- Back to Home »
- PEMIKIRAN POLITIK SOEKARNO
Posted by : Sopriadi Ahmad
Minggu, 24 Juni 2012
PEMIKIRAN POLITIK SOEKARNO
I. PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Soekarno Merupakan
Sosok Yang Jasanya Tidak Bisa Dilupakan Begitu Saja Dalam Membangun Negeri Ini.
Peranan Besar Yang Telah Dilakukan Oleh Kedua Orang Ini, Terutama Dalam Hal
Memerdekakan Bangsa Indonesia Dari Belenggu Penjajahan Akan Selalu Terpatri
Sebagai Jasa-Jasa Yang Tidak Akan Tergerus Selamanya Oleh Masa. Memang, Jika
Kita Amati. Sosok Kedua Bapak Bangsa Ini Merupakan Pribadi Yang Unik Satu Sama
Lainnya. Pribadi Yang Saling Melengkapi Dan Mengisi Kekurangan-Kekurangan Yang
Ada Diantara Mereka.
Sebagai Sosok
Yang Memiliki Label Penggerak Massa, Soekarno Memiliki Peranan Sebagai Pemain
Depan Yang Dengan Jelas Terlihat Bagaimana Pola Pikir Dan Cara Berbicaranya
Ketika Berada Di Depan Podium Untuk Berpidato. Soekarno Adalah Singa Podium Yang
Berjuluk “Penyambung Solidaritas Rakyat”. Ia Memainkan Peran Dalam Menyampaikan
Pesan Persatuan Dan Kesatuan Untuk Tercapainya Indonesia Merdeka.
1.2 Rumusan Masalah
·
Biografi
Soekarno
·
Pemikiran
Soekarno
II. PEMBAHASAN
1. Biografi Soekarno
Ir. Soekarno (Lahir Di Blitar Pada 6 Juni 1901- Meninggal Pada Tanggal 21 Juni 1970 Di
Kota Blitar, Jawa Timur). Ayahnya Raden
Sukemi Sosrohadihardjo, Adalah Seorang Priyayi Rendahan Yang Bekerja Sebagai Guru
Sekolah Dasar. Ibunya Nyoman Rai Berdarah Biru Dari Bali Dan Beragama Hindu. Pertemuan
Mereka Terjadi Ketika Raden Sukemi, Yang Sehabis Menyelesaikan Studi Di Sekolah
Pendidikan Guru Pertama Di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Ditempatkan Di Sekolah
Dasar Pribumi Di Singaraja, Bali.
Dalam Usia
Kanak-Kanak, Soekarno Tinggal Dan Diasuh Oleh Kakeknya. Raden Hardjokromo Di Tulung
Agung, Jawa Timur. Kakeknya Adalah Seorang Pedagang Batik, Yang Secara Tidak
Langsung Membantu Penghidupan Dari Kedua Orang Tua Soekarno Yang Pada Waktu Itu
Tidak Memiliki Penghasilan Yang Cukup Untuk Menghidupi Dirinya Dan Kakaknya. Kecintaan
Soekarno Terhadap Wayang Kulit, Mulai Tumbuh Selama Tinggal Bersama Kakeknya. Ia
Sering Kali Menonton Wayang Kulit Sampai Larut Malam. Kesenangannya Menonton
Wayang Membuatnya Terkesan Dengan Tokoh Bima Dibandingkan Dengan Tokoh Lain.
Tokoh Bima
Juga Memiliki Pengaruh Yang Besar Dalam Sikap Dan Pandangan Politiknya Kelak. Sikap
Nonkooperasi Terhadap Musuh-Musuhnya, Kaum Imperialis Maupun Kaum Kapitalis,
Serta Kesediaannya Dalam Waktu Bersamaan Berkompromi Dengan Sesama Rekan
Perjuangannya Meskipun Berpeda Pandangan Praktis Dapat Dikatakan Berasal Dari Bima.
Di Tulung
Agung, Ia Pertama Kali Masuk Sekolah. Tetapi Ia Kurang Mempergunakan Kesempatan
Sebaik Mungkin Untuk Belajar. Hal Ini Disebabkan Ia Lebih Sering Melamun
Tentang Kisah Perang Bharata Yudha. Namun, Sisi Keingintahuan Yang Besar Dan
Minatnya Terhadap Pengetahuan Sudah Mulai Tumbuh Pada Saat Ini. Berkat Sifat
Keingintahuan Yang Dimiliki Olehnya, Soekarno Memiliki Wawasan Yang Lebih Luas
Daripada Teman-Teman Sebayanya.
Tidak Lama
Kemudian, Setelah Kedua Orang Tuanya Pindah Ke Sidoarjo Dan Mendapat Jabatan
Sebagai Kepala Eerste Klasse School
Di Mojokerto. Di Sini, Kepandaiannya Mulai Terlihat Dengan Jelas. Mungkin
Ini Disebabkan Oleh Profesi Ayahnya Yang Juga Seorang Guru Sehingga Dapat
Mengawasi Kegiatan Belajar Mengajar Anaknya Secara Langsung. Kemudian, Raden
Sukemi Memasukkan Soekarno Ke Europeesche
Lagere School (E.L.S). Sekolah Tersebut Didirikan Guna Memenuhi
Kebutuhan Anak-Anak Pekerja Di Pabrik Gula.
