Popular Post

Contoh Makalah Kualitas Pelayanan Publik di Indonesia

By : Sopriadi Ahmad
Kualitas Pelayanan Publik di Indonesia
Di Sampaikan Pada Mata Kuliah “Politik Birokrasi di Indonesia”
Dosen Pembimbing : Alexander Yandra, S.IP,. M.Si













Disusun Oleh Kelompok IV:

Sopriadi
11-502-042
Khoironi
11-502-055

Emiliya
11-502-012

Wahyu Hidayat
11-502-050

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ABDURRAB PEKANBARU
2013


KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan.Dalam makalah ini kami membahas “Kualitas Pelayanan Publik di Indonesia”, suatu permasalahan yang selalu dialami bagi masyarakat yang menggunakan Pelayanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena masyarakat tidak mungkin bias hidup tanpa bantuan dari aparatur birokrasi pada masa sekarang ini.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman masalah kualitas pelayanan yang sangat diperlukan dalam suatu harapan mendapatkan kualitas terbaik dalam pelayanan public sesuai yang telah ditetapkan terutama yang dilakukan oleh apparatus pemerintah baik swasta maupun lainnya, serta tidak ada pelayanan yang merugikan masyarakat.
Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan” : Alexander Yandra, S.IP,. M.Si selaku dosen mata kuliah “Politik Birokrasi di Indonesia” ,Rekan-rekan mahasiwa yang telah bekerja sama dalam menyelesaikan makalah ini.

Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat,








Pekanbaru, 07 Mei  2013


Penulis



DAFTAR ISI


Kata Pengantar        i
Daftar Isi        ii
BAB I
Pendahuluan
I.    Latar Belakang        1
II.    Rumusan Masalah        2
III.    Tujuan        2
BAB II
Pembahasan
Kualitas Dalam Pelayanan Publik Indonesia
I.    Pengertian Pelayanan Publik        3
II.    Penyelenggara Pelayan Publik        3   
III.    Undang-undang Pelayanan Publik        5
IV.    Kualitas Pelayanan Publik Indonesia        8
V.    Pelayanan Publik Yang Diharapkan Serta Solusi Yang Harus Dilakukan        10
BAB III
Penutup
I.    Kesimpulan        16
II.    Saran        17
DAFTAR PUSTAKA



 BAB I
Pendahuluan
I.    Latar Belakang
Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas digariskan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang meliputi 4 (empat) aspek pelayanan pokok aparatur terhadap masyarakat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dan diperjelas lagi dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 tahun 2003 yang menguraikan pedoman umum penyelenggaraan pelayanan public
Pelayanan sebagai proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara lansung, merupakan konsep yang senantiasa aktual dalam berbagai aspek kelembagaan. Bukan hanya pada organisasi bisnis, tetapi telah berkembang lebih luas pada tatanan organisasi pemerintah (Sinambela, 2006:42-43)
Dewasa ini kehidupan masyarakat mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari kemajuan yang telah dicapai dalam proses pembangunan sebelumnya dan kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang dapat dirasakan sekarang ini adalah terjadinya perubahan pola pikir masyarakat ke arah yang semakin kritis. Hal itu dimungkinkan, karena semakin hari warga masyarakat semakin cerdas dan semakin memahami hak dan kewajibannya sebagai warga. Kondisi masyarakat yang demikian menuntut hadirnya pemerintah yang mampu memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan dalam segala aspek kehidupan mereka, terutama dalam mendapatkan pelayanan yang sebaik-baiknya dari pemerintah. Dalam kaitannya itu (Rasyid 1997:11) mengemukakan bahwa : Pemerintah modern, dengan kata lain, pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat. Memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama.
Pemberian palayanan yang memenuhi standar yang telah ditetapkan memang menjadi bagian yang perlu dicermati. Saat ini masih sering dirasakan bahwa kualitas pelayanan minimum sekalipun masih jauh dari harapan masyarakat. Yang lebih memprihatinkan lagi, masyarakat hampir sama sekali tidak memahami secara pasti tentang pelayanan yang seharusnya diterima dan sesuai dengan prosedur pelayanan yang baku oleh pemerintah. Masyarakatpun enggan mengadukan apabila menerima pelayanan yang buruk, bahkan hampir pasti mereka pasrah menerima layanan seadanya. Kenyataan semacam ini terdorong oleh sifatpublic goods menjadi monopoli pemerintah khususnya dinas/instansi pemerintah daerah dan hampir tidak ada pembanding dari pihak lain. Praktek semacam ini menciptakan kondisi yang merendahkan posisi tawar dari masyarakat sebagai penggunan jasa pelayanan dari pemerintah, sehingga memaksa masyarakat mau tidak mau menerima dan menikmati pelayanan yang kurang memadai tanpa protes.
Satu hal yang belakangan ini sering dipermasalahkan adalah dalam bidang publik service (Pelayanan Umum), terutama dalam hal kualitas atau mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat. Pemerintah sebagai service provider (Penyedia Jasa) bagi masyarakat dituntut untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Apalagi pada era otonomi daerah, kulitas dari pelayanan aparatur pemerintah akan semakin ditantang untuk optimal dan mampu menjawab tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat, baik dari segi kulitas maupun dari segi kuantitas pelayanan. Di negara-negara berkembang dapat kita lihat mutu pelayanan publik merupakan masalah yang sering muncul, karena pada negara berkembang umumnya permintaan akan pelayanan jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk memenuhinya sehingga pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat kurang terpenuhi baik dilihat dari segi kulitas maupun kuantitas.
II.    Rumusan Masalah
1.    Apa yang di maksud dengan pelayanan public?
2.    Siapa yang berwenang dalam penyelenggaraan pelayanan public di Indonesia?
3.    Bagaimana undang-undang yang mengatur pelayanan public di Indonesia?
4.    Bagaimana Kualitas Pelayanan public di Indonesia?
5.    Apa sajakah factor yang mempengaruhi kualitas pelayanan public?
6.    Apa solusi untuk menciptakan pelayanan public yang berkualitas?

III.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian dari pelayanan public
2.    Untuk Mengetahui bagaimana kualitas pelayanan publik di Indonesia.
3.    Untuk Mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik di Indonesia.
 BAB II
Pembahasan
Kualitas Pelayanan Publik di Indonesia
I.    Pengertian Pelayanan Publik
Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengertian berdasarkan UU Pelayanan Publik Dalam Undang-Undang Pelayanan Publik terdapat pengertian Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik
II.    Penyelenggara Pelayan Publik
Penyelengara Pelayanan Publik Berdasarkan UU “Penyelenggara pelayanan publik atau Penyelenggara merupakan setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik, Atasan satuan kerja Penyelenggara merupakan pimpinan satuan kerja yang membawahi secara langsung satu atau lebih satuan kerja yang melaksanakan pelayanan publik, Organisasi penyelenggara pelayanan publik atau Organisasi Penyelenggara merupakan satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik, Pelaksana pelayanan publik atau Pelaksana merupakan pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik”
Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.    Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, perusahaan pengangkutan milik swasta.
2.    Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat dibedakan lagi menjadi :
•    Yang bersifat primer,adalah semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara dan pelayanan perizinan.
•    Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.

Ada lima karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan ketiga jenis penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, yaitu:
1.    Adaptabilitas layanan. Ini berarti derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna.
2.    Posisi tawar pengguna/klien. Semakin tinggi posisi tawar pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.
3.    Type pasar. Karakteristik ini menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang ada, dan hubungannya dengan pengguna/klien.
4.    Locus kontrol. Karakteristik ini menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna ataukah penyelenggara pelayanan.
5.    Sifat pelayanan. Hal ini menunjukkan kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih dominan.


III.    Undang-undang Pelayanan Publik
Undang-Undang Pelayanan Publik (secara resmi bernama Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) adalah undang-undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. perlayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan atau koporasi yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik.
Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan public.
•    Asas dan Tujuan Undang-undang Pelayanan Publik
Undang-Undang ini berasaskan pada kepentingan umum, adanya kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan dalam perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan dan bertujuan agar batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, menjalankan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam mendapatkan penyelenggaraan pelayanan publik.
•    Pembina Dan Penanggung Jawab
Pembina dalam penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis, dan pimpinan lembaga lainnya terhadap pimpinan lembaga negara dan pimpinan lembaga komisi negara atau yang sejenis yang dibentuk berdasarkan undang-undang, gubernur pada tingkat provinsi melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada dewan perwakilan rakyat daerah provinsi dan menteri dan bupati pada tingkat kabupaten beserta walikota pada tingkat kota wajib melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik masing-masing kepada dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota dan gubernur dan penanggung jawab  mempunyai tugas untuk mengoordinasikan kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan standar pelayanan pada setiap satuan kerja, melakukan evaluasi penyelenggaraan pelayanan publik dan melaporkan kepada pembina pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh satuan kerja unit pelayanan publik, Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara bertugas merumuskan kebijakan nasional tentang pelayanan publik, memfasilitasi lembaga terkait untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi antarpenyelenggara yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme yang ada, melakukan pemantauan dan evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik dengan mengumumkan kebijakan nasional tentang pelayanan publik atas hasil pemantauan dan evaluasi kinerja, serta hasil koordinasi, membuat peringkat kinerja penyelenggara secara berkala; dan dapat memberikan penghargaan kepada penyelenggara dan penyelenggara dan seluruh bagian organisasi penyelenggara bertanggung jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan.
•    Ruang Lingkup
Dalam perundangan-undangan pelayanan publik ini meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yaitu pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata.
Pelayanan publik ini mengatur pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan dan pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi Negara.
Pelayanan atas jasa publik merupakan penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan dan pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara.
Skala kegiatan pelayanan publik didasarkan pada ukuran besaran biaya tertentu yang digunakan dan jaringan yang dimiliki dalam kegiatan pelayanan publik untuk dikategorikan sebagai penyelenggara pelayanan publik yaitu tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda termasuk tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan serta diterapkan berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan.
Jadi berbicara masalah Kualitas Pelayan Publik merupakan berbicara mutu dari pelayan yang diberikan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, apakah sesuai tidaknya dengan undang-undang pelayan public.


