Popular Post

Posted by : Sopriadi Ahmad Rabu, 20 Februari 2013

KONFLIK AMBON DAN PATOLOGI SOSIAL
MAKALAH


 
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kehidupan ini selalu menunjukkan kondisi yang beragam. Keberagaman dalamkehidupan menunjukkan bahwa dunia dari kehidupan di dalamnya masih pada kondisinormal. Keberagaman dalam wadah kehidupan bak taman indah yang ditumbuhi beranekamacam tumbuhan dan bunga-bunga. Keberagaman menjadi indah apabila bisa tertata dengan baik sebagaimana juga keberagaman akan memperlihatkan keindahan yang eksotik jika bisadihargai oleh setiap kelompok yang ada. Keberagaman atau pluralitas dalam dialektikakehidupan beragama tentu sedikit menumbuhkan fenomena yang menarik untuk diteroponglebih dekat lagi.
Terdapat sejumlah persoalan yang perlu dicermati manakala agama bersinggungan dengan pluralitas social, dari mulai politik, adat, dan ekonomiKrisis jati diri bangsa yang paling mencekam muncul dalam sikap antipluralisme dikelangan sekelompok anak bangsa. Sebagian besar masyarakat, terutama kelompok-kelompok dominan, masih tidak memahami prinsip-prinsip pluralism dan multikulturalisme(M Dawan Rahardjo, 2010). Mereka bahkan curiga dan mearasa menghadapi ancaman.Padahal, justru kecurigaan dan kekhawatiran inilah yang menimbulkan konflik dan aksi-aksikekerasan yang cukup marak di Indonesia akhir-akhir ini.Melihat beberapa kejadian belakangan yang timbul di tanah air, maka perlumengangkat kembali pemahaman terhadap pluralism Indonesia sebagai satu kesatuan danmerupakan asset bangsa yang berperan besar dalam proses pembangunan dan pencapaiantujuan dan cita-cita bangsa.

 