Selama Bersekolah
Di Sini. Soekarno Merasakan Adanya Diskriminasi Yang Diberlakukan Kepada
Kaumnya. Hanya Bumiputera Tertentu Yang Mendapatkan Kesempatan Untuk
Mendapatkan Hak Istimewa Itu. Mereka Yang Bukan Anak Pejabat Hanya Bisa Masuk
Ketika Ada Izin Khusus Dari Residen Dan Memenuhi Syarat-Syarat Tertentu. Sebelum
Ia Menginjakkan Kaki Di Tempat Tersebut, Pada Tahun 1913, Soekarno Harus
Mengorbankan Waktunya Untuk Memperdalam Bahasa Belanda Pada Juffrow M.P De La Riviera,
Guru Bahasa Belanda Di ELS. Selama Bersekolah Di ELS Soekarno Juga Mengalami
Cinta Pertama Kepada Seorang Gadis Belanda Yang Bernama, Rikameelhuysen. Tetapi,
Hubungan Mereka Berdua Ditentang Oleh Ayah Sang Gadis Karena Melihat Kedudukan Soekarno
Yang Hanya Merupakan Pribumi. Meskipun, Akhirnya Hubungan Itu Putus Dan Soekarno
Dihina. Ia Tidak Marah Karena Menganggap Hal Itu Sudah Biasa.
Pribadi
Soekarno, Selain Banyak Mendapatkan Pendidikan Di ELS. Ia Juga Mendapatkan
Pendidikan Dari Ayahnya Dengan Keras, Penuh Disiplin, Tetapi Di Sisi Lain
Mengajarkan Untuk Mencintai Makhluk Tak Berdaya. Sedangkan Dari Ibunya, Idayu,
Ia Mendapatkan Pengaruh Mistik Dari Pemikiran Hindu Dan Sifat Yang Lemah Lembut
Serta Kasih Sayang. Dari Pembantunya Sarinah, Sebagaimana Diungkapkan Oleh Soekarno
Sendiri, Ia Memperoleh Pengaruh Kemanusiaan Dan Sikap Emansipasif. Ia Amat
Terkesan Dan Mengagumi Sikap Perempuan Tersebut. Meskipun Ia Hanya Seorang
Pembantu, Di Mata Soekarno Ia Adalah Perempuan Bijaksana Dan Berbudi Luhur.
Setelah Menyelesaikan
ELS Di Mojokerto, Pada Tahun 1915, Sukarno Ingin Melanjutkan Pelajarannya Di Hogere Burger School (HBS). Agar Soekarno Diterima Sebagai
Siswa HBS, Ayahnya Menggunakan Pengaruh Kawannya Untuk Memasukkan Ke Sekolah
Tertinggi Yang Ada Di Jawa Timur Tersebut. Melalui Jasa Baik, H.O.S
Tjokrominoto, Soekarno Akhirnya Diterima Di Sana. Bahkan Tokoh Gerakan Massa
Nasionalis Islam Itu Memberikan Pondokan Di Kediamannya, Walaupun Ia Tidak
Mendapatkan Kamar Yang Baik. Ia Menempati Sebuah Kamar Yang Gelap Tanpa Jendela
Dan Daun Pintu. Sebagai Penerangan Lampu Pijar Yang Menyala Sepanjang Hari. Tetapi
Ia Menerima Kenyataan Tersebut Tanpa Menggerutu. Karena Memang Tidak Ada Kamar
Lagi Dan Hanya Itulah Satu-Satunya Kamar Yang Belum Terisi Dan Soekarno Menjadi
Penghuninya. Tetapi Yang Penting Bagi Ayahnya Adalah Anaknya Dapat Tinggal Satu
Atap Dengan “Raja Jawa” Yang Tak Bermahkota.
Alasan Dari
Sukemi Untuk Menitipkan Soekarno Kepada Tjokrominoto Dijelaskan Oleh Soekarno Dalam
Buku Biografinya Yang Ditulis Oleh Cindy Adams (1966), Sebagaimana Yang
Diungkap Oleh Soekarno: “Tjokro Adalah
Pemimpin Baik Dari Orang Jawa. Sungguhpun Engkau Akan Mendapat Pendidikan Belanda,
Aku Tidak Ingin Darah Dagingku Menjadi Kebarat-Baratan. Karena Itu Kukirim
Kepada Tjokro Orang Yang Dijuluki Belanda Sebagai Raja Jawa Yang Tidak
Dinobatkan. Aku Tidak Ingin Melupakan, Bahwa Warisanmu Adalah Untuk Menjadi Karna
Kedua.”
Selama Berada
Di Surabaya, Soekarno Banyak Mendapatkan Pengaruh Pemikiran Barat Yang Modern. Perpisahan
Dengan Orang Tua Dan Lingkungan Desanya Juga Memberikan Pengaruh Postitif Bagi
Dirinya. Soekarno Berada Di Surabaya Selama Lima Tahun. Selama Itu Ia Tinggal
Di Rumah Tjokrominoto. Di Tempat Itulah Pendidikan Politik Soekarno Dimulai
Dengan Interaksi Dengan Berbagai Pemahaman Pemikiran Yang Ada Disana. Soekarno Juga
Berkenalan Dengan Orang-Orang Beraliran Sosialis, Seperti Alimin, Muso, Dan Dharsono
Yang Juga Mendapat Kedudukan Penting Dalam Kepengurusan Sarekat Islam Maupun Di
Dalam Keanggotaan Indische School
Democratische Vereeniging (ISDV).