IV.    Kualitas Pelayanan Publik Indonesia
Faktor yang mempengaruhi tidak berjalannya pelayanan publik dengan baik yaitu : pertama, masalah struktural birokrasi yang menyangkut penganggaran untuk pelayanan publik. Kedua yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik adalah adanya kendala kultural di dalam birokrasi. Selain itu ada pula faktor dari perilaku aparat yang tidak mencerminkan perilaku melayani, dan sebaliknya cenderung menunjukkan perilaku ingin dilayani.
Selain itu, dalam Seminar Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi indonesia yang diselenggarakan oleh Bappenas, pada tanggal 18 Desember 2003, di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, ada beberapa permasalah yang ada dalam pelayanan publik yaitu: kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan efisien.
Baik Kuantitas (Akses), maupun Kualitas pelayanan publik di Indonesia masih buruk (belum memadai) baik dilihat dari kebutuhan masyarakat maupun dari standard yang ada (jika sudah ditetapkan). Banyak permasalahan dalam pelayanan public di Indonesia, Antaranya:
1.        Rendahnya Kualitas Pelayanan Publik
Rendahnya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang diarahkan kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan pelayanan publik di era reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, namun dalam perjalanan reformasi yang memasuki tahun ke enam, ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan. Berbagai tanggapan masyarakat justru cenderung menunjukkan bahwa berbagai jenis pelayanan publik mengalami kemunduran yang utamanya ditandai dengan banyaknya penyimpangan dalam layanan publik tersebut. Sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, dan sumber daya manusia yang lamban dalam memberikan pelayanan, mahal, tertutup, dan diskriminatif serta berbudaya bukan melayani melainkan dilayani  juga merupakan aspek layanan publik yang banyak disoroti. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian aparatur pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kondisi ini karena di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum termanifestasikan dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintah.


2.      Tingginya Tingkat Penyalahgunaan Kewenangan dalam Bentuk KKN
Upaya pemberantasan KKN merupakan salah satu tuntutan penting pada awal reformasi. Namun prevalensi KKN semakin meningkat dan menjadi permasalahan di seluruh lini pemerintahan dari pusat hingga daerah. Tuntutan akan peningkatan profesionalisme sumber daya manusia aparatur negara yang berdaya guna, produktif dan bebas KKN serta sistem yang transparan, akuntabel dan partisipatif masih memerlukan solusi tersendiri. Ini berkaitan dengan semakin buruknya citra dan kinerja birokrasi dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. KKN telah menjadi extraordinary state of affairs di Indonesia Laporan terakhir di penghujung tahun 2003 mengukuhkan Indonesia di urutan ke-6 negara terkorup didunia. Berdasarkan hasil survei Transparency International (TI) dari 133 negara, Indonesia berada diurutan ke 122 dari 133 negara terkorup.
3.      Birokrasi yang panjang dan adanya tumpang tindih tugas dan kewenangan.
Ini menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi panjang dan melalui proses yang berbelit-belit, sehingga besar kemungkinan timbul ekonomi biaya tinggi, terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme, perlakuan diskriminatif, dan lain-lain.
4.      Rendahnya pengawasan external dari masyarakat
Rendahnya pengawasan external dari masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, merupakan sebagai akibat dari ketidakjelasan standar dan prosedur pelayanan, serta prosedur peyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik. Karena itu tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial yang memaksa penyelenggara pelayanan publik harus memperbaiki kinerja mereka.
5.      Belum Berjalannya Desentralisasi Kewenangan Secara Efektif
Indonesia saat ini dihadapkan oleh berbagai tantangan yang muncul sebagai akibat dari perkembangan global, regional, nasional dan lokal pada hampir seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sisi manajemen pemerintahan, penerapan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan intrumen utama untuk mencapai suatu negara yang mampu menghadapi tantangan-tatangan tersebut. Di samping itu, penerapan desentralisasi kewenangan dan otonomi daerah juga merupakan prasyarat dalam rangka mewujudkan demokrasi dan pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
6.    Sistem pelayanan publik yang belum diatur secara jelas dan tegas.
Unsur terpenting dari sebuah sistem pelayanan publik yang belum diatur secara lebih jelas dan tegas di dalam sistem pelayanan publik di Indonesia dewasa ini adalah Kode Perilaku Petugas Pelaksana Pelayanan Publik (Code of Conduct for Public Servants). Hal ini menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan sistem pelayanan publik, terutama bila disadari bahwa sebagian besar dari permasalahan dan keluhan mengenai pelayanan publik di Indonesia dapat dikembalikan pada unsur manusia pengemban fungsi pelayanan publiknya (ekses-ekses KKN, conflict of interest, dsb). Kehadiran sebuah Code of Conduct yang selengkapnya mungkin akan lebih mengkokohkan struktur dasar dari Sistem Pelayanan Publik Indonesia.

Hanya kekecewaan yang dirasakan masyarakat, pelayanan publik dimonopoli oleh Sekelompok orang, sarana prasarana tidak memadai, produk yang ditawarkan juga buruk serta pelayanan yang buruk.

R Nugroho Dwijowiyoto menyatakan kondisi sesungguhnya birokrasi Indonesia saat ini, digambarkan sebagai berikut :
1.    Secara generik, ukuran keberhasilan birokrasi sendiri sudah tidak sesuai dengan tuntutan organisasional yang baru. Di Indonesia, birokrasi di departemen atau pemerintahan paling rendah, yang diutamakan adalah masukan dan proses, bukan hasil. Karenanya, yang selalu diperhatikan oleh para pelaku birokrasi adalah jangan sampai ada sisa pada akhir tahun buku.
2.    Birokrasi kita tidak pernah menyadari bahwa ada perubahan besar di dunia. Di mana semua hal harus mengacu kepada pasar, bisnis harus mengacu kepada permintaan pasar, dan kalau mau berhasil dalam kompetisi ia harus mampu melayani pasar. Pasar birokrasi adalah seluruh masyarakat, yang dilayani oleh birokrasi bukannya pejabat pemerintahan atau pimpinan birokrasi itu sendiri, tetapi rakyat.

V.    Pelayanan Publik Yang Diharapkan Serta Solusi Yang Harus Dilakukan
    KINERJA PELAYANAN PUBLIK
Kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan, program, kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi. Dwiyanto menjelaskan bebrapa tolak ukur kinerja birokrasi publik, yaitu sebagai berkut:
•    Produktivitas, yaitu tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga mengukur efektivitas pelayanan.
•    Kualitas Layanan, yaitu kemampuan dalam kinerja organisasi pelayanan publik yang memberikan kepuasan pada masyarakat.
•    Responsivitas, yaitu kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyususun, agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan aspirasi masyarakat.
•    Responsibilitas, yaitu menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan birokrasi publik itu dilakukan sesuai dengan kebijakan birokrasi.
•    Akuntabilitas, yaitu menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan birokrasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat.


    10 Dimensi Pelayanan Publik
Zethmel (dalam Widodo, 2001:275-276) mengemukakan tolok ukur kualitas pelayanan publik dapat dilihat dari sepuluh dimensi, antara lain meliputi :
1.    Tangiable, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil, dan komunikasi;
2.    Reliable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan layanan yang dijanjikan dengan tepat;
3.    Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu layanan yang diberikan;
4.    Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan, dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan;
5.    Courtesey, Sikap atau perilaku ramah tamah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen, serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi;
6.    Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat;
7.    Security, Jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko;
8.    Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan;
9.    Communication, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat;
10.    Understanding The Customer, Melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan;



    Pelayanan Publik Yang Berkualitas
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) dalam keputusannya No: 81/1995 menegaskan bahwa pelayanan yang berkualitas hendaknya sesuai dengan sendi-sendi sebagai berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan tidak berbelit-belit serta mudah difahami dan dilaksanakan.
(2) Kejelasan dan kepastian, menyangkut :
    Prosedur/tata cara pelayanan umum
    Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administrative
    Unit kerja atau pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum
    Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya
    Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum
    Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan/ kelengkapannya, sebagai alat untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum
    Pejabat yang menerima keluhan pelanggan (masyarakat)   
(3) Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum.
(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan difahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
(5) Efisien, meliputi
    Persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberika
    Dicegah adanya pengulangan pemenuihan kelengkapan persyaratan, dalam hal proses pelayanannya mempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
(6) Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan:
    Nilai barang atau jasa pelayanan umum dengan tidak menuntut biaya yang tinggi diluar kewajara
    Kondisi dan kemampuan pelanggan (masyarakat) untuk membayar secara umum
    Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(7) Keadilan yang merata dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.
(8) Ketepapatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Dengan Keputusan Menteri Aparatur Negara mengenai kualitas pelayanan publik, maka dapat dilihat kepedulian Pemerintah dalam hal pelayanan publik ini.
    Beberapa  substansi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik,  meliputi:
1.    Core sklills, pengetahuan dan ketrampilan yang harus dimiliki perangkat birokrasi baik menyangkut profesionalisme individu maupun kolektif untuk mengantisipasi perubahan teknologi dan pasar secara kompetitif.
2.    echnicians, adalah kemampuan birokrat untuk menguasai aspek teknis secara professional di bidang pekerjaan sehingga menunjukkan kinerja yang penuh rasa tanggung jawab (responsibility).
3.    Management: kemampuan birokrat untuk dapat mengelola pekerjaan secara professional baik menyangkut kinerja individual, kinerja tim maupun aspek managerial dan leadership.
4.    Business knowledge, tuntutan terhadap pemahaman pengetahuan bisnis khususnya menyangkut nilai-nilai keuntungan (privit making) yang perlu diadopsi kesektor publik dengan tidak mengabaikan aspek pemertaan dan keadilan.
5.    Skill, ketrampilan khusus yang harus dimiliki oleh setiap aparatur  khususnya menyangkut  bidang pekerjaanya, termasuk penyesuaian terhadap proses perubahan.
6.    Habits, membiasakan bekerja secara profesional dengan tidak mengabaikan aspek etika dan moral sehingga akan tercipta kultur kinerja yang kondusif.
7.    Cohesion, membisakan bekerja secara sistemik atau keterpaduan antara berbagai komponen yang terlihat dalam organisasi untuk mencapai tujuan bersama.
8.    Collective Experience, menjadikan pengalaman individu atau kelompok tentang keberhasilan atau kegagalan dalam bekerja sebagai penglaman bersama.
9.    Knowledge of environment, menyadari terjadinya perubahan setiap saat dalam suatu lingkungan sehingga pengetahuan tentang lingkungan untuk mengantisipasi perubahan sangat diperlukan.
10.    Technology, diperlukan penguasaan teknologi sebagaimana persyaratan penting karena menguasai teknologi dapat diibaratkan menguasai dunia dan perubahan.
Maxwell (2000), juga mengungkapkan beberapa criteria untuk menciptakan pelayanan yang berkualitas, yaitu:
(1) Tepat dan relevan, artinya pelayanan harus mampu memenuhi keinginan, harapan dan kebutuhan individu atau masyarakat;
(2) Tersedia dan terjangkau, artinya pelayanan harus dapat dijangkau atau diakses oleh setiap orang atau kelompok yang membutuhkan pelayanan tersebut;
(3) Dapat menjamin rasa keadilan, artinya terbuka dalam memberikan perlakuan kepada individu atau sekelompok orang dalam keadaan yang sama tanpa membedakan ras, jenis kelamin, asal usul, dan identitas lainnya;
(4) Dapat diterima, artinya layanan memiliki kualitas jika dilihat dari teknik, cara, kualitas, kemudahan, kenyamanan, menyenangkan, dapat diandalkan, tepat waktu, cepat, responsif, dan manusiawi;
(5) Ekonomis dan efisien, artinya dari sudut pandang pengguna jasa layanan dapat dijangkau dari segi tarif yang ditentukan;
(6) Efektif, artinya menguntungkan pengguna jasa layanan dan semua lapisan masyarakat yang dilayani.