BAB II

PEMBAHASAAN

A.    Pengertian Pluralisme

Secara terminologis, ”plural” adalah bentuk dasar dari kata pluralisme, yang artinya lebih dari satu. Sedangkan pluralisme ialah keadaan masyarakat yang majemuk (berkaitan dengan sistem sosial dan politik). Sedangkan secara etimologis, pluralisme memiliki banyak arti, tetapi pada dasarnyamemiliki kesamaan makna. Sebagian ada yang mengatakan bahwa pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari satu kelompok, suku, warna kulit, dan agama saja. Jadi, menurut pengertian ini, pluralisme mengakui perbedaan-perbedaan sebagai sebuah realitas yang pasti ada di mana saja.
Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Sebenarnya berbicara tentang konsep pluralisme, sama halnya membicarakan tentang sebuah konsep kemajemukan atau keberagaman, dimana jika kita kembali pada arti pluralisme itu sendiri bahwa pluralisme itu merupakan suatu kondisi masyarakat yang majemuk.
Kemajemukan disini dapat berarti kemajemukan dalam beragama, sosial dan budaya. Namun yang sering menjadi issu terhangat berada pada kemajemukan beragama. Pada prinsipnya, konsep pluralisme ini timbul setelah adanya konsep toleransi. Jadi ketika setiap individu mengaplikasikan konsep toleransi terhadap individu lainnya maka lahirlah pluralisme itu. Dalam konsep pluralisme-lah bangsa Indonesia yang beraneka ragam ini mulai dari suku, agama, ras, dan golongan dapat menjadi bangsa yang satu dan utuh.
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan klaim kebenaran (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama.
Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar. Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah factor:
•Pertama
adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan. Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antar pemeluk agama. Karena itu, menurut mereka, diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi memicu konflik.
•Kedua
faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.
B.     Konflik Ambon dan Patologi Sosial
Jakarta Ledakan konflik horizontal yang bernuansa suku, agama, ras dan golongan (SARA) yang terjadi di Ambon pada Ahad (11/9) yang lalu, adalah tanda bahwa Indonesia sangat rentan terhadap potensi konflik. Sebagai negara yang plural, maka kita harus antisipatif dalam membaca dan menalar koflik sebagai problem serius dan harus diselesaikan secara komprehensif.
Konflik memiliki definisi beragam karena beragamnya latar belakang dan perspektif. Tapi pada dasarnya, ada satu kata yang menjadi kesimpulan bersama para ahli tetang definisi konflik. Yaitu disebabkan karena terjadi disharmoni diantara elemen-elemen yang ada, baik dalam skala individu maupun kelompok.
Newstorm dan Davis (1977), melihat konflik sebagai warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada bangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara terus menerus. Dari perspektif behavioural, Muchlas (1999) menyebut konflik sebagai akibat dari terjadinya minteraktif individu atau kelompok sosial. Di Indonesia, konflik memiliki sejarah yang panjang. Sebagai negeri multikultural ini, setiap rezim pemerintahan di negeri ini memliki satu tugas yang sama yaitu menciptakan harmonisasi akibat seringnya terjadi konflik dengan berbagai latar belakang.
Dilihat dari strukturnya, ada dua konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal biasanya bersifat elitis dan politis. Sedang konflik horizontal lebih pada latar belakang suku, agama, ras dan golongan (SARA), budaya dan ekonomi. Masa yang paling kelam dalam sejarah panjang konflik di Indonesia, terjadi pasca Reformasi tahun 1998. Terjadi ledakan konflik horizontal bernuansa SARA, diantaranya konflik Poso, konflik Ambon, konflik Dayak-Madura di Kalimantan. Serta konflik vertikal GAM hingga tahun 2005. Energi pemerintah mau tidak mau harus dikerahkan untuk meredam konflik hingga recovery pasca konflik.
Tak dapat dinafikan, jika konflik mempengaruhi NKRI secara keseluruhan. Baik kerugian sosial yang menjadi rentan akibat mudahnya masyarakat tersulut provokasi, maupun kerugian ekonomi karena sumber dana untuk menyelesaikan akibat yang ditimbulkan konflik tersebut. Seiring perjalanan kehidupan, sejarah konflik berkembang dengan motif beragam. Fritjof Chapra di dalam bukunya The Turning Point, menyebut konflik sebagai "penyakit peradaban". Fritjof Chapra membaca patologi sosial ini, sebagai bias dari anomali ekonomi dan krisis budaya.
Dari perspektif ekonomi, konflik lahir dari keterdesakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sumber daya ekonomi yang terbatas sementara kebutuhan tak terbatas memaksa manusia untuk bertindak nekad demi memenuhi kebutuhan.Sedang dari perspektif budaya, struktur sosial yang bergolak dan akhirnya melahirkan konflik, merupakan indikasi adanya proses transformasi sehingga menyebabkan rasa keterasingan dan mental ketertinggalan.
Menurut sejarawan Arnold Toynbee sebagaimana dikutif oleh Chapra, pergolakan budaya lahir dari pola interaksi sebagai cara sebuah peradaban melakukan dinamisasi untuk membentuk dirinya, mencari titik equilibrum.