Sebagai Remaja
Yang Gelisah, Ia Menyalurkan Aspirasinya Melalui Suratkabar Milik Sarekat Islam,
Oetoesan Hindia. Ia Menuangkan
Pemikiran Dengan Nama Samaran ‘Bima”. Menurut Pengakuannya,
Penggunaan Nama Samaran Itu Dimaksudkan Agar Ia Tidak Dimarahi Oleh Ayahnya. Sebab
Ayahnya Akan Marah Apabila Mengetahui Anaknya Membahayakan Masa Depannya
Sendiri. Memang Kata-Kata Yang Digunakan Soekarno Cukup Tajam Seperti “Hancurkan Segera Kapitalisme Yang Dibantu
Oleh Budaknya, Imperialisme. Dengan Kekuatan Islam, Insya Allah Itu Segera
Dilaksanakan.” Di Samping Itu, Soekarno Juga
Aktif Dan Melibatkan Dirinya Dalam Organisasi Pemuda Tri Koro Darmo Cabang Surabaya, Yang Dibentuk Pada 1915 Sebagai
Bagian Dari Organisasi Budi Oetomo. Kemudian Berganti Nama Menjadi Jong Java Pada 1918.
Setelah Menyelesaikan
Pendidikannya Di HBS Pada 10 Juni 1921. Soekarno Beserta Istrinya, Siti Oetari
Tjokrominoto, Puteri Tjokrominoto Yang Dinikahi Olehnya Pada 1920 Atau 1921,
Meninggalkan Surabaya Menuju Bandung. Disana Ia Bersama Istrinya Berdiam Di
Kediaman Haji Sanusi, Anggota Sarekat Islam Dan Juga Kawan Akrab Tjokrominoto. Di
Tempat Itu Pula Soekarno Pertama Kali Bertemu Dengan Inggit Garnasih, Isteri
Haji Sanusi. Kota Bandung Mempunyai Iklim Ideologis Yang Khas Jika Dibandingkan
Dengan Kota-Kota Lain. Jika Sarekat Islam Berpusat Di Surabaya, Maka Semarang Dikenal
Sebagai Pusat Pemikiran Marxisme. Kedua Kota Ini Saling Mempengaruhi Dan Saling
Berebut Pengaruh.
Tetapi
Bandung Justru Bandung Menampilkan Watak Yang Berlainan Dengan Kedua Kedua Kota
Di Atas. Sebab Di Kota Bandung Telah Berkembang Sebuah Pemikiran Bahwa Tujuan
Pergerakan Adalah Kemerdekaan Penuh Bagi Indonesia. Gagasan-Gagasan Ini
Dikembangkan Oleh Para Pemimpin Indische
Partij Yang Akhirnya Mempengaruhi Pemikiran-Pemikiran Selanjutnya. Akhirnya
Kota Bandung Menampilkan Diri Sebagai Pusat Pemikiran Nasionalis Sekuler.
Di Kota
Ini, Soekarno Berkenalan Dengan Tokoh-Tokoh Nasionalis Sekuler, Seperti, E.F.E
Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo Dan Ki Hajar Dewantara. Perkenalan Ini
Telah Membawa Nuansa Baru Dalam Berpikir Soekarno. Seperti Halnya Dalam
Pendekatan Yang Diperkenalkan Oleh Douwes Dekker Dalam Mendekati Situasi Hindia
Belanda Dan Bagaimana Cara Mengubahnya Amat Menarik Perhatian Soekarno. Pemikiran
Yang Diperkenalkan Tersebut Terlihat Berbeda Dari Pemikiran Sebelumnya Didapat
Dari Tokoh-Tokoh Yang Ditemuinya.
Dengan Bertemunya
Berbagai Tokoh Yang Memiliki Berbagai Aliran Pemikiran Tentunya Membuat Pikiran
Soekarno Semakin Tersusun Secara Teratur. Di Samping Itu Kesaksiaannya Terlihat
Di Depan Matanya. Soekarno Melihat Di Lingkungan Tjokrominoto Senantiasa Timbul
Pertentangan Antara Golongan Kanan (Tjokrominoto) Dengan Golongan Kiri (Semaun-Darsono)
Dalam Sentral Serikat Islam Yang Berkedudukan Di Surabaya. Pertikaian Yang
Memuncak Tersebut Berakhir Dengan Terpecahnya Sarekat Islam Menjadi Dua Bagian,
Yakni Sarekat Islam Putih Dan Merah. Sarekat Islam Merah, Akhirnya Merubah
Dirinya Menjadi Sarekat Rakyat.
Jiwa Patriotisme
Soekarno Tidak Hanya Dibentuk Melalui Figur Seorang Tjokrominoto. Sebagaimana Diungkapkan
Oleh Bob Hering, Bahwa Adanya Interaksi Antara Soekarno Dan Para Pengikut
Aliran Marxis Seperti Muso, Alimin, Dan Semaun. Juga Para Orang-Orang Sosialisme
Radikal Belanda, Seperti Coos Hartogh, Henk Sneevliet, Dan Aser Baars. Memang Jika Penulis Pahami, Pengaruh Nasionalisme, Islam,
Dan Marxisme-Sosialisme Sudah Memiliki Andil Yang Besar Pada Diri Soekarno Bahkan
Pada Saat Dia Muda. Secara Jelas, Ini Dibentuk Dari Keberadaan Soekarno Yang
Pada Mulanya Mendapatkan Pendidikan Politik Di Surabaya.