Seiring dengan perkembangan Indonesia sudah mulai menata kembali keadaan pelayanan public yang diberikan kepada masyarakat, Dengan belajar dari kekurangan masa lalu untuk menggapai perubahan pelayanan public yang berkualitas dimasa depan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.
1.    Transparansi, yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, muda dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
2.    Akuntabilitas, yaitu pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.    Kondisional, yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
4.    Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
5.    Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat ddari aspek apapun kususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial.

Dibandingkan Pelayanan Masa Lalu/sekarang ini
•    Birokrasi berbelit-belit
•    Monoton, tidak kreatif dan tidak inovatif
•    Lama dan tidak ada kepastian waktu
•    Pungli & biaya tidak jelas




BAB III
Penutup
I.    Kesimpulan
1.    Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.    Faktor yang mempengaruhi tidak berjalannya pelayanan publik dengan baik yaitu
•    Masalah struktural birokrasi yang menyangkut penganggaran untuk pelayanan publik.
•    Yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik adalah adanya kendala kultural di dalam birokrasi. Selain itu ada pula faktor dari perilaku aparat yang tidak mencerminkan perilaku melayani, dan sebaliknya cenderung menunjukkan perilaku ingin dilayani.
3.    kondisi birokrasi Indonesia saat ini, digambarkan sebagai berikut :
•    Secara generik, ukuran keberhasilan birokrasi sendiri sudah tidak sesuai dengan tuntutan organisasional yang baru. Di Indonesia, birokrasi di departemen atau pemerintahan paling rendah, yang diutamakan adalah masukan dan proses, bukan hasil. Karenanya, yang selalu diperhatikan oleh para pelaku birokrasi adalah jangan sampai ada sisa pada akhir tahun buku.
•    Birokrasi kita tidak pernah menyadari bahwa ada perubahan besar di dunia. Di mana semua hal harus mengacu kepada pasar, bisnis harus mengacu kepada permintaan pasar, dan kalau mau berhasil dalam kompetisi ia harus mampu melayani pasar. Pasar birokrasi adalah seluruh masyarakat, yang dilayani oleh birokrasi bukannya pejabat pemerintahan atau pimpinan birokrasi itu sendiri, tetapi rakyat.
4.    Faktor yang harus diperbaiki untuk menigkatkan Pelayanan public:
Core sklills, echnicians, Management, Business knowledge, Skill, Habits, Cohesion, Collective, Experience, Technology, Knowledge of environment.

II.    Saran
    Mengingat pelayanan public di Indonesia masih sangat jauh dari pada yang diharapkan hendaknya perlu diadakan evauluasi terhadap kinerja aparatur birokrasi serta infratruktur dalam pemenuhan kebutuhan masyrkatat di tingkatkan.
    Diharpakan kepada pemimpin untuk melakukan pengrekrutan peagawai birokrasi untuk lebih professional karena, pegawai birokrasilah penyebab kurang berkualitasnya pelayanan yang diberikan.
    Untuk Meningkatkan pelayanan public di Indonesia tidak hanya diharapkan peran internal dari aparatur pemerintah tetapi harus adanya peran masyarakat. Di harapakan masyarakat lebih bekerja sama untuk mengawasi kinerja pegawai birokrasi serta melaporkan setiap adanya kejanggalan yang terjadi.
    Mudahan makalah ini bermanfaat dan menjadi pembelajaran untuk semua khususnya mahasiswa ilmu pemerintahan sabagai generasi penerus dalam pemerintahan Indonesia Kedepannya.













Daftar Pustaka
A.Rahman H.I., 2007 Sistem Politik IndonesiaUndang-undang Pelayanan Publik. Jogjakarta: Graha Ilmu.
 “Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik”
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik
Lovelock, Ch., 1988. Product Plus: How Product Plus Service Competitive
Advantage. New York: McGraw-Hill Book Co.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN)  No: 81/1995


 


Tag : ,

Contoh Makalah KAJIAN KRITIS BIROKRASI PELAYANAN DI INDONESIA

By : Sopriadi Ahmad
MAKALAH KELOMPOK
TENTANG
KAJIAN KRITIS BIROKRASI PELAYANAN DI INDONESIA











OLEH KELOMPOK I :
MAIRA SARI
HABIBULLAH
ADITIA NUGRAHA PUTRA
SUKRI PUTRA
WAHYUNI



PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FALKUTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ABDURRAB PEKANBARU
2013


                       KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr,wb
Puji syukur kita ucapkan kehadiran Allah Swt, dimana atas rahmat dan karunia nya
Penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul ‘KAJIAN KRITIS BIROKRASI PELAYANAN DI INDONESIA’’
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada temen-teman semua yang telah mendukung dan berpatisipasi dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.
Demikianlah makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini kurang sempurna, dan penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan yang tidak sengaja. Penulis juga mengharapkan kritik dan sarannya dari pembaca , agar makalah ini bisa menjadi lebih baik untuk kedepannya. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan penulis. Dapat menambah.  Ilmu pengetahuan seluruh pembaca.

                                          Pekanbaru, 07 Mei 2013

                                                                                                Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN



A.     Latar Belakang
Birokrasi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya dirancang sebagai birokrasi yang rasional dengan pendekatan struktural-hirarkikal (tradisi weberian). Pendekatan Weberian dalam penataan kelembagaan yang berlangsung dalam pendayagunaan aparatur negara hingga dewasa ini, secara klasikal menegaskan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal  yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya, disertai tata kerja yang formalistik dan pengawasan yang ketat (Tjokrowinoto, 1987:79).
Organisasi birokratik adalah salah satu bentuk organisasi yang digunakanoleh pemerintah untuk melaksanakan pelayanan publik. Bermula ketika Max Weber mengenalkan pengamatannya tentang bureaucrationally, yang melihat sosok birokrasi sebagai alat yang bermanfaat bagi pelaksan aan rasionalitas terhadap tugas-tugas administrasi sehingga bisa mencapai efisiensi – sungguhpun Weber tidak pernah mendefinisikan birokrasi yang dimaksud secara jelas – akan tetapi hasil pengamatan Weber tersebut kemudian dikukuhkan Hegel yang memandang birokrasi tersebut dapat dijadikan sebagai alat penghubung antara negara dan masyarakat (Tjokrowinoto, 1987:82). Sehingga sampai dengan dewasa ini birokrasi pemerintah menjadi alat yang
sangat utama dan paling dominan peranannya dalam pelaksanaan tugas-tugas
negara (Effendi, 1987:3). Pada era reformasi, birokrasi dituntut untuk berubah sikap dan perilaku agar dapat melayani masyarakat dengan baik. Perubahan -perubahan sosial yang terjadi baik yang berlangsung cepat (revolusi) maupun yang berlangsung dengan
lambat (evolusi) menuntut pada organisasi birokrasi untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan -perubahan tersebut, sebab perubahan selalu mengandung
unsur perbedaan.
`    Namun, di dalam mengamati kondisi lingkungan masyarakat di mana organisasi birokrasi itu berada, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, sebab kondisi lingkungan masyarakat memiliki ciri-ciri spesifik yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Birokrasi sebagai organisasi jenis seperti ini memiliki keterbatasan dalam memberikan pelayanannya pada masyarakat. Berangkat dari keterbatasan inilah biasanya organisasi pelayanan membentuk pola pelayanan yang bagi sebagian masyarakat dianggap tidak masuk akal, persyaratan prosedur yang berbelit dari mekanisme yang ditentukan birokrasi pemerintah dalam mendapatkan pelayannya, dan sebagainya, serta tambah tidak masuk akal lagi kalau kita berharap bahwa birokrasi akan dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi masyarakat.

B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah: kajian kritis birokrasi di Indonesia.
C.    Tujuan 
Tujuan Makalah ini adalah agar kita memahami dan mengerti hal-hal di bawh ini :
1.     Megetahui birokrasi di bidang kesehatan di Kotamadya Ambon memang telah membuka diri
terhadap peluang partisipasi publik.
2.    Mengetahui Secara khusus, tujuan dari Disertasi ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh partisipasi publik terhadap pelayanan publik di bidang kesehatan  di Kotamadya Ambon, secara riil telah dilaksanakan oleh pelaku pelayanan publik.