Irama dalam pertumbuhan budaya tersebut menimbulkan fluktuasi yang saling mempengaruhi antara dua kutub, para filusuf Cina menyebutnya Yin dan Yang, Empedocles menyebut sebagai pertarungan cinta dan benci.
Toynbee menyebut hilangnya fleksibilitas di dalam masyarakat multikulural merupakan tanda-tanda keruntuhan sebuah budaya. Struktur sosial dan pola perilaku masyarakat menjadi kaku, masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dalam kreativitas respons. Kekakuan dan hilangnya fleksibilitas ini menyebabkan pudarnya harmoni secara umum dan mengarahkan masyarakat pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.
Di sisi lain, globalisasi yang terjadi begitu derasnya, menyebabkan erosi dan shock budaya. Arus informasi yang menyerang dari berbagai lini kehidupan, merekonstruksi gaya baru dalam diri bangsa tercinta. Pada akhirnya, anak bangsa kehilangan jati diri akibat adanya polarisasi nilai-nilai luhur dan kearifan budaya lokal yang terkontaminasi oleh budaya asing. Friksi sosial budaya pada akhirnya melahirkan dua kelompok masyarakat (masyarakat konservatif dan masyarakat akomodatif tanpa reserve) tidak rukun. Sehingga disharmoni tersebut menjadi bom waktu bagi negara dengan masyarakat yang plural seperti Indonesia. Pancasila sebagai dasar kehidupan dan ciri budaya bangsa Indonesia, tidak tertutup dari perubahan. Sehingga nilai-nilai luhur dan pluralitas yang terkandung dalalm Pancasila, dapat merekatkan masyarakat dari semua golongan baik suku, agama, maupun afiliasi politik. Oleh karenanya, membaca tafsir dan membumikan kembali dasar dan ideologi negara (Pancasila) menjadi salah satu solusi atas konflik sosial yang sering terjadi.
Selain itu, konflik politik yang hari-hari ini justru bergeser pada elit bangsa akibat tarik menarik kepentingan pragmatis, menjadi tugas berat yang harus diakhiri. Karena elit bangsa adalah panutan masyarakat. Sehingga penulis memandang, bahwa sangat mendesak untuk terlebih dahulu menanamkan nilai-nilai Pancasila pada para pemimpin bangsa. Dibutuhkan peran aktif masyarakat untuk mengeliminir elit yang egois dan lebih mementingkan diri dan kelompoknya. Baik secara kolektif melalui pengawasan, maupun seleksi secara individu saat pemilihan umum.
Pemerintah juga perlu mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan yang sering dibangga-banggakan itu, jangan hanya menjadi milik golongan tertentu atau dilakukan pada wilayah tertentu saja. Karena yang kita saksikan, konflik sosial-horizontal sering kali terjadi di wilayah yang mengalami kesenjangan sosial-ekonomi.Masyarakat harus diangkat strata kesejahteraannya, melalui penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan seluas-luas dan seadil-adilnya. Karena pengangguran dan kemiskinan adalah stimulus yang efektif memicu konflik.
Dari sisi psikologi sosial, konflik merupakan produk dari sikap emosional. Maka kedewasaan dan rasionalitas menyikapi berbagai upaya untuk memperkeruh keadaan menjadi fundamen yang urgen. Bahwa konflik hanya akan membawa kerugain bagi semua fihak. Maka damailah Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Secara terminologis, ”plural” adalah bentuk dasar dari kata pluralisme, yang artinya lebih dari satu. Sedangkan pluralisme ialah keadaan masyarakat yang majemuk (berkaitan dengan sistem sosial dan politik). Sedangkan secara etimologis, pluralisme memiliki banyak arti, tetapi pada dasarnyamemiliki kesamaan makna. Sebagian ada yang mengatakan bahwa pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari satu kelompok, suku, warna kulit, dan agama saja.
Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain.
B.  SARAN
1. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku, etnis, dan agama, oleh karena itu pluralisme sangat diperlukan.
2. Dalam Hal Ini Pmemerintah Harus Lebih Fokus Untuk Menyelesaikan Berbagai Konflik, Baik Pemerintah Pusat Atau Setempat. Dan Mencari Solusi Agar Masalah Dapat Terselesaikan.
3. Dari Segi Lain seperti tokoh-tokoh agama pun harus perihatin terhadap konflik yang terjadi, karena konflik tersebut pasti menyangkut teentang perbedaan keyakinan dan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Alister E. Mcgrath, 'Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994). pp 458-459; Coser, Lewis, The Function of Social Conflict, (New York: Free Press, 1965).  Coser, Lewis, The Function of Social Conflict, (New York: Free Press, 1965).   
Coward, Harold, Pluralisme, Tantangan Agama-agama, ter. (Yogyakarta: Kanisius, 1989).
Blattberg, Charles. Oxford From Pluralist to Patriotic Politics: Putting Practice First, University Press, 2000.
Ethics: A Pluralistic Approach to Moral Theory, 2nd ed, Lawrence M. Hinman, Harcourt Brace, 1998.The Open Society and its Enemies, Karl Popper, Routledge, 1945

Leave a Reply

Komentarnya Kakak!

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Contoh Makalah - Date A Live - Powered by Seyoenita - Designed by Sopriadi -