Pada Tahun
1926, Soekarno Mendirikan Algemene
Studie Club Di Bandung. Organisasi Ini Merupakan Cikal Bakal Dari
Partai Nasional Indonesia (PNI) Yang Didirikan Olehnya Pada Tahun 1927. Aktivitas
Soekarno Di PNI Menyebabkan Dirinya Ditangkap Oleh Belanda Pada Bulan Desember 1929,
Dan Memunculkan Pledoi Atau Pembelaannya Yang Fenomenal Dengan Judul Indonesia
Menggugat, Hingga Dibebaskan Kembali Pada Tanggal 31 Desember 1931.
Pada Bulan
Juli 1932, Soekarno Bergabung Dengan Partai Indonesia (Partindo), Yang
Merupakan Pecahan Dari PNI. Akibatnya, Soekarno Kembali Ditangkap Pada Bulan Agustus
1933, Dan Diasingkan Ke Flores. Disini, Soekarno Hampir Hilang Dan Terlupakan
Oleh Tokoh-Tokoh Nasional. Namun, Semangat Dan Api Perjuangan Yang Tidak Pernah
Padam Senantiasa Membuat Soekarno Tetap Tegar Dalam Menghadapi Hambatan Dalam
Perjuangan. Ini Terbukti Melalui Suratnya Kepada Seorang Guru Persatuan Islam Bernama
Ahmad Hassan.
Selama Menjadi
Presiden, Soekarno Banyak Memberikan Gagasan-Gagasan Di Dunia Internasional. Keprihatinannya
Terhadap Nasib Bangsa Asia-Afrika, Masih Belum Merdeka, Belum Mempunyai Hak
Untuk Menentukan Nasibnya Sendiri, Menyebabkan Presiden Soekarno, Pada Tahun
1955, Mengambil Inisiatif Untuk Mengadakan Konferensi Asia-Afrika Di Bandung Dan
Menghasilkan Dasa Sila Bandung. Tujuan Dari KAA Adalah Untuk Menentang Tindakan
Imperialisme Dan Kolonialisme Yang Terjadi Di Dunia Yang Notabenenya Banyak
Dilakukan Oleh Negara-Negara Barat.
Setelah ‘Bercerai’ Dengan Mohammad
Hatta, Pada Tahun 1955. Masa-Masa Kesuraman Pemerintahan Soekarno Sudah Mulai
Tampak. Ditambah Dengan Keadaan Politik Dalam Negeri Yang Sudah Mulai Tidak
Stabil Akibat Adanya Pemeberontakan Separatis Yang Terjadi Di Seluruh Plosok Indonesia.
Dan Berpucak Pada Pemberontakkan G 30 S/ PKI, Membuat Soekarno Di Dalam Masa
Jabatannya Tidak Bisa Memenuhi Cita-Cita Bangsa Indonesia Yang Makmur Dan
Sejahtera. Akibat Selanjutnya, Soekarno Terpaksa Dicabut Masa Jabatannya Oleh MPRS
Setelah Pidato Pertanggungjawabannya Ditolak.
2.
Pemikiran Soekarno
Pada
tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno Mendapat Kehormatan Untuk Menyampaikan
Pidato Di Depan Kongres Amerika Serikat Dalam Rangka Kunjungan Resminya Ke
Negeri Tersebut. Sebagaimana Dilaporkan Dalam Halaman Pertama New York Times
Pada Hari Berikutnya, Dalam Pidato Itu Dengan Gigih Soekarno Menyerang
Kolonialisme. Perjuangan Dan Pengorbanan Yang Telah Kami Lakukan Demi
Pembebasan Rakyat Kami Dari Belenggu Kolonialisme,” Kata Bung Karno, “Telah
Berlangsung Dari Generasi Ke Generasi Selama Berabad-Abad.” Tetapi, Tambahnya, Perjuangan
Itu Masih Belum Selesai. “Bagaimana Perjuangan Itu Bisa Dikatakan Selesai Jika
Jutaan Manusia Di Asia Maupun Afrika Masih Berada Di Bawah Dominasi Kolonial, Masih
Belum Bisa Menikmatikemerdekaan.
Menarik Untuk Disimak Bahwa Meskipun Pidato Itu Dengan Keras Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme, Serta Cukup Kritis Terhadap Negara-Negara Barat, Ia Mendapat Sambutan Luar Biasa Di Amerika Serikat (AS). Namun, Lebih Menarik Lagi Karena Pidato Itu Menunjukkan Konsistensi Pemikiran Dan Sikap-Sikap Bung Karno. Sebagaimana Kita Tahu, Kuatnya Semangat Antikolonialisme Dalam Pidato Itu Bukanlah Merupakan Hal Baru Bagi Bung Karno. Bahkan Sejak Masa Mudanya, Terutama Pada Periode Tahun 1926-1933, Semangat Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Itu Sudah Jelas Tampak. Bisa Dikatakan Bahwa Sikap Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Soekarno Pada Tahun 1950-An Dan Selanjutnya Hanyalah Merupakan Kelanjutan Dari Pemikiran-Pemikiran Dia Waktu Muda.Tulisan Berikut Dimaksudkan Untuk Secara Singkat Melihat Pemikiran Soekarno Muda Dalam Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme-Dan Selanjutnya Elitisme-Serta Bagaimana Relevansinya Untuk Sekarang.