BAB II
PEMBAHASAN

A.Gambaran umum birokrasi
Pupusnya harapan masyarakat bahwa birokrasi akan dapat memberikan pelayanan untuk dapat menyelesaikan persoalannya, menyebabkan masyarakat enggan berurusan dengan birokrasi pemerintah terbukti dengan adanya “jalan belakang”, “uang pelicin”, “jalan tol” dan sebagainya yang mereka sebut “birokrasi amplop” -- pada intinya memotong prosedur untuk mendapatkan pelayanan atas prosedur yang panjang dari birokrasi pemerintahan itu.
Buruknya kinerja birokrasi pemerintahan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat ini, menggambarkan bahwa betapa kompleks persoalan organisasi birokratik yang begitu mekanistik dihadapkan pada persoalan masyarakat yang begitu heterogen, kondisi demikian menyebabkan organisasi birokrasi membentuk sejumlah pola yang digunakan untuk memberikan pelayanan pada masyarakatnya :
1.    pelayanan yang sama bagi semua, dalam pola ini terbatas daya serapnya, karena kemampuan pelayanan pemerintah terbatas sehingga tidak bisa digunakan secara sama oleh semua warga negara. Hal ini menyebabkan tipe pelayanan pada pola ini yang pada mulanya untuk semua. Oleh karena keterbatasan yang ada justru merancang pola yang hanya untuk memenuhi kebutuhan sekelompok masyarakat tertentu saja
2.    pola pelayanan yang, sama secara proporsional bagi semua, dalam pola ini menyarankan suatu distribusi pelayanan yang didasarkan atas suatu ciri tertentu yang berhubungan dengan Birokrasi.


kebutuhan. Kondisi ini tampak lebih pragmatis sebab pola pelayanan ini menyediakan dasar yang kongkrit dan lebih obyektif untuk dibagikan pada masyarakat. Di sisi lain pola pelayanan ini memungkinkan dapat disediakannya pelayanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
.3. pola pelayanan yang tidak sama bagi individu -individu bersesuaian dengan perbedaan yang relevan, dalam pola pelayanan ini perbedaan pelayanan berdasarkan pada ciri–ciri yang dimiliki oleh para penerima pelayanan (Frederickson, 1984:70 -72). Menyimak pola pelayanan tersebut di atas, maka akan tampak dua dimensi dalam melihat masalah keadilan distribusi pelayanan organisasi birokrasi pemerintahan pada masyarakatnya.
Pertama, memberikan pelayanan di antara orang-orang yang beraneka ragam itu harus ditentukan lebih dahulu kriteria dalam membagikan pelayanan-pelayanan di antara kelompok masyarakat yang berbeda.
Kedua, pemberian pelayanan itu harus dilakukan dengan memberikan perlakuan
yang sama pada pihak-pihak yang sama. Meskipun demikian, pada realitanya tidak semudah apa yang ditampilkan sebab pola pelayanan tersebut di atas menuntut sejumlah besar informasi dan cara organisasi birokrasi itu menangani informasi tersebut dalam menerapkan distribusi pada pola pelayanannya. Di sisi lain, organisasi birokratik yang begitu mekanistik memiliki keterbatasan kemampuan dalam menyerap informasi dari lingkungan masyarakat yang begitu kompleks. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan seringnya terjadi kesalahan dalam kinerja birokrasi itu.
 Pertama, kurangnya informasi mengenai faktor lingkungan yang bertalian dengan situasi khusus pengambilan keputusan organisasi tersebut.
 Kedua, ketidakmampuan organisasi itu untuk secara tepat menetapkan kemungkinan mengenai faktor-faktor di lingkungan masyarakat tersebut mampu mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah unit penentu dalam melaksanakan fungsinya.
Ketiga, kurangnya informasi mengenai kerugian yang harus dipikul akibat keputusan atau langkah yang keliru (Steers, 1985:104 -105).
Kekaburan data dan informasi seperti ini justru akan lebih memburukkan kinerja organisasi birokrasi pemerintah tersebut dalam memberikan pelayanannya dan tanpa disadari kelompok tersebut bahwa dirinya telah menjebak organisasi Birokrasi. birokrasi itu pada posisi yang sangat dilematis dengan mengaburkan informasi di satu sisi sambil menyalahkan kinerja organisasi birokrasi itu di sisi yang lain. Kondisi ini menunjukkan lingkungan masyarakat di satu sisi menyediakan sumber daya yang sangat diperlukan oleh organisasi birokrasi itu, dan di sisi lain lingkungan masyarakat menawarkan batas dan hambatan bagi aktivitas organisasi birokrasi tersebut (Bryant & White, 1987:65). Kondisi tersebut juga menyebabkan organisasi birokratik mengalami kekaburan peran dan fungsinya dalam melakukan tugasnya sebab di posisikan pada posisi yang sangat sulit. Masalahnya terletak pada bagaimana masyarakat mampu memposisikan organisasi birokrasi tersebut menjadi pelayan yang baik dengan segala keterbatasan yang ada, bukankah setiap bentuk layanan apapun yang kita terima di dalamnya selalu mengisyaratkan batasan, batasan tertentu, di satu sisi sedangkan di sisi lain bagai-mana organisasi birokrasi mampu memuaskan semua pihak, bukankah setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang   terbaik, pada posisi seperti ini akan tampak dua kutub yang berseberangan yaitu tuntutan masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang terbaik dengan keterbatasan kemampuan organisasi birokrasi sebagai penyedia jasa pelayanan tersebut.
B.     Kebijakan Manajemen Pelayanan Publik di Indonesia
Pemerintah mengatur pelayanan publik di Indonesia untuk menjamin terselenggaranya pelayanan masyarakat yang maksimal. Kebijakan tersebut antara lain : Undang-Undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
              Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.90/MENPAN/1989 tentang Delapan Program Strategis Pemicu Pendayagunaan Administrasi Negara. Diantara 8 program strategis tersebut salah satunya adalah tentang penyederhanaan pelayanan publik.
              Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.1 tahun 1993 tentang Pedoman Tata laksana Pelayanan Umum. Yang antara lain mengatur tentang azas pelayanan umum, tata laksana pelayanan umum, biaya pelayanan umum,dan penyelesaian persoalan dan sengketa.
              Intruksi Presiden No. 1 / 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat. Inpres RI kepada MENPAN untuk mengambil langkah-langkah yang terkoordinasi dengan departemen / instansi pemerintah di pusat dan daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat baik yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan pemerintah, pembangunan maupun kemasyarakatan.
              Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Pedoman Penganugrahan Penghargaan Abdisatyabakti bagi unit kerja / Kantor Pelayanan Percontohan.
              Instruksi Mendagri No. 20 / 1999.Gubernur KDH TK I dan Bupati / Walikota madya KDH TK II diseluruh Indonesia diinstruksikan untuk : (a). mengambil langkah-langkah penyederhanaan perijinan beserta pelaksanaannya; (b). memberikan kemudahan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan di bidang usaha; dan (c). menyusun buku petunjuk pelayanan perijinan di daerah.
              Surat Edaran Mendagri No. 100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002, tentang Pelaksanaan kewenangan wajib dan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
              Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan.
              Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25/2004 tentang Transparansi dan Akuntabilitas Pelayanan.
Kotamadya Ambon yang merupakan barometer kemajuan pelayanan publik di Maluku, juga merasa perlu secara intens untuk meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan. Sebab melalui pemenuhan kualitas Birokrasi pemerintahan, diharapkan para aparatur pemerintahan akan memiliki kemampuan pikir yang tinggi dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Oleh karena itu, kualitas Birokrasi pemerintahan memiliki peran yang strategis dalam rangka meningkatkan pelayanan publik di Kotamadya Ambon. Selain itu, Birokrasi pemerintahan yang berkualitas di Kotamadya Ambon adalah penopang bagi pencapaian manajemen pemerintahan yang akuntabel. Sebab kualitas aparatur pemerintahan menjadi kunci bagi terbangunnya kembali kepercayaan masyarakat dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang amanah. Sehingga aparatur pemerintahan sebagai penyelenggara roda pemerintahan,
dituntut untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja, dalam rangka meningkatkan pelayanan publik.
Oleh karena itu, pengembangan kualitas sumber daya aparatur
pemerintahan didasarkan pada tiga aspek sebagai human capital, yang meliputi:
Intelectual capital, Social capital dan Soft capital. Dimana pembangunan bidang
aparatur negara mengandung empat misi utama yakni :
1.    mewujudkan
penyelenggara negara yang profesional,
2.    mengembangkan etika birokrasi dan
budaya kerja yang transparan,
3.    akuntabel, peka dan tanggap terhadap aspirasi
masyarakat dan
4.    mewujudkan sistem manajemen pelayanan publik yang cepat,
tepat dan memuaskan (Masdar, 2005). Kemudian untuk mengahasilkan aparatur pemerintahan yang berkualitas, maka dalam pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menyebutkan bahwa: “untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya diadakan pengaturan dan penyelenggaraan pendidikan dan latihan Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan dan ketrampilan”. Hal ini menunjukan bahwa, pemerintah telah berupaya mengambil kebijaksanaan dalam mengantisipasi mutu kualitas aparatur yang ada dalam suatu instansi agar lebih profesional dan lebih mandiri. Kemudian dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa: Daerah berwenang mengelolah sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-.undangan.
Menindaklanjuti aturan main tersebut, pemerintah Kotamadya Ambon perlu berupaya secara terus menerus meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan melalui diklat. Melalui upaya ini merupakan mekanisme untuk memacu kinerja aparatur pemerintahan sekaligus akan dapat meningkatkan pengetahuan, disiplin dan kemampuan aparatur pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka dalam rangka meningkatkan pelayanan publik di Kotamadya yang bertajuk manise tersebut.
Dalam perspektif Governability, jika terdapat sosok aparatur pemerintahan mampu meningkatkan kinerja mereka, yang akhirnya berdampak terhadap kepuasan publik maka Kotamadya Ambon akan masuk dalam lanskap Serve State, yakni fungsi negara adalah memaksimalkan peran untuk melayani rakyat dengan kebutuhan barang-barang politik (political goods), sekaligus memberikan kepuasan kepada rakyat melalui pelayanan publik, yang mampu direalisasikan oleh aparat pemerintahah.
Kemudian dalam Serve State negara berperan melayani rakyat dengan kebutuhan barang-barang politik (political goods), sekaligus memberikan kepuasan kepada rakyat melalui pelayanan publik, yang dilakukan oleh aparat birokrat, dimana ciri-cirinya mencakup:
1.    mampu melayani rakyat dengan baik,
2.    kesejahteraan rakyat diperhatikan,
3.    pelayanan birokrasi yang memadai dan
4.    penciptaan pemerintah yang berwibawa.
Terlepas dari itu, terdapat banyak jenis pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, khususnya yang diletakan dalam konteks kebijakan publik yang dapat berbentuk distributif, redistributif, dan regulatif. Namun, secara generik, pelayanan yang diberikan kepada pemerintah dibagi menjadi tiga, mencakup:
1.    pelayanan primer, yaitu pelayanan yang paling mendasar,
2.    pelayanan sekunder,yaitu pelayanan pendukung namun bersifat kelompok spesifik dan pelayanan
3    tersier, yaitu pelayanan yang berhubungan secara tidak langsung kepada publik.
(Djijowiyoto,2003) Menurut Djijowiyoto (2003), pelayanan primer atau pelayanan paling
mendasar pada hakikatnya ada pada pelayanan minimum. Secara sederhana,
terdapat empat pelayanan minimum yang dilakukan pemerintah, yaitu:
1.    pelayanan kewarganegaraan,
2.    pelayanan kesehatan,
3.    pelayanan pendidikan
4.    pelayanan ekonomi.
5.     Pemberian pelayanan minimum atau dasar adalah
tugas pokok yang diemban oleh pemerintah, dan menjadi tolak ukur kinerja pemerintah. Sehingga keberhasilan pelayanan minimum atau dasar ini membutuhkan adanya aparatur yang mampu mengimplementasikannya dalam kinerja pada instansi tempat mereka bekerja.
Bahkan pelayanan minimum sebagai bagian dari hak azasi manusia merupakan kewajiban negara yang tak dapat ditawar-tawar lagi, dimana sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Dalam level lokal pemerintah Kotamadya Ambon, senantiasa berupaya menyediaan aparatur pemerintahan yang berkualitas dalam upaya merealisasikan pelayanan minimum itu. Dalam obeservasi penulis upaya pemenuhan pelayanan dasar yang dilakukan pemerintah Kotamadya Ambon mencakup (Papilaja, 2008) :
1.    pelayanan kewarganegaraan yang terkait dengan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi warga Kotamadya Ambon mulai ditingkatkan sejak tahun 2005, dimana pembuatan KTP telah dialihkan dari Kantor Kelurahan ke Kantor Kecamatan. Mereka yang mengajukan pembuatan KTP adalah warga Kotamadya Ambon dengan terlebih dahulu menunjukan pelunasan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) kepada aparatur pemerintahan di tingkat kecamatan. Begitu pun dalam pengurusan surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), yang diajukan warga Kotamadya Ambon di Dinas Tata Kota, dikenai syarat bahwa, keberadaan tanah yang hendak dilakukan aktivitas pembangunan rumah/gedung adalah sah kepemilikannya dan pendirian bangunan gedung/rumah harus sesuai dengan pengembangan tata ruang Kotamadya Ambon.
2.    pelayanan kesehatan merupakan hal yang paling urgen. Di Kotamadya Ambon pelayanan kesehatan, pasca konflik kemanusiaan senantiasa mendapat perhatian sirius dari pemerintah Kotamadya Ambon melalui Dinas Kesehatan. Bahkan bagi warga Kotamadya Ambon yang masih mendiami barakbarak pengungsian senantiasa diberikan pelayanan kesehatan yang maksimal kepada mereka. Upaya Dinas Kesehatan Kotamadya Ambon tersebut tidak sia-sia. Sebab sampai saat ini tidak ada wabah penyakit seperti gizi buruk, malaria,demam berdarah dan berbagai jenis penyakit lainnya menyerang warga
Kotamadya Ambon sampai pada level Kejadian Luar Biasa (KLB).
Perhatian pemerintah Kotamadya Ambon dalam peningkatan pelayanan
kesehatan tersebut, tidak terlepas dari dengan dukungan penuh fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, puskesmas dan tenaga medis yang memadai, sehingga pemerintah Kotamadya Ambon secara dini dapat mengatisipasi berbagai ancaman wabah penyakit yang setiap saat dapat mengancam kesehatan warga Kotamadya Ambon.
3.    pelayanan pendidikan di Kotamadya Ambon tetap ditingkatkan.
Meskipun saat konflik puluhan fasilitas pendidikan di Kotamadya Ambon hangus
terbakar oleh amuk konflik komunal, namun sejak tahun 2001, pemerintah
Kotamadya Ambon bersama dinas terkait mulai perlahan-lahan merekonstruksi
sejumlah fasilitas pendidikan itu. Bahkan pemerintah Kotamadya Ambon di bawa
kepemimpinan Walikota M.J Papilaja mulai melakukan pembebasan biaya SPP
kepada siswa-siswa dilingkup Sekolah Dasar (SD), dimana pada waktu yang akan datang akan dilakukan juga pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Untuk tenaga pendidik, sekolah-sekolah di Kotamadya Ambon sudah bisa terpenuhi, pasalnya pemerintah Kotamadya Ambon merekrut puluhan guru kontrak untuk sementara diperbantukan pada sekola-sekolah yang ada pada wilayah administratif Kotamadya Ambon, sambil kedepan meningkatkan status mereka menjadi PNS. Upaya yang dilakukan pemerintah Kotamadya Ambon ini dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM), yang kualitasnya menurun sejak konflik di tahun 1999 lalu.
4    pelayanan ekonomi dari waktu ke waktu senantiasa
ditingkatkan pemerintah Kotamadya Ambon. Hal ini bisa dilihat dengan upaya pemerintah Kotamadya Ambon mempromosikan peluang berinvestasi di Kotamadya Ambon. Sehingga akan menarik investor domestik maupun mancanegara. Kemudian para pengusaha keturunan Cina, Bugis, Makasar, Buton dan Sumatera yang hengkang akibat konflik kemanusiaan pada berbagai daerah di tanah air, saat ini sudah kembali ke Kotamadya Ambon untuk menjalankan usahanya seperti sebelum terjadinya konflik, sehingga perekonomian Kotamadya Ambon semakin bergeliat.
Begitu juga kebutuhan sembilan bahan pokok mudah dijangkau oleh warga Kotamadya Ambon, tidak seperti saat konflik dimana harga sembilan bahan pokok melambung tinggi karena mengalami kelangkaan di pasaran lokal. Semua
ini terjadi, berkat upaya pemerintah Kotamadya Ambon bersama dinas terkait

secara intens melakukan operasi pasar guna mengontrol harga Sembilan bahan pokok. Sehingga para pedagang tidak menainkan harga sembilan bahanpokok demi  keuntungan mereka dan merugikan warga Kotamadya Ambon. Seiring dengan meredahnya konflik komunal, pemerintah Kotamadya Ambon bersama sejumlah instansi terkait mulai bahu-membahu untuk meningkatkan pelayanan dasar tersebut. Hal dilakukan sebagai bagian dari upaya rekonstruksi, recovery dan rehabilitasi Kotamadya Ambon pasca konflik kemanusiaan. Dalam perspektif governability, hal ini menunjukan bahwa terdapat upaya serius yang dilakukan negara untuk mengelola dan menyediakan barangbarang politik (political goods) di Kotamadya Ambon, yang mencakup; pelayanan kewarganegaraan, kesehatan pendidikan dan ekonomi.
Mencermati sejumlah prestasi dan hasil yang dicapai selama Tahun 2006 dan perkembangan Kotamadya yang terus meningkat sampai denagn pertengahan thaun 2007 akan memberi dorongan untuk mewujudkan skenario pembangunan seperti tertuang dalam RPJM Kotamadya AMBON 2008-2011. Walikota Ambon, MJ. Papilaja menjelaskan dalam kaitan dengan hal ini maka Kebijakan pembangunan Kotamadya Abon tahun 2008 akan diletakkan pada empat bidang startegis yaitu sosial budaya, ekonomi, pemerintahan, Hukum dan HAM serta sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Menurut Papilaja pembanguan sosial diarahkan untuk memepertahankan dan memelihara serat meningkatkan stabilitas sosial dan keamanan yang didasarkan pada kesadran masyarakat bagi kelangsungan pembangunan dengan isu-isu aktual seperti pendataan dan pengendalian penduduk, pengendalian pemukiman dan penyehatan lingkungan serta peningkatan mutu pelayanan pendidikan. Sementara itu terkait dengan pembangunan dibidang ekonomi menurut Papilaja (2008) diarahkan untuk lebih meningkatkan dan memantapkan stabilitas ekonomi yang telah terbina dan tercipta dengan isu aktual antara lain penyebaran infrastruktur ekonomi secara merata guna memacu pertumbuhan ekonomi. Untuk bidang hukum dan HAM diarahkan untuk mentransformasikan pemahaman dan kesadran multikultur dalam kehidupan politik, pengembangan pemahaman hak dan kewajiban serta optimalisasi pelayanan publik dengan isu aktual antara lain,
1.    pemantapan kapasitas lembaga Pemerintah Kotamadya, serta pemantapan sistem pelayanan publik.
2.    Problem utama proses kebijakan publik di Kotamadya Ambon, seperti juga secara umum di Indonesia, adalah rendahnya proporsi partisipasi publik didalamnya. Ditengarai, ada dua sebab utama mengapa proporsi keterlibatan masyarakat rendah: pertama, bahwa elit penentu kebijakan masih belum ikhlas
memberikan kesempatan kepada publik untuk turut berperan dalam proses-proses kebijakan. Memang, masih terasa adanya kekhawatiran di kalangan elit kekuasaan bahwa dengan memberikan kesempatan kepada publik secara luas untuk ikut menentukan kebijakan, maka menjadi kian sulit bagi elit kekuasaan untuk menyelewengkan kebijakan publik. Dengan kata lain, belum ada niatan baik dari elit kekuasaan untuk bersikap transparan dalam mengelola wewenang kekuasaan yang diamanahkan kepada mereka.

Birokrasi dalam akhir-akhir ini memang semakin sering mendapatkan  sorotan oleh berbagai pihak. Hal ini mungkin disebabkan semakin transparannya media membeberkan fenomena yang sebelumnya hampir tidak tersentuh oleh mata telinga publik. Semakin maraknya sorotan media dalam mengungkapkan fenomena yang terjadi di negeri ini yang memberikan kesadaran warga negara untuk menyikapi apa yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dengan kata lain, peran media semakin dapat dirasakan manfaat dalam mendewasakan masyarakat untuk turut serta mengkritisi apa-apa yang telah dikerjakan oleh birokrasi pemerintah. Maraknya tuntutan transparansi dalam tindak tanduk penyelenggaraan negara, semakin menguatkan masyarakat tentang image profesionalisme yang selama ini dimiliki oleh kelompok birokrat. Tidak sedikit warga masyarakat yang masih meragukan tentang kinerja yang ditunjukkan oleh para birokrat kita yang ada hanya saling berebut keuntungan, bukan menumbuhkan kinerja yang efektif dan efisien dalam menghadapi perubahan Zaman yang semakin menggelobal. Sisi lain, tatanan praktis terhadap tuntutan layanan lebih baik beriringan dengan semakin membaiknya pengertian masyarakat terhadap hak-haknya sebagai warga negara yang mempunyai akses langsung kepada pemerintah.

membawa dampak terhadap perubahan iklim kerja di pemerintah, khususnya sebagai abdi negara dan pelayanan masyarakat. Terlebih apabila hal tersebut dikaitkan dengan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan sebuah organisasi yang berorientasi pada publik service, yang keberhasilannya di dalam menjalankan fungsi layanan kepada publik, sesuai dengan kebutuhan yang dikehendaki.
Berkenaan dengan hal tersebut, layanan publik yang profesional perlu diwujudkan. Hal ini penting mengingat dalam sistem pemberian layanan kepada masyarakat akhir-akhir ini menunjukkan banyak permasalahan. Untuk mengantisipasi kemungkinan hal tersebut terjadi, jauh sebelumnya pemerintah telah berupaya untuk memberikan layanan masyarakat yang lebih baik melalui Keputusan Menpan No. 81./1993, yaitu :
1.  Sederhana, mudah, lancar dan tidak berbelit-belit,
2. Jelas dan pasti dalam tatacara, persyaratan,
3. Aman, proses dan hasil layanan umum dapat memberi keamanan, kenyaman,     persyaratan
4.Aman, proses dan hasil layanan umum dapat memberi keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum,
5.Terbuka dalam segala hal,
6.Ekonomis,
     7.Efisiensi,
8.Adil dan merata, serta
9.Tepat waktu
Namun demikian ternyata masyarakat juga belum mampu memanfaatkankesempatan partisipasi yang sesungguhnya telah terbuka lebar. Selain kuantitas partisipasi, kualitas keterlibatan masyarakat juga masih memprihatinkan. Makanya, bentuk-bentuk penjaringan aspirasi masyarakat ternyata tak lebih hanya berfungsi sebagai seremoni belaka. Kebijakan yang dihasilkan, secara procedural barangkali dapat dikatakan partisipatif, tetapi tidak dalam hal substansial, sehingga, produk kebijakan pun sepertinya masih jauh dari dambaan akan rasa keadilan.
Membenahi pelayanan publik memang tidak mudah karena begitu kompleks permasalahannya termasuk banyaknya tumpang tindih peraturan  yang menyertainya, sedangkan masyarakat sudah tidak sabar menanti adanya perbaikan pelayanan publik.
Institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun nonpemerintah.
Dalam konteks Disertasi ini maka Institusi pelayanan publik dibatasi sebagai pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik. Namun demikian, siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain (Stretton, and Orchard, 1994) :
1. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
2. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).
3. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedurkerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni :
pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas,
efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
4. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan
5. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif. Realisasi pelayanan publik oleh Birokrasi, seperti diuraikan di atas, tentunya sangan besar perannya dalam merealisasikan pembangunan di segala bidang kehidupan masyarakat, seperti juga salah satunya adalah di bidang kesehatan yang merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 28 ayat 1 dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), indikator status kesehatan
merupakan salah satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan per kapita. Dengan demikian pembangunan kesehatan merupakan suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam mendukung percepatan pembangunan nasional. Pembangunan bidang kesehatan juga menjadi perhatian penting dalam komitmen internasional, yang dituangkan dalam Millennium Development Goals (MDGs). Dalam MDGs terdapat target target yang terkait langsung dengan bidang kesehatan yaitu target 4 (menurunkan angka kematian anak), target 5 (meningkatkan kesehatan ibu) dan target 6 (memerangi HIV dan AIDS, malaria serta penyakit lainnya), serta 2 target lainya yg tidak terkait langsung yaitu target1 (memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem) dan target 3 (mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan). Departemen Kesehatan telah menyusun strategi untuk pencapaian target-target tersebut. Upaya penjabaran dari pelaksanaan MDGs juga dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Arah Kebijakan pembangunan kesehatan dalam RPJMN antara lain diarahkan pada peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas Puskesmas serta pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar. Salah satu strategi untuk mewujudkan visi Departemen Kesehatan (Depkes) adalah meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas seperti yang tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) Depkes Tahun 2005-2009 serta membuka akses partisipasi publik dalam menjamin peningkatan pelayanan publik yang diberikan pada
pengguna pelayanan publik.
C.        partisipasi masyarakat  penyelenggaraan pelayanan publik
Kegiatan partisipasi masyarakat masih lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah atau negara. Partisipasi tersebut idealnya berarti masyarakat ikut menentukan kebijakan pemerintah yaitu sebagai bagian dari kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakannya. Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Perwujudan partisipasi masyarakat dapat dilakukan, baik secara individu atau kelompok, bersifat spontan atau terorganisasi, secara berkelanjutan atau sesaat, serta dengan cara-cara tertentu yang dapat dilakukan.
Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat
serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor
pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2) adanya kemampuan, dan (3)adanya kesempatan untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Kemauan dan kemampuan berpartisipasi berasal dari yang bersangkutan (warga atau kelompok masyarakat), sedangkan kesempatan berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi kesempatan. Apabila ada kemauan tapi tidak ada kemampuan dari warga atau kelompok dalam suatu masyarakat, sungguhpun telah diberi kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka partisipasi tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada kemauan dan kemampuan tetapi tidak ada ruang atau kesempatan yang diberikan oleh negara atau penyelenggara
pemerintahan untuk warga atau kelompok dari suatu masyarakat, maka tidakmungkin juga partisipasi masyarakat itu terjadi. Dalam konteks ini masyarakat sebagai penerima pelayanan publik haruslah menjadi masyarakat aktif (active society) jika mengharapkan sebuah birokrasi yang terjadi di era reformasi ini memang berpengaruh bagi partisipasi publik dalam pelayanan publik.
BAB III
PENUTUP


A.SIMPULAN

Penulisan makalah ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana Kajian kritis birokrasi di Indonesia di peroleh kesimpulan sebagai berikut:
1.    Pengetahuan pemerintah Dalam menyelenggarakan pelayanan publik pemerintah bertanggung jawab memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.
2.     Pegetahuan Kegiatan partisipasi masyarakat masih lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah atau negara. Partisipasi tersebut idealnya berarti masyarakat ikut menentukan kebijakan pemerintah yaitu sebagai bagian dari kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakannya.


B.SARAN

1.    Bagi institusi pendidikan
Mengingat minimnya buku diperpustakaan khususnya Kajian kritis birokrasi di Indonesia bagi instansi pendidikan hendaknya lebih memperbanyak buku-buku perpusta
kaan tentang Kajian kritis birokrasi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Dwiyanto, Manajemen Pelayanan Publik; Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010.
Dwiyanto Indiahono, Perbandingan Administrasi Publik; Model, Konsep, dan Aplikasi, Gava Media, Yogyakarta, 2009.
Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik; Teori, Kebijakan, dan Implementasi, PT. Bumi Aksara, Jakarta,  2010
Mahmudi, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Unit Penerbit dan percetakan STIM YKPN, Yogyakarta, 2007.
Nina Rahmayanty, Manajemen Pelayanan Prima, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010.
Wahyudi Kumorotomo, Akuntabilitas Birokrasi Publik; Sketsa pada Masa Transisi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
http://silahudin66.blogspot.com/2010/05/konsep-manajemen-pelayanan-publik.html
http://dedylondong.blogspot.com/2011/11/kualitas-pelayanan.html
http://www.majalahpendidikan.com/2011/11/pengertian-pelayanan.html










CONTOH MAKALAH REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA

By : Sopriadi Ahmad
MAKALAH POLITIK DAN BIROKRASI DI INDONESIA

“REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA”

 












Disusun Oleh : Kelompok II
EDISON HIDAYAT PUTRA
JULIANDA
RITA
TRINITA Br.SIMBOLON
ZULFITRA

PROgram studi ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2013


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sembahkan kepada ALLAH SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “Reformasi Birokrasi di Indonesia”. dan tidak lupa pula solawat beriring salam penulis  hadiahkan  kepada junjungan alam yakni    nabi Muhammad  SAW sebagai pembawa syari’at Islam, keluarga dan sahabat, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan di sebabkan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis.Oleh sebab itu, penulis  mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan. Penulis mengharapkan  keritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan penulis makalah berikutnya.


                            Pekanbaru, 5 Mei 2013


      Penulis



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR         i
DAFTAR ISI         ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Masalah         1
1.2    Rumusan Masalah         2
1.3    Tujuan Penulisan         2
BAB II PEMBAHASAN
2.1    Reformasi Birokrasi         3
2.2    Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal Dan
Strategi reformasi Birokrasi        8
2.3    Reformasi Birokrasi Di Indonesia         10
2.4    Birokrasi Indonesia Sebelum Reformasi         14
2.5    Pelaksanaan Reformasi Birokrasi guna
mengatasi Patologi Birokrasi        15

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan         17
3.2 Saran         18

DAFTAR PUSTAKA         19


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang masalah
Belakangan ini, dalam segala aspek yang berhubungan dengan pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi isu yang sangat kuat untuk direalisasikan. Terlebih lagi,birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensi yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Akan tetapi, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini. Sebagian masyarakat memberikan cap negatif terhadap komitmen pemerintah pascareformasi terhadap reformasi birokrasi. Ironisnya, sebagian masyarakat Indonesia saat ini, justru merindukan pemerintahan Orde Baru yang dinggap dapat memberikan kemapanan kepada masyarakat, walaupun hanya kemapanan yang bersifat semu.
 Agar Indonesia tidak semakin jatuh maka birokrasi Indonesia perlu melakukan reformasi secara menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik dan empirik yang luas, mencakup didalamnya penguatan masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam buruknya birokrasi saat ini.

1.2    Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah, diantaranya:
1.  Apakah yang dimaksud dengan  reformasi birokrasi?
2.  Bagaimana reformasi birokrasi di Indonesia?
3.  Bagaimana birokrasi Indonesia sebelum adanya reformasi birokrasi?
4. Bagaimana mekanisme pelaksanaan reformasi birokrasi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah guna mengatasi patologi birokrasi?

1.3    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mngkaji kembali bagaimana sebenarnya pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana proses dari reformasi birokrasi itu sendiri di Indonesia guna mengatasi patologi birokrasi di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Reformasi Birokrasi
2.1.1 Definisi Reformasi Birokrasi
Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya telah ada dalam bentuknya yang sederhana sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Namun demikian kecenderungan mengenai konsep dan praktek birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti sejak seratus tahun terakhir ini. Dalam Masyarakat yang modern, birokrasi telah menjadi suatu organisasi atau institusi yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran negara pada umumnya sangat kecil, namun pada masa kini negara-negara modern memiliki luas wilayah, ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang cukup besar dengan berjuta-juta penduduk.
Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat (Susanto: 185-186).
Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden dalam suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak utama. Reformasi birokrasi di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Indikasinya adalah buruknya pelayanan publik dan masih maraknya perkara korupsi.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu cara untuk membangun kepercayaan rakyat. Reformasi birokrasi adalah suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Ruang lingkup reformasi birokrasi tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan wewenang dan kekuasaan.
Reformasi birokrasi adalah sebuah harapan masyarakat pada pemerentah agar mampu memerangi KKN dan membentuk pemerintahan yang bersih serta keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan public yang efisien,responsip dan akuntabel. Maka dari itu masyarakat perlu mengetahui reformasi birokrasi yang dilakukan saat ini agar kehidupan bernegara berjalan dengan baik,msyarakat juga berposisi sebagai penilai dan pihak yang dilayani pemerintah.
Pada dasarnya Reformasi Birokrasi adalah suatu perubahan  signifikan elemen-elemen birokrasi seperti kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, aparatur, pengawasan dan pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk memposisikan diri (birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan yang dinamis. Perubahan  tersebut dilakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi birokrasi secara tepat, cepat  dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sesuai diamanatkan konstitusi. Perubahan kearah yang lebih baik, merupakan cerminan dari seluruh kebutuhan yang  bertitik tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan. Realitas ini, sesungguhnya menunjukan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara apa yang sebenarnya diharapkan, dengan keadaan yang sesungguhnya tentang  peran birokrasi dewasa ini.
2.1.2 Tujuan Reformasi Birokrasi
1. Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien.
2. Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara.
3. Pemerintah yang bersih (clean government).
4. Bebas KKN.
5. Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
2.1.3 Pokok-pokok Reformasi Birokrasi Pemerintahan
Reformasi Birokrasi harus dimulai dari penataan kelembagaan dan sumberdaya manusia aparatur. Langkah selanjutnya adalah membuat mekanisme, pengaturan, sistem, dan prosedur yang sederhana tidak berbelit-belit, menegakkan akuntabilitas aparatur, meningkatkan dan menciptakan pengawasan yang komprehensif, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik menuju pelayanan publik yang berkualitas dan prima. Reformasi birokrasi perlu diprioritaskan pada unit-unit kerja pelayanan publik seperti imigrasi, bea-cukai, pajak, pertanahan, kepolisian, kejaksaan, pemerintahan daerah dan pada institusi atau instansi pemerintah yang rawan KKN, seperti pemerintah pusat/daerah, kepolisian, kejaksaan, legislatif, yudikatif, dan departemen dengan anggaran besar seperti departemen pendidikan, departemen agama, dan departemen pekerjaan umum.
Pokok-pokok Pikiran Tentang Reformasi Birokrasi Aparatur Negara dapat digambarkan sebagai berikut :
1.    Penataan Kelembagaan atau Orgnisasi.
Untuk menata lembaga atau sebuah organisasi ada beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya : perampingan struktur organisasi yang banyak atau kaya fungsi, menciptakan organisasi yang efektif dan efesien, rasional, dan  proporsional, organisasi disusun berdasarkan visi, misi, dan strategi  yang jelas, mengedepankan kompetensi dan profesionalitas dalam pelaksanaan tugas, menerapkan strategi organisasi pembelajaran (learning organization) yang cepat beradaptasi dengan terhadap perubahan.

2.    Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur.
SDM yang ingin dibangun adalah PNS yang profesional, netral, dan sejahtera, manajemen kepegawaian modern, PNS yang profesional, netral, sejahtera, berdayaguna, berhasilguna, produktif, transparan, bersih dan bebas KKN untuk melayani dan memberdayakan masyarakat, jumlah dan komposisi pegawai yang ideal (sesuai dengan tugas, fungsi dan beban kerja yang ada di masing-masing instansi  pemerintah), penerapan sistem merit dalam manajemen PNS, klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem diklat yang mantap, standar kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir terbuka, PNS sebagai perekat dan pemersatu bangsa, membangun sistem manajemen kepegawaian unified berbasis kinerja, dan dukungan pengembangan database kepegawaian, sistem informasi manajemen kepegawaian, sistem remunerasi yang layak dan adil, menuju manajemen modern.
3.    Tata Laksana atau Manajemen.
Ketatalaksanaan aparatur pemerintah disederhanakan, ditandai oleh mekanisme, sistem,  prosedur, dan tata kerja yang tertib, efisien, dan efektif, melalui pengaturan ketatalaksanaan yang sederhana: standar operasi, sistem, prosedur, mekanisme, tatakerja, hubungan kerja dan prosedur pada proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengendalian, proses korporatisasi dan privatisasi, pengelolaan sarana dan prasarana kerja, penerapan perkantoran elektronis dan pemanfaatan teknologi informasi (e-government), dan apresiasi kearsipan. Juga penataan birokrasi yang efisien, efektif, transparan, akuntabel, hemat, disiplin, dan penerapan pola hidup sederhana. Efisiensi kinerja aparatur dan peningkatan budaya kerja, terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif dan efisien (dalam administrasi pemerintahan maupun pelayanan kepada masyarakat), sistem kearsipan yang andal (tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, efektif dan efisien), otomatisasi administrasi perkantoran, dan sistem manajemen yang efisien dan efektif. Unit organisasi pemerintah yang mempunyai potensi penerimaan keuangan negara, statusnya didorong menjadi unit korporatisasi dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU), BHMN, BUMD, Perum, Persero, UPT, UPTD, atau bentuk lainnya.

4.    Akuntabilitas Kinerja Aparatur
Pemahaman tentang akuntabilitas terus ditingkatkan dan diupayakan agar diciptakan Kinerja Instansi pemerintah yang berkualitas tinggi, akuntabel dan bebas KKN, ditandai oleh Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang efektif, sistem dan lingkungan kerja yang kondusif: berdasarkan peraturan dan tertib administrasi, terlaksananya sistem akuntabilitas instansi yang berguna sebagai sarana penilaian kinerja instansi dan individu oleh stakeholders (atasan, masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan) didukung sistem informasi dan pengolahan data elektronik yang terpadu secara nasional dan diterapkan di semua departemen/lembaga di bidang perencanaan dan penganggaran, organisasi dan ketalaksanaan, kepegawaian, sistem akuntansi keuangan negara yang dikaitkan dengan indikator kinerja dan pelayanan masyarakat, dan aparatur negara yang bebas KKN (kondisi yang terkendali dari praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan serta pelanggaran disiplin, tingginya kinerja sumber daya aparatur dan kinerja pelayanan publik).
5.    Pengawasan.
Pengawasan ini dilakukan dengan harapan terbangunnya sistem pengawaan nasional dengan elemen-elemen pengawasan fungsional, pengawasan internal, pengawasan eksternal, dan pengawasan masyarakat,ditandai oleh sistem pengendalian dan pengawasan yang tertib, sisdalmen/waskat, wasnal, dan wasmas, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi aparat pengawasan, terbentuknya sistem informasi pengawasan yang mendukung pelaksanaan tindak lanjut, serta jumlah dan kualitas auditor profesional yang memadai, intensitas tindak lanjut pengawasan dan penegakan hukum secara adil dan konsisten.
6.    Pelayanan Publik.
Pelayanan publik sebagai barometer transparansi dan akuntabilitas, diharapkan dapat didorong upaya mewujudkan pelayanan publik yang prima dalam arti pelayanan yang cepat, tepat, adil, dan akuntabel ditandai oleh pelayanan tidak berbelit-belit, informatif, akomodatif, konsisten, cepat, tepat, efisien, transparan dan akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib, kepastian (persyaratan biaya waktu pelayanan dan aturan hukum), dan tidak dijumpai pungutan tidak resmi. Kondisi kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, dan pengawasan, mampu mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan mendorong munculnya praktek-praktek pelayanan yang lebih menghargai para pengguna jasa; perubahan paradigma aparatur yang terarah dalam upaya revitalisasi manajemen pembangunan ke arah penyelenggaraan good governance: menjadi entrepreneurial competitive government (pemerintahan yang kompetitif), customer driven dan accountable government (pemerintahan tanggap/responsive), serta global-cosmopolit orientation government (pemerintahan yang berorientasi global.
7.    Budaya Kerja Produktif, Efisien dan Efektif.
Pelaksanaan Budaya Kerja Produktif, Efisien dan Efektif iniadalah untuk  membangun kultur birokrasi pemerintah yang produktif, efisien, dan efektif terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi, melalui Pengembangan Budaya Kerja yang mengubah mindset, pola pikir, sikap dan perilaku serta motivasi kerja; menemukenali kembali karakter dan jati diri, membangun birokrat berjiwa entrepreneur, dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi (terbentuk pola pikir, sikap, tindak dan perilaku, serta budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan masyarakat).

8.    Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi
Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi ini Perlu ditingkatkan koordinasi program dan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, pengawasan dan pengendalian program pendayagunaan aparatur negara.
9.    Best Practices.
Best practices yaitu Mengamati contoh keberhasilan beberapa Pemerintah Daerah dalam melaksanakan reformasi birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik, antara lain Provinsi (DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Riau, Bali, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur), Kabupaten (Solok, Tanah Datar, Sidoarjo, Takalar, Sragen, Karanganyar, Sleman, Bantul, Kebumen, Jembrana, Gianyar, dan Tabanan), dan Kota (Balikpapan, Tarakan, Malang, Sawahlunto, dan Pekanbaru).

2.2    Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal dan Strategi Reformasi Birokrasi
a.    Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal
Agar reformasi birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkah-langkah manajemen perubahan. Manajemen perubahan adalah proses mendiagnosis, menginisialisasi, mengimplementasi, dan mengintegrasi perubahan individu, kelompok, atau organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dan mengantisipasi perubahan lingkungannya agar tetap tumbuh, berkembang, dan menghasilkan keuntungan. Ada tujuh langkah manajemen perubahan yang dikutip dari Harvard Business Essentials tahun 2005, yaitu sebagai berikut:
1.    Memobilisasi energi dan komitmen para anggota organisasi melalui penentuan cita-cita, tantangan, dan solusinya oleh semua anggota organisasi. Pada tahap ini, setiap lini dalam instansi pemerintah harus tahu apa yang dicita-citakan instansi, apa yang mereka hadapi, dan cara menghadapi atau menyelesaikan masalah itu secara bersama-sama. Agar mereka tergerak untuk menjalankan solusi bersama, mereka perlu dilibatkan dalam diskusi dan pengambilan keputusan.
2.    Mengembangkan visi bersama, bagaimana mengatur dan mengorganisasi diri maupun organisasi agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan.
3.    Menentukan kepemimpinan. Di dalam instansi pemerintahan, kepemimpinan biasanya dipegang para pejabat eselon. Padahal, kepemimpinan harus ada pada semua level agar dapat mengontrol perubahan. Pemimpin tertinggi harus memastikan orang-orang yang kompeten dan jujurlah yang berperan sebagai pemimpin pada level-level di bawahnya.
4.    Fokus pada hasil kerja. Langkah itu dilakukan dengan membuat mekanisme asessment yang dapat mengukur hasil kerja tiap pegawai atau tiap tim yang diberi tugas tertentu.
5.    Mulai mengubah unit-unit kecil di instansi kemudian dorong agar perubahan itu menyebar ke unit-unit lain di seluruh instansi.
6.    Membuat peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk mengukuhkan perubahan, termasuk cara untuk mengukur perubahan yang terjadi.
7.    Mengawasi dan menyesuaikan strategi untuk merespons permasalahan yang timbul selama proses perubahan berlangsung.
b.    Strategi Reformasi Birokrasi
1.    Pada level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong Birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, gugatan).
2.    Pada level organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
3.     Pada level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.
4.    Instansi Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan perbaikan.
Strategi birokrasi yang profesional dalam pelayanan publik ini ditandai dengan beberapa karakteristik antara lain:
a.    Perubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisional menuju ke perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan.
b.    Keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan organisasi, pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan yang lebih luwes.
c.    Tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi program-programnya.
d.    Staf pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada pemerintah yang ada, dan dapat pula bersikap non partisan dan netral.
e.    Fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji pasar (market test) seperti misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan atau ditangani sendiri oleh pemerintah.
f.     Mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi.
g.    Birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas pemerintahan.
h.    Rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme.


2.3 Reformasi Birokrasi Di Indonesia
Reformasi yang terjadi menyusul jatuhnya Rezim Orde Baru ternyata tidak seperti yang diharapkan, yaitu reformasi yang mampu mengadakan perubahan kehidupan yang berarti bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain itu reformasi juga diharapkan untuk mampu memerangi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ( KKN ) dan membentuk pemerintahan yang bersih ternyata masih jauh dari realita. Praktek KKN dalam birokrasi pemerintahan dan pelayanan public masih terus berlangsung malah semakin merajalela. Keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan public yang efisien, responsive dan akuntabel masih jauh dari harapan. Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif juga tidak mampu menciptakan perubahan yang berarti dalam kinerja pemerintahan. Bahkan banyak diantara mereka akhirnya terperangkap dalam lumpur KKN dan ikut memperburuk kinerja birokrasi dan pelayanan publik.
Pada masa orde reformasi dan orde sesudahnya (hingga saat ini), reformasi birokrasi telah banyak diwacanakan dan diagendakan,bahkan mungkin telah betul-betul secara serius dilaksanakan. Beberapa diantaranya adalah diberlakukannya PP No.8 tahun 2003 tentang restrukturisasi organisasi pemerintah daerah dengan konsep MSKF (Miskin Struktur Kaya fungsi). Tujuannya jelas  adalah untuk rasionalisasi birokrasi di lingkup pemerintahan daerah. Kemudian juga ada perubahan paradigma dari UU Nomor 5 tahun 1974 yang menggunakan the structural efficensy model menuju UU Nomor 22 tahun 1999 yang selanjutnya diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2004 yang lebih cenderung menggunakan the local democracy model (Tim Fisipol Unwar,2006) . Agenda reformasi tersebut tampaknya merupakan jawaban atas semakin meningkatnya tuntutan masyarakat serta banyak didorong oleh konsep konsep perubahan yang datang dari luar Indonesia seperti entrepreneurial bureaucracy, reinventing government, good governance dan sebagainya.
Good governance misalnya, adalah suatu mekanisme kerja,dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya keadilan social dimana pemerintah diharapkan mampu secara maksimal melaksanakan 3 fungsi dasarnya yakni service,development,empowerment. Adapun konsekuensi dari pelaksanaan good governance,setidaknya terlihat dari 3 hal berikut :
1.    Pemerintah mengambil posisi sebagai fasilitator dan advocator kepentingan public.
2.    Adanya perlindungan yang nyata terhadap “ruang dan wacana” public,serta
3.    Mengakui dan menghormati kemajemukan politik dalam rangka mendorong partisipasi dan mewujudkan desentralisasi (ibid).
Meskipun banyak agenda reformasi telah diintrodusir,dalam prakteknya perubahan tersebut cukup sulit dilakukan. Beberapa data membuktikan bahwa birokrasi public di Indonesia pada era reformasi belum sepenuhnya siap menghadapi perubahan.
1.    Laporan dari the world competitivness yearbook tahun 1999 yang menyatakan bahwa birokrasi Indonesia berada pada kelompok Negara Negara yang memiliki indeks competitivness yang paling rendah diantara 100 negara yang diteliti (Cullen& Cushman,2000).
2.    Hasil penelitian PSKK UGM tahun 20000 di 3 provinsi yang menyimpulkan bahwa kinerja birokrasi dalam pelayanan public masih amat buruk disebabkan oleh kuatnya pengaruh paternalisme (Dwiyanto,20003).
3.    Hasil kajian political and economic risk consultancy di 14 negara tahun 2001,menyatakan adanya indikasi kinerja birokrasi di Indonesia yang makin buruk dan korup (Kompas,22 juni 2001)
Sementara itu, dalam lokus Negara berkembang, studi Dwight King (1989) mengungkapkan beberapa sisi buram ciri birokrasi di negara berkembang seperti :
1.    Tidak efisien, antara lain ditandai dengan adanya :
    Tumpang tindih kegiatan antar instansi
    Struktur, norma, nilai,dan regulasi yang ada juga masih berorientasi pada kekuasaan.
    Budaya birokrasi yang masih bersifat “dilayani” daripada “melayani”, dan
    Banyaknya posisi-posisi terpenting dalam lembaga birokrasi kita yang tidak diisi oleh orang-orang yang berkompeten.
Padahal, birokrasi pada suatu negara merupakan suatu lembaga penting yang merupakan alat negara dalam melayani masyarakat. Oleh karena itu, suatu perubahan pada birokrasi kita harus dilaksanakan, atau melaksanakan reformasi birokrasi.
2.    Jumlah pegawai yang berlebihan.
3.    Tidak modern atau ketinggalan jaman
4.    Seringkali menyalahgunakan wewenang.
5.    Tidak ada perhatian atau mengabaikan daerah daerah miskin dan tidak tanggap atas keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat.
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia pada dasarnya dimulai sejak akhir tahun 2006 yang dilakukan melalui pilot project di Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sejak itu, dikembangkan konsep dan kebijakan Reformasi Birokrasi yang komprehensif yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, dan Permenpan-rb No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Selain itu, diterbitkan pula 9 (sembilan) Pedoman dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi yang ditetapkan dengan Permenpan-rb No. 7 sampai dengan No. 15 yang meliputi pedoman tentang Pengajuan dokumen usulan sampai dengan mekanisme persetujuan pelaksanaan reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja.
Pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing instansi pemerintah dilakukan berdasarkan kebijakan/program/kegiatan yang telah digariskan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi dan Road Map reformasi Birokrasi, serta berbagai pedoman pelaksanaannya. Selanjutnya, pelaksanaan reformasi birokrasi memerlukan sistem monitoring dan evaluasi yang solid dan kredibel dan dapat mencerminkan suatu sistem pengukuran yang objektif, dan pengguna dapat menerima dan menindaklanjuti hasil dari sistem tersebut. Dalam rangka itu, ditetapkan Permenpanrb No. 1 Tahun 2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, dan untuk operasionalisasinya ditetapkan Permenpanrb No. 31 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Secara Online.
Pedoman dan Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah untuk melakukan penilaian upaya pencapaian program Reformasi Birokrasi sejalan dengan pencapaian sasaran, indikator dan target nasional. PMPRB mengkaitkan penilaian atas output dan outcome pelaksanaan program reformasi birokrasi di instansi pemerintah, serta pencapaian Indikator Kinerja Utama masing-masing instansi pemerintah dengan indikator keberhasilan reformasi birokrasi secara nasional.
Sistem Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), berperan sangat penting dalam mengetahui dan menilai serta mengawal pencapaian reformasi birokrasi sebagaimana diharapkan.


2.4     Birokrasi Indonesia Sebelum Reformasi
    Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.
    Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia pada masa Orde Baru adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisien dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.
    Keadaan ini pula yang menyebabkan timbulnya penyimpangan-penyimpangan berikut, seperti :
1.    Maraknya tindak KKN
2.    Tingginya keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap masyarakat tidak maksimal
3.    Pelayanan publik yang diskriminatif
4.     Penyalahgunaan wewenang
5.    Pengaburan antara pejabat karir dan non-karir


2.5     Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Guna Mengatasi Patologi Birokrasi
Beberapa perubahan yang perlu dilakukