sangat sulit. Masalahnya terletak pada bagaimana masyarakat mampu memposisikan organisasi birokrasi tersebut menjadi pelayan yang baik dengan segala keterbatasan yang ada, bukankah setiap bentuk layanan apapun yang kita terima di dalamnya selalu mengisyaratkan batasan, batasan tertentu, di satu sisi sedangkan di sisi lain bagai-mana organisasi birokrasi mampu memuaskan semua pihak, bukankah setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik, pada posisi seperti ini akan tampak dua kutub yang berseberangan yaitu tuntutan masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang terbaik dengan keterbatasan kemampuan organisasi birokrasi sebagai penyedia jasa pelayanan tersebut.
B. Kebijakan Manajemen Pelayanan Publik di Indonesia
Pemerintah mengatur pelayanan publik di Indonesia untuk menjamin terselenggaranya pelayanan masyarakat yang maksimal. Kebijakan tersebut antara lain : Undang-Undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.90/MENPAN/1989 tentang Delapan Program Strategis Pemicu Pendayagunaan Administrasi Negara. Diantara 8 program strategis tersebut salah satunya adalah tentang penyederhanaan pelayanan publik.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.1 tahun 1993 tentang Pedoman Tata laksana Pelayanan Umum. Yang antara lain mengatur tentang azas pelayanan umum, tata laksana pelayanan umum, biaya pelayanan umum,dan penyelesaian persoalan dan sengketa.
Intruksi Presiden No. 1 / 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat. Inpres RI kepada MENPAN untuk mengambil langkah-langkah yang terkoordinasi dengan departemen / instansi pemerintah di pusat dan daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat baik yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan pemerintah, pembangunan maupun kemasyarakatan.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Pedoman Penganugrahan Penghargaan Abdisatyabakti bagi unit kerja / Kantor Pelayanan Percontohan.
Instruksi Mendagri No. 20 / 1999.Gubernur KDH TK I dan Bupati / Walikota madya KDH TK II diseluruh Indonesia diinstruksikan untuk : (a). mengambil langkah-langkah penyederhanaan perijinan beserta pelaksanaannya; (b). memberikan kemudahan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan di bidang usaha; dan (c). menyusun buku petunjuk pelayanan perijinan di daerah.
Surat Edaran Mendagri No. 100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002, tentang Pelaksanaan kewenangan wajib dan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25/2004 tentang Transparansi dan Akuntabilitas Pelayanan.
Kotamadya Ambon yang merupakan barometer kemajuan pelayanan publik di Maluku, juga merasa perlu secara intens untuk meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan. Sebab melalui pemenuhan kualitas Birokrasi pemerintahan, diharapkan para aparatur pemerintahan akan memiliki kemampuan pikir yang tinggi dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Oleh karena itu, kualitas Birokrasi pemerintahan memiliki peran yang strategis dalam rangka meningkatkan pelayanan publik di Kotamadya Ambon. Selain itu, Birokrasi pemerintahan yang berkualitas di Kotamadya Ambon adalah penopang bagi pencapaian manajemen pemerintahan yang akuntabel. Sebab kualitas aparatur pemerintahan menjadi kunci bagi terbangunnya kembali kepercayaan masyarakat dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang amanah. Sehingga aparatur pemerintahan sebagai penyelenggara roda pemerintahan,
dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja, dalam rangka meningkatkan pelayanan publik.
Oleh karena itu, pengembangan kualitas sumber daya aparatur
pemerintahan didasarkan pada tiga aspek sebagai human capital, yang meliputi:
Intelectual capital, Social capital dan Soft capital. Dimana pembangunan bidang
aparatur negara mengandung empat misi utama yakni :
1. mewujudkan
penyelenggara negara yang profesional,
2. mengembangkan etika birokrasi dan
budaya kerja yang transparan,
3. akuntabel, peka dan tanggap terhadap aspirasi
masyarakat dan
4. mewujudkan sistem manajemen pelayanan publik yang cepat,
tepat dan memuaskan (Masdar, 2005). Kemudian untuk mengahasilkan aparatur pemerintahan yang berkualitas, maka dalam pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menyebutkan bahwa: “untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya diadakan pengaturan dan penyelenggaraan pendidikan dan latihan Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan dan ketrampilan”. Hal ini menunjukan bahwa, pemerintah telah berupaya mengambil kebijaksanaan dalam mengantisipasi mutu kualitas aparatur yang ada dalam suatu instansi agar lebih profesional dan lebih mandiri. Kemudian dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa: Daerah berwenang mengelolah sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-.undangan.
Menindaklanjuti aturan main tersebut, pemerintah Kotamadya Ambon perlu berupaya secara terus menerus meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan melalui diklat. Melalui upaya ini merupakan mekanisme untuk memacu kinerja aparatur pemerintahan sekaligus akan dapat meningkatkan pengetahuan, disiplin dan kemampuan aparatur pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka dalam rangka meningkatkan pelayanan publik di Kotamadya yang bertajuk manise tersebut.
Dalam perspektif Governability, jika terdapat sosok aparatur pemerintahan mampu meningkatkan kinerja mereka, yang akhirnya berdampak terhadap kepuasan publik maka Kotamadya Ambon akan masuk dalam lanskap Serve State, yakni fungsi negara adalah memaksimalkan peran untuk melayani rakyat dengan kebutuhan barang-barang politik (political goods), sekaligus memberikan kepuasan kepada rakyat melalui pelayanan publik, yang mampu direalisasikan oleh aparat pemerintahah.
Kemudian dalam Serve State negara berperan melayani rakyat dengan kebutuhan barang-barang politik (political goods), sekaligus memberikan kepuasan kepada rakyat melalui pelayanan publik, yang dilakukan oleh aparat birokrat, dimana ciri-cirinya mencakup:
1. mampu melayani rakyat dengan baik,
2. kesejahteraan rakyat diperhatikan,
3. pelayanan birokrasi yang memadai dan
4. penciptaan pemerintah yang berwibawa.
Terlepas dari itu, terdapat banyak jenis pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, khususnya yang diletakan dalam konteks kebijakan publik yang dapat berbentuk distributif, redistributif, dan regulatif. Namun, secara generik, pelayanan yang diberikan kepada pemerintah dibagi menjadi tiga, mencakup:
1. pelayanan primer, yaitu pelayanan yang paling mendasar,
2. pelayanan sekunder,yaitu pelayanan pendukung namun bersifat kelompok spesifik dan pelayanan
3 tersier, yaitu pelayanan yang berhubungan secara tidak langsung kepada publik.
(Djijowiyoto,2003) Menurut Djijowiyoto (2003), pelayanan primer atau pelayanan paling
mendasar pada hakikatnya ada pada pelayanan minimum. Secara sederhana,
terdapat empat pelayanan minimum yang dilakukan pemerintah, yaitu:
1. pelayanan kewarganegaraan,
2. pelayanan kesehatan,
3. pelayanan pendidikan
4. pelayanan ekonomi.
5. Pemberian pelayanan minimum atau dasar adalah
tugas pokok yang diemban oleh pemerintah, dan menjadi tolak ukur kinerja pemerintah. Sehingga keberhasilan pelayanan minimum atau dasar ini membutuhkan adanya aparatur yang mampu mengimplementasikannya dalam kinerja pada instansi tempat mereka bekerja.
Bahkan pelayanan minimum sebagai bagian dari hak azasi manusia merupakan kewajiban negara yang tak dapat ditawar-tawar lagi, dimana sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Dalam level lokal pemerintah Kotamadya Ambon, senantiasa berupaya menyediaan aparatur pemerintahan yang berkualitas dalam upaya merealisasikan pelayanan minimum itu. Dalam obeservasi penulis upaya pemenuhan pelayanan dasar yang dilakukan pemerintah Kotamadya Ambon mencakup (Papilaja, 2008) :
1. pelayanan kewarganegaraan yang terkait dengan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi warga Kotamadya Ambon mulai ditingkatkan sejak tahun 2005, dimana pembuatan KTP telah dialihkan dari Kantor Kelurahan ke Kantor Kecamatan. Mereka yang mengajukan pembuatan KTP adalah warga Kotamadya Ambon dengan terlebih dahulu menunjukan pelunasan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) kepada aparatur pemerintahan di tingkat kecamatan. Begitu pun dalam pengurusan surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), yang diajukan warga Kotamadya Ambon di Dinas Tata Kota, dikenai syarat bahwa, keberadaan tanah yang hendak dilakukan aktivitas pembangunan rumah/gedung adalah sah kepemilikannya dan pendirian bangunan gedung/rumah harus sesuai dengan pengembangan tata ruang Kotamadya Ambon.
2. pelayanan kesehatan merupakan hal yang paling urgen. Di Kotamadya Ambon pelayanan kesehatan, pasca konflik kemanusiaan senantiasa mendapat perhatian sirius dari pemerintah Kotamadya Ambon melalui Dinas Kesehatan. Bahkan bagi warga Kotamadya Ambon yang masih mendiami barakbarak pengungsian senantiasa diberikan pelayanan kesehatan yang maksimal kepada mereka. Upaya Dinas Kesehatan Kotamadya Ambon tersebut tidak sia-sia. Sebab sampai saat ini tidak ada wabah penyakit seperti gizi buruk, malaria,demam berdarah dan berbagai jenis penyakit lainnya menyerang warga
Kotamadya Ambon sampai pada level Kejadian Luar Biasa (KLB).
Perhatian pemerintah Kotamadya Ambon dalam peningkatan pelayanan
kesehatan tersebut, tidak terlepas dari dengan dukungan penuh fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, puskesmas dan tenaga medis yang memadai, sehingga pemerintah Kotamadya Ambon secara dini dapat mengatisipasi berbagai ancaman wabah penyakit yang setiap saat dapat mengancam kesehatan warga Kotamadya Ambon.
3. pelayanan pendidikan di Kotamadya Ambon tetap ditingkatkan.
Meskipun saat konflik puluhan fasilitas pendidikan di Kotamadya Ambon hangus
terbakar oleh amuk konflik komunal, namun sejak tahun 2001, pemerintah
Kotamadya Ambon bersama dinas terkait mulai perlahan-lahan merekonstruksi
sejumlah fasilitas pendidikan itu. Bahkan pemerintah Kotamadya Ambon di bawa
kepemimpinan Walikota M.J Papilaja mulai melakukan pembebasan biaya SPP
kepada siswa-siswa dilingkup Sekolah Dasar (SD), dimana pada waktu yang akan datang akan dilakukan juga pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Untuk tenaga pendidik, sekolah-sekolah di Kotamadya Ambon sudah bisa terpenuhi, pasalnya pemerintah Kotamadya Ambon merekrut puluhan guru kontrak untuk sementara diperbantukan pada sekola-sekolah yang ada pada wilayah administratif Kotamadya Ambon, sambil kedepan meningkatkan status mereka menjadi PNS. Upaya yang dilakukan pemerintah Kotamadya Ambon ini dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM), yang kualitasnya menurun sejak konflik di tahun 1999 lalu.
4 pelayanan ekonomi dari waktu ke waktu senantiasa
ditingkatkan pemerintah Kotamadya Ambon. Hal ini bisa dilihat dengan upaya pemerintah Kotamadya Ambon mempromosikan peluang berinvestasi di Kotamadya Ambon. Sehingga akan menarik investor domestik maupun mancanegara. Kemudian para pengusaha keturunan Cina, Bugis, Makasar, Buton dan Sumatera yang hengkang akibat konflik kemanusiaan pada berbagai daerah di tanah air, saat ini sudah kembali ke Kotamadya Ambon untuk menjalankan usahanya seperti sebelum terjadinya konflik, sehingga perekonomian Kotamadya Ambon semakin bergeliat.
Begitu juga kebutuhan sembilan bahan pokok mudah dijangkau oleh warga Kotamadya Ambon, tidak seperti saat konflik dimana harga sembilan bahan pokok melambung tinggi karena mengalami kelangkaan di pasaran lokal. Semua
ini terjadi, berkat upaya pemerintah Kotamadya Ambon bersama dinas terkait
secara intens melakukan operasi pasar guna mengontrol harga Sembilan bahan pokok. Sehingga para pedagang tidak menainkan harga sembilan bahanpokok demi keuntungan mereka dan merugikan warga Kotamadya Ambon. Seiring dengan meredahnya konflik komunal, pemerintah Kotamadya Ambon bersama sejumlah instansi terkait mulai bahu-membahu untuk meningkatkan pelayanan dasar tersebut. Hal dilakukan sebagai bagian dari upaya rekonstruksi, recovery dan rehabilitasi Kotamadya Ambon pasca konflik kemanusiaan. Dalam perspektif governability, hal ini menunjukan bahwa terdapat upaya serius yang dilakukan negara untuk mengelola dan menyediakan barangbarang politik (political goods) di Kotamadya Ambon, yang mencakup; pelayanan kewarganegaraan, kesehatan pendidikan dan ekonomi.
Mencermati sejumlah prestasi dan hasil yang dicapai selama Tahun 2006 dan perkembangan Kotamadya yang terus meningkat sampai denagn pertengahan thaun 2007 akan memberi dorongan untuk mewujudkan skenario pembangunan seperti tertuang dalam RPJM Kotamadya AMBON 2008-2011. Walikota Ambon, MJ. Papilaja menjelaskan dalam kaitan dengan hal ini maka Kebijakan pembangunan Kotamadya Abon tahun 2008 akan diletakkan pada empat bidang startegis yaitu sosial budaya, ekonomi, pemerintahan, Hukum dan HAM serta sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Menurut Papilaja pembanguan sosial diarahkan untuk memepertahankan dan memelihara serat meningkatkan stabilitas sosial dan keamanan yang didasarkan pada kesadran masyarakat bagi kelangsungan pembangunan dengan isu-isu aktual seperti pendataan dan pengendalian penduduk, pengendalian pemukiman dan penyehatan lingkungan serta peningkatan mutu pelayanan pendidikan. Sementara itu terkait dengan pembangunan dibidang ekonomi menurut Papilaja (2008) diarahkan untuk lebih meningkatkan dan memantapkan stabilitas ekonomi yang telah terbina dan tercipta dengan isu aktual antara lain penyebaran infrastruktur ekonomi secara merata guna memacu pertumbuhan ekonomi. Untuk bidang hukum dan HAM diarahkan untuk mentransformasikan pemahaman dan kesadran multikultur dalam kehidupan politik, pengembangan pemahaman hak dan kewajiban serta optimalisasi pelayanan publik dengan isu aktual antara lain,
1. pemantapan kapasitas lembaga Pemerintah Kotamadya, serta pemantapan sistem pelayanan publik.
2. Problem utama proses kebijakan publik di Kotamadya Ambon, seperti juga secara umum di Indonesia, adalah rendahnya proporsi partisipasi publik didalamnya. Ditengarai, ada dua sebab utama mengapa proporsi keterlibatan masyarakat rendah: pertama, bahwa elit penentu kebijakan masih belum ikhlas
memberikan kesempatan kepada publik untuk turut berperan dalam proses-proses kebijakan. Memang, masih terasa adanya kekhawatiran di kalangan elit kekuasaan bahwa dengan memberikan kesempatan kepada publik secara luas untuk ikut menentukan kebijakan, maka menjadi kian sulit bagi elit kekuasaan untuk menyelewengkan kebijakan publik. Dengan kata lain, belum ada niatan baik dari elit kekuasaan untuk bersikap transparan dalam mengelola wewenang kekuasaan yang diamanahkan kepada mereka.
Birokrasi dalam akhir-akhir ini memang semakin sering mendapatkan sorotan oleh berbagai pihak. Hal ini mungkin disebabkan semakin transparannya media membeberkan fenomena yang sebelumnya hampir tidak tersentuh oleh mata telinga publik. Semakin maraknya sorotan media dalam mengungkapkan fenomena yang terjadi di negeri ini yang memberikan kesadaran warga negara untuk menyikapi apa yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dengan kata lain, peran media semakin dapat dirasakan manfaat dalam mendewasakan masyarakat untuk turut serta mengkritisi apa-apa yang telah dikerjakan oleh birokrasi pemerintah. Maraknya tuntutan transparansi dalam tindak tanduk penyelenggaraan negara, semakin menguatkan masyarakat tentang image profesionalisme yang selama ini dimiliki oleh kelompok birokrat. Tidak sedikit warga masyarakat yang masih meragukan tentang kinerja yang ditunjukkan oleh para birokrat kita yang ada hanya saling berebut keuntungan, bukan menumbuhkan kinerja yang efektif dan efisien dalam menghadapi perubahan Zaman yang semakin menggelobal. Sisi lain, tatanan praktis terhadap tuntutan layanan lebih baik beriringan dengan semakin membaiknya pengertian masyarakat terhadap hak-haknya sebagai warga negara yang mempunyai akses langsung kepada pemerintah.
membawa dampak terhadap perubahan iklim kerja di pemerintah, khususnya sebagai abdi negara dan pelayanan masyarakat. Terlebih apabila hal tersebut dikaitkan dengan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan sebuah organisasi yang berorientasi pada publik service, yang keberhasilannya di dalam menjalankan fungsi layanan kepada publik, sesuai dengan kebutuhan yang dikehendaki.
Berkenaan dengan hal tersebut, layanan publik yang profesional perlu diwujudkan. Hal ini penting mengingat dalam sistem pemberian layanan kepada masyarakat akhir-akhir ini menunjukkan banyak permasalahan. Untuk mengantisipasi kemungkinan hal tersebut terjadi, jauh sebelumnya pemerintah telah berupaya untuk memberikan layanan masyarakat yang lebih baik melalui Keputusan Menpan No. 81./1993, yaitu :
1. Sederhana, mudah, lancar dan tidak berbelit-belit,
2. Jelas dan pasti dalam tatacara, persyaratan,
3. Aman, proses dan hasil layanan umum dapat memberi keamanan, kenyaman, persyaratan
4.Aman, proses dan hasil layanan umum dapat memberi keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum,
5.Terbuka dalam segala hal,
6.Ekonomis,
7.Efisiensi,
8.Adil dan merata, serta
9.Tepat waktu
Namun demikian ternyata masyarakat juga belum mampu memanfaatkankesempatan partisipasi yang sesungguhnya telah terbuka lebar. Selain kuantitas partisipasi, kualitas keterlibatan masyarakat juga masih memprihatinkan. Makanya, bentuk-bentuk penjaringan aspirasi masyarakat ternyata tak lebih hanya berfungsi sebagai seremoni belaka. Kebijakan yang dihasilkan, secara procedural barangkali dapat dikatakan partisipatif, tetapi tidak dalam hal substansial, sehingga, produk kebijakan pun sepertinya masih jauh dari dambaan akan rasa keadilan.
Membenahi pelayanan publik memang tidak mudah karena begitu kompleks permasalahannya termasuk banyaknya tumpang tindih peraturan yang menyertainya, sedangkan masyarakat sudah tidak sabar menanti adanya perbaikan pelayanan publik.
Institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun nonpemerintah.
Dalam konteks Disertasi ini maka Institusi pelayanan publik dibatasi sebagai pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik. Namun demikian, siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain (Stretton, and Orchard, 1994) :
1. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
2. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).
3. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedurkerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni :
pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas,
efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
4. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan
5. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif. Realisasi pelayanan publik oleh Birokrasi, seperti diuraikan di atas, tentunya sangan besar perannya dalam merealisasikan pembangunan di segala bidang kehidupan masyarakat, seperti juga salah satunya adalah di bidang kesehatan yang merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 28 ayat 1 dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), indikator status kesehatan
merupakan salah satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan per kapita. Dengan demikian pembangunan kesehatan merupakan suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam mendukung percepatan pembangunan nasional. Pembangunan bidang kesehatan juga menjadi perhatian penting dalam komitmen internasional, yang dituangkan dalam Millennium Development Goals (MDGs). Dalam MDGs terdapat target target yang terkait langsung dengan bidang kesehatan yaitu target 4 (menurunkan angka kematian anak), target 5 (meningkatkan kesehatan ibu) dan target 6 (memerangi HIV dan AIDS, malaria serta penyakit lainnya), serta 2 target lainya yg tidak terkait langsung yaitu target1 (memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem) dan target 3 (mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan). Departemen Kesehatan telah menyusun strategi untuk pencapaian target-target tersebut. Upaya penjabaran dari pelaksanaan MDGs juga dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Arah Kebijakan pembangunan kesehatan dalam RPJMN antara lain diarahkan pada peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas Puskesmas serta pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar. Salah satu strategi untuk mewujudkan visi Departemen Kesehatan (Depkes) adalah meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas seperti yang tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) Depkes Tahun 2005-2009 serta membuka akses partisipasi publik dalam menjamin peningkatan pelayanan publik yang diberikan pada
pengguna pelayanan publik.
C. partisipasi masyarakat penyelenggaraan pelayanan publik
Kegiatan partisipasi masyarakat masih lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah atau negara. Partisipasi tersebut idealnya berarti masyarakat ikut menentukan kebijakan pemerintah yaitu sebagai bagian dari kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakannya. Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Perwujudan partisipasi masyarakat dapat dilakukan, baik secara individu atau kelompok, bersifat spontan atau terorganisasi, secara berkelanjutan atau sesaat, serta dengan cara-cara tertentu yang dapat dilakukan.
Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat
serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor
pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2) adanya kemampuan, dan (3)adanya kesempatan untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Kemauan dan kemampuan berpartisipasi berasal dari yang bersangkutan (warga atau kelompok masyarakat), sedangkan kesempatan berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi kesempatan. Apabila ada kemauan tapi tidak ada kemampuan dari warga atau kelompok dalam suatu masyarakat, sungguhpun telah diberi kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka partisipasi tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada kemauan dan kemampuan tetapi tidak ada ruang atau kesempatan yang diberikan oleh negara atau penyelenggara
pemerintahan untuk warga atau kelompok dari suatu masyarakat, maka tidakmungkin juga partisipasi masyarakat itu terjadi. Dalam konteks ini masyarakat sebagai penerima pelayanan publik haruslah menjadi masyarakat aktif (active society) jika mengharapkan sebuah birokrasi yang terjadi di era reformasi ini memang berpengaruh bagi partisipasi publik dalam pelayanan publik.
BAB III
PENUTUP
A.SIMPULAN
Penulisan makalah ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana Kajian kritis birokrasi di Indonesia di peroleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengetahuan pemerintah Dalam menyelenggarakan pelayanan publik pemerintah bertanggung jawab memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.
2. Pegetahuan Kegiatan partisipasi masyarakat masih lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah atau negara. Partisipasi tersebut idealnya berarti masyarakat ikut menentukan kebijakan pemerintah yaitu sebagai bagian dari kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakannya.
B.SARAN
1. Bagi institusi pendidikan
Mengingat minimnya buku diperpustakaan khususnya Kajian kritis birokrasi di Indonesia bagi instansi pendidikan hendaknya lebih memperbanyak buku-buku perpusta
kaan tentang Kajian kritis birokrasi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto, Manajemen Pelayanan Publik; Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010.
Dwiyanto Indiahono, Perbandingan Administrasi Publik; Model, Konsep, dan Aplikasi, Gava Media, Yogyakarta, 2009.
Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik; Teori, Kebijakan, dan Implementasi, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2010
Mahmudi, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Unit Penerbit dan percetakan STIM YKPN, Yogyakarta, 2007.
Nina Rahmayanty, Manajemen Pelayanan Prima, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010.
Wahyudi Kumorotomo, Akuntabilitas Birokrasi Publik; Sketsa pada Masa Transisi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
http://silahudin66.blogspot.com/2010/05/konsep-manajemen-pelayanan-publik.html
http://dedylondong.blogspot.com/2011/11/kualitas-pelayanan.html
http://www.majalahpendidikan.com/2011/11/pengertian-pelayanan.html
bagi teman - teman yang bingung mencari refrensi tugas matakuliah sistem informasi,
BalasHapusmakalah sistem informasi, praktikum. silahkan saja >>klik disini<< share berbagai hal yang berhubungan dengan
ilmu teknologi informasi dan komunikasi khususnya
seputar sistem informasi silahkan >>Klik Disini<<