Menarik Untuk Disimak Bahwa Meskipun Pidato Itu Dengan Keras Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme, Serta Cukup Kritis Terhadap Negara-Negara Barat, Ia Mendapat Sambutan Luar Biasa Di Amerika Serikat (AS). Namun, Lebih Menarik Lagi Karena Pidato Itu Menunjukkan Konsistensi Pemikiran Dan Sikap-Sikap Bung Karno. Sebagaimana Kita Tahu, Kuatnya Semangat Antikolonialisme Dalam Pidato Itu Bukanlah Merupakan Hal Baru Bagi Bung Karno. Bahkan Sejak Masa Mudanya, Terutama Pada Periode Tahun 1926-1933, Semangat Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Itu Sudah Jelas Tampak. Bisa Dikatakan Bahwa Sikap Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Soekarno Pada Tahun 1950-An Dan Selanjutnya Hanyalah Merupakan Kelanjutan Dari Pemikiran-Pemikiran Dia Waktu Muda.Tulisan Berikut Dimaksudkan Untuk Secara Singkat Melihat Pemikiran Soekarno Muda Dalam Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme-Dan Selanjutnya Elitisme-Serta Bagaimana Relevansinya Untuk Sekarang.
·
Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme
Salah
Satu Tulisan Pokok Yang Biasanya Diacu Untuk Menunjukkan Sikap Dan Pemikiran
Soekarno Dalam Menentang Kolonialisme Adalah Tulisannya Yang Terkenal Yang
Berjudul Nasionalisme, Islam Dan Marxisme”. Dalam Tulisan Yang Aslinya Dimuat
Secara Berseri Di Jurnal Indonesia Muda Tahun 1926 Itu, Sikap Antikolonialisme
Tersebut Tampak Jelas Sekali. Menurut Soekarno, Yang Pertama-Tama Perlu
Disadari Adalah Bahwa Alasan Utama Kenapa Para Kolonialis Eropa Datang Ke Asia
Bukanlah Untuk Menjalankan Suatu Kewajiban Luhur Tertentu. Mereka Datang
Terutama “Untuk Mengisi Perutnya Yang Keroncong Belaka.” Artinya, Motivasi
Pokok Dari Kolonialisme Itu Adalah Ekonomi.
Sebagai
Sistem Yang Motivasi Utamanya Adalah Ekonomi, Soekarno Percaya, Kolonialisme
Erat Terkait Dengan Kapitalisme, Yakni Suatu Sistem Ekonomi Yang Dikelola Oleh
Sekelompok Kecil Pemilik Modal Yang Tujuan Pokoknya Adalah Memaksimalisasi
Keuntungan. Dalam Upaya Memaksimalisasi Keuntungan Itu, Kaum Kapitalis Tak
Segan-Segan Untuk Mengeksploitasi Orang Lain. Melalui Kolonialisme Para
Kapitalis Eropa Memeras Tenaga Dan Kekayaan Alam Rakyat Negeri-Negeri Terjajah
Demi Keuntungan Mereka. Melalui Kolonialisme Inilah Di Asia Dan Afrika, Termasuk
Indonesia, Kapitalisme Mendorong Terjadinya Apa Yang Ia Sebut Sebagai
Exploitation De L’homme Par L’homme Atau Eksploitasi Manusia Oleh Manusia Lain.
Soekarno
Menentang Kolonialisme Dan Kapitalisme Itu. Keduanya Melahirkan Struktur
Masyarakat Yang Eksploitatif. Sebagai Suatu Sistem Yang Eksploitatif, Kapitalisme
Itu Mendorong Imperialisme, Baik Imperialisme Politik Maupun Imperialisme
Ekonomi. Tetapi Soekarno Muda Tak Ingin Menyamakan Begitu Saja Imperialisme
Dengan Pemerintah Kolonial. Imperialisme.
·
Anti-Elitisme
Selain
Kolonialisme Dan Imperialisme, Di Mata Soekarno Ada Tantangan Besar Lain Yang
Tak Kalah Pentingnya Untuk Dilawan, Yakni Elitisme. Elitisme Mendorong Sekelompok
Orang Merasa Diri Memiliki Status Sosial-Politik Yang Lebih Tinggi Daripada
Orang-Orang Lain, Terutama Rakyat Kebanyakan.
Elitisme
Ini Tak Kalah Bahayanya, Menurut Soekarno, Karena Melalui Sistem Feodal Yang
Ada Ia Bisa Dipraktikkan Oleh Tokoh-Tokoh Pribumi Terhadap Rakyat Negeri
Sendiri. Kalau Dibiarkan, Sikap Ini Tidak Hanya Bisa Memecah-Belah Masyarakat
Terjajah, Tetapi Juga Memungkinkan Lestarinya Sistem Kolonial Maupun Sikap-Sikap
Imperialis Yang Sedang Mau Dilawan Itu. Lebih Dari Itu, Elitisme Bisa Menjadi
Penghambat Sikap-Sikap Demokratis Dalam Masyarakat Modern Yang Dicita-Citakan
Bagi Indonesia Merdeka.
Soekarno
Melihat Bahwa Kecenderungan Elitisme Itu Tercermin Kuat Dalam Struktur Bahasa
Jawa Yang Dengan Pola “Kromo” Dan “Ngoko”-Nya Mendukung Adanya Stratifikasi
Sosial Dalam Masyarakat. Untuk Menunjukkan Ketidaksetujuannya Atas Stratifikasi
Demikian Itu, Dalam Rapat Tahunan Jong Java Di Surabaya Pada Bulan Februari 1921,
Soekarno Berpidato Dalam Bahasa Jawa Ngoko, Dengan Akibat Bahwa Ia Menimbulkan
Keributan Dan Ditegur Oleh Ketua Panitia. Upaya Soekarno Yang Jauh Lebih Besar
Dalam Rangka Menentang Elitisme Dan Meninggikan Harkat Rakyat Kecil Di Dalam
Proses Perjuangan Kemerdekaan Tentu Saja Adalah Pencetusan Gagasan Marhaenisme.
Dalam Kaitan Dengan Usaha Mengatasi Elitisme Itu Ditegaskan Bahwa Marhaneisme “Menolak
Tiap Tindak Borjuisme” Yang, Bagi Soekarno, Merupakan Sumber Dari Kepincangan
Yang Ada Dalam Masyarakat. Ia Berpandangan Bahwa Orang Tidak Seharusnya
Berpandangan Rendah Terhadap Rakyat. Sebagaimana Dikatakan Oleh Ruth Mcvey, Bagi
Soekarno Rakyat Merupakan “Padanan Mesianik Dari Proletariat Dalam Pemikiran
Marx,” Dalam Arti Bahwa Mereka Ini Merupakan “Kelompok Yang Sekarang Ini Lemah
Dan Terampas Hak-Haknya, Tetapi Yang Nantinya, Ketika Digerakkan Dalam Gelora
Revolusi, Akan Mampu Mengubah Dunia.”
Langkah-Langkah
Apa Yang Diusulkan Oleh Soekarno Untuk Melawan Kolonialisme, Imperialisme Serta
Elitisme Itu? Pertama-Tama Ia Mengusulkan Ditempuhnya Jalan Nonkooperasi. Bahkan
Sejak Tahun 1923 Soekarno Sudah Mulai Mengambil Langkah Nonkooperasi Itu, Yakni
Ketika Ia Sama Sekali Menolak Kerja Sama Dengan Pemerintah Kolonial. Dalam
Kaitan Dengan Ini Ia Kembali Mengingatkan Bahwa Motivasi Utama Kolonialisme
Oleh Orang Eropa Adalah Motivasi Ekonomi. Oleh Karena Itu Mereka Tak Akan
Dengan Sukarela Melepaskan Koloninya.
Langkah
Lain Yang Menurut Soekarno Perlu Segera Diambil Dalam Menentang Kolonialisme
Dan Imperialisme Itu Adalah Menggalang Persatuan Di Antara Para Aktivis
Pergerakan. Dalam Serial Tulisan Nasionalisme, Islam Dan Marxisme Ia Menyatakan
Bahwa Sebagai Bagian Dari Upaya Melawan Penjajahan Itu Tiga Kelompok Utama
Dalam Perjuangan Kemerdekaan Di Indonesia-Yakni Para Pejuang Nasionalis, Islam
Dan Marxis-Hendaknya Bersatu. Dalam Persatuan Itu Nanti Mereka Akan Mampu
Bekerja Sama Demi Terciptanya Kemerdekaan Indonesia. “Bahtera Yang Akan Membawa
Kita Kepada Indonesia Merdeka,” Ingat Soekarno, “Adalah Bahtera Persatuan.”
Seruan-Seruan
Soekarno Itu Pada Tanggal 4 Juli 1927 Dilanjutkan Dengan Pendirian Partai
Nasional Indonesia (PNI) Yang Sebagai Tujuan Utamanya Dicanangkan Untuk “Mencapai
Kemerdekaan Indonesia.” Guna Memberi Semangat Kepada Para Aktivis Pergerakan, Pada
Tahun 1928 Ia Menulis Artikel Berjudul Jerit Kegemparan Di Mana Ia Menunjukkan
Bahwa Sekarang Ini Pemerintah Kolonial Mulai Waswas Dengan Semakin Kuatnya
Pergerakan Nasional Yang Mengancam Kekuasaannya. Ketika Pada Tanggal 29 Desember
1929 Soekarno Ditangkap Dan Pada Tanggal 29 Agustus 1930 Disidangkan Oleh
Pemerintah Kolonial, Soekarno Justru Memanfaatkan Kesempatan Di Persidangan Itu.
Dalam Pleidoinya Yang Terkenal Berjudul Indonesia Menggugat Dengan Tegas Ia
Menyatakan Perlawanannya Terhadap Kolonialisme. Dan Tak Lama Setelah Dibebaskan
Dari Penjara Pada Tanggal 31 Desember 1931 Ia Bergabung Dengan Partai Indonesia
(Partindo), Yakni Partai Berhaluan Nonkooperasi Yang Dibentuk Pada Tahun 1931 Untuk
Menggantikan PNI Yang Telah Dibubarkan Oleh Pemerintah Kolonial.
Hal
Ini Tampak Misalnya Ketika Ia Mendirikan PNI. Di Satu Pihak Memang Dengan Jelas
Digariskan Bahwa Tujuan Utama PNI Adalah Mencapai Indonesia Merdeka. Tetapi Di
Lain Pihak Cita-Cita Kemerdekaan Itu Tidak Disertai Hasrat Untuk Mengubah
Sistem Politik Yang Dilaksanakan Oleh Pemerintah Kolonial Dengan Sistem Politik
Yang Sama Sekali Baru. Alih-Alih Perubahan Total, Soekarno-Sebagaimana Banyak
Aktivis Pergerakan Waktu Itu-Berkeinginan Bahwa Negeri Yang Merdeka Itu Nanti
Akan Ditopang Oleh Sistem Yang Mirip Dengan Sistem Yang Menopangnya Saat
Terjajah. Hanya Elitenya Akan Diganti Dengan Elite Baru, Yakni Elite Pribumi.
Berhubungan
Dengan Sikap Anti-Elitismenya Perlu Dilihat Bahwa Meskipun Dalam Pidato Dan
Tulisan-Tulisannya Soekarno Tampak Melawan Elitisme, Tetapi Sebenarnya Bisa
Diragukan Apakah Ia Sepenuhnya Demikian. Hal Ini Tampak Misalnya Dalam Pidato
Yang Ia Sampaikan Pada Tanggal
26 November 1932 Di Yogyakarta, Kota Pusat Aristokrasi Jawa. Dalam Pidato Itu Soekarno Mengajak Setiap Orang, Apa Pun Status Sosialnya, Untuk Bersatu Demi Kemerdekaan. Tetapi Sekaligus Ia Menegaskan Bahwa Bersama Partindo Dirinya Tidak Menginginkan Perjuangan Kelas. Dalam Tulisan Nasionalisme, Islam Dan Marxisme, Sebagaimana Disinyalir Oleh Mcvey, Sebenarnya Soekarno Sama Sekali Tidak Sedang Bicara Dengan Rakyat Banyak. Dalam Tulisan Itu Ia, Menurut Mcvey, “Tidak Menyampaikan Imbauannya Kepada Kelompok-Kelompok Radikal Pedesaan Dan Proletar Yang Telah Memelopori Pemberontakan Komunis Setahun Sebelumnya, Atau Kepada Para Santri-Santri Taat Pejuang Islam, Atau Kepada Rakyat Kebanyakan Di Dalam Maupun Di Sekitar Wilayah Perkotaan Yang Bergabung Ke Dalam PNI Yang Didirikan Oleh Soekarno Saat Mereka Sedang Mencari Pegangan Di Tengah Lunturnya Nilai-Nilai Tradisional.” Soekarno, Sebaliknya, Lebih Mengalamatkan Imbauannya Kepada Sesama Kaum Elite Pergerakan, Atau Kepada Apa Yang Disebut Oleh Mcvey Sebagai “Elite Metropolitan,” Yang Keanggotaannya Biasanya Ditentukan Oleh Tingkat Pendidikan Barat Yang Diperoleh Seseorang.
26 November 1932 Di Yogyakarta, Kota Pusat Aristokrasi Jawa. Dalam Pidato Itu Soekarno Mengajak Setiap Orang, Apa Pun Status Sosialnya, Untuk Bersatu Demi Kemerdekaan. Tetapi Sekaligus Ia Menegaskan Bahwa Bersama Partindo Dirinya Tidak Menginginkan Perjuangan Kelas. Dalam Tulisan Nasionalisme, Islam Dan Marxisme, Sebagaimana Disinyalir Oleh Mcvey, Sebenarnya Soekarno Sama Sekali Tidak Sedang Bicara Dengan Rakyat Banyak. Dalam Tulisan Itu Ia, Menurut Mcvey, “Tidak Menyampaikan Imbauannya Kepada Kelompok-Kelompok Radikal Pedesaan Dan Proletar Yang Telah Memelopori Pemberontakan Komunis Setahun Sebelumnya, Atau Kepada Para Santri-Santri Taat Pejuang Islam, Atau Kepada Rakyat Kebanyakan Di Dalam Maupun Di Sekitar Wilayah Perkotaan Yang Bergabung Ke Dalam PNI Yang Didirikan Oleh Soekarno Saat Mereka Sedang Mencari Pegangan Di Tengah Lunturnya Nilai-Nilai Tradisional.” Soekarno, Sebaliknya, Lebih Mengalamatkan Imbauannya Kepada Sesama Kaum Elite Pergerakan, Atau Kepada Apa Yang Disebut Oleh Mcvey Sebagai “Elite Metropolitan,” Yang Keanggotaannya Biasanya Ditentukan Oleh Tingkat Pendidikan Barat Yang Diperoleh Seseorang.
Jika
Soekarno Tampak Terpisah Dari Rakyat, Sebenarnya Ia Tidak Sendirian. Banyak
Tokoh Elite Perjuangan Pada Zamannya Juga Demikian. Ketika Membubarkan PNI Pada
Tanggal 25 April 1931, Misalnya, Para Pemimpin Partai Itu Tidak Banyak
Berkonsultasi Dengan Rakyat Kebanyakan Yang Menjadi Anggotanya. Akibatnya
Rakyat Menjadi Kecewa, Membentuk Apa Yang Disebut “Golongan Merdeka,” Dan
Memperjuangkan Pentingnya Pendidikan Rakyat.
Bahkan
Pada Masa Revolusi Sendiri Bisa Dipertanyakan Apakah Sebenarnya Rakyat Yang
Ikut Gigih Bertempur Dan Berkorban Mempertahankan Kemerdekaan Itu Mendapat Kesempatan
Yang Maksimal Dalam Menentukan Arah Revolusi. Dalam Tulisannya Mengenai Pola
Hubungan Antara Elite Dan Rakyat Pada Zaman Revolusi, Barbara Harvey Menyatakan
Bahwa Hubungan Itu Tidak Hanya Amat Lemah, Tetapi Juga Berakibat Cukup Fatal
Bagi Revolusi Kemerdekaan Itu Sendiri. Lemahnya Hubungan Antara Para Pemimpin
Nasional Di Tingkat Pusat Dengan Rakyat Di Desa-Desa, Menurut Dia, “Merupakan
Faktor Utama Bagi Gagalnya Elite Kepemimpinan Untuk Menggalang Dan Mengarahkan
Kekuatan Rakyat Demi Terwujudnya Tujuan-Tujuan Revolusi.”
Dengan
Kata Lain, Sebenarnya Rakyat Tidak Sepenuhnya Dilibatkan Dalam Proses Bernegara.
Jika Ini Benar, Mungkin Tak Terlalu Mengherankan Jika PKI-Meskipun Pada Tahun 1948
Ditekan Besar-Besaran Setelah Peristiwa Madiun-Dalam Waktu Singkat Berkembang
Pesat Pengikutnya. Ini Antara Lain Karena Di Dalam PKI Banyak Rakyat Merasakan
Bahwa Justru Dalam Partai Yang Menekankan Antikemapanan (Baca: Anti-Elite
Metropolitan) Itu Kepentingan Dan Cita-Cita Mereka Mendapat Tempatnya. Dalam
Pemilu 1955 PKI Bahkan Berhasil Memperoleh Suara Terbanyak Keempat.
Dengan
Sedikit Meminjam Seruan Bung Karno Yang Terkenal, Sekarang Ini Kita Perlu “Membangun
Dunia Baru.” Tetapi Upaya Untuk Membangun Dunia Yang Baru Itu Kiranya Harus
Dimulai Dengan Terlebih Dahulu “Membangun Indonesia Baru.” Dan Upaya Membangun
Indonesia Baru Itu Mungkin Harus Dimulai Dengan Membangun Elite Politik Yang
Benar-Benar Lahir Dari Kalangan Rakyat Dan Memperjuangkan Kepentingan Rakyat. Dalam
Indonesia Yang Baru Itu Diharapkan Tiada Lagi-Kalaupun Ada Kecil Peranannya-Kelompok
Elite Yang Hanya Sibuk Berebut Kekuasaan Dan Pengaruh.
Hal
Ini Bisa Terjadi Jika Para Aktivis Muda Reformasi Sekarang Ini Tidak Enggan
Untuk Belajar Dari Para Aktivis Pergerakan Generasi Tahun 1920-An. Di Satu
Pihak Meneruskan Sikap Militan Generasi Itu Dalam Memperjuangkan Cita-Cita
Bersama Dan Rela Berkurban Demi Cita-Cita Itu. Di Lain Pihak Menolak
Kecenderungan Untuk Mewarisi Sistem Pemerintahan Sebelumnya, Yakni
Kecenderungan Untuk Mengganti Elite Lama Dengan Elite Yang Baru Tetapi Yang
Pola Dan Orientasi Politiknya Tetap Sama. Dengan Demikian Akan Bisa Diharapkan
Lahirnya Elite Politik Yang Benar-Benar Berorientasi Pada Semakin Terwujudnya
Demokrasi.
III.
PENUTUP
Kesimpulan
·
Ir. Soekarno (Lahir Di Blitar Pada 6
Juni 1901- Meninggal Pada Tanggal 21 Juni 1970 Di Kota Blitar, Jawa Timur). Ayahnya Raden Sukemi
Sosrohadihardjo, Adalah Seorang Priyayi Rendahan Yang Bekerja Sebagai Guru
Sekolah Dasar. Ibunya Nyoman Rai Berdarah Biru Dari Bali Dan Beragama Hindu.
Pertemuan Mereka Terjadi Ketika Raden Sukemi, Yang Sehabis Menyelesaikan Studi
Di Sekolah Pendidikan Guru Pertama Di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur,
Ditempatkan Di Sekolah Dasar Pribumi Di Singaraja, Bali.
·
Soekarno
Menentang Kolonialisme Dan Kapitalisme Itu. Keduanya Melahirkan Struktur
Masyarakat Yang Eksploitatif. Sebagai Suatu Sistem Yang Eksploitatif,
Kapitalisme Itu Mendorong Imperialisme, Baik Imperialisme Politik Maupun
Imperialisme Ekonomi. Tetapi Soekarno Tak Ingin Menyamakan Begitu Saja Imperialisme
Dengan Pemerintah Kolonial. Imperialisme.
·
Menurut
Soekarno, Yang Pertama-Tama Perlu Disadari Adalah Bahwa Alasan Utama Kenapa
Para Kolonialis Eropa Datang Ke Asia Bukanlah Untuk Menjalankan Suatu Kewajiban
Luhur Tertentu. Mereka Datang Terutama “Untuk Mengisi Perutnya Yang Keroncong
Belaka.” Artinya, Motivasi Pokok Dari Kolonialisme Itu Adalah Ekonomi.Sebagai
Sistem Yang Motivasi Utamanya Adalah Ekonomi.
·
Langkah
Lain Yang Menurut Soekarno Perlu Segera Diambil Dalam Menentang Kolonialisme
Dan Imperialisme Itu Adalah Menggalang Persatuan Di Antara Para Aktivis
Pergerakan.
·
Dengan
Pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) Yang Sebagai Tujuan Utamanya
Dicanangkan Untuk “Mencapai Kemerdekaan Indonesia.” Guna Memberi Semangat
Kepada Para Aktivis Pergerakan, Pada Tahun 1928 Ia Menulis Artikel Berjudul
Jerit Kegemparan Di Mana Ia Menunjukkan Bahwa Sekarang Ini Pemerintah Kolonial
Mulai Waswas Dengan Semakin Kuatnya Pergerakan Nasional Yang Mengancam
Kekuasaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hering Bob, Soekarno Architect Of
A Nation, Kit Publisher, Amsterdam, 2001
Soekarno Founding Father Of
Indonesia 1901-1945, Kit Publisher, Amsterdam, 2001
Katoppo, Aristides, 80 Tahun Bung
Karno, Kintamani Offset, Jakarta, 1982
Kasenda, Peter, Soekarno Muda:
Biografi Pemikiran 1926-1933, Komunitas Bambu, Jakarta, 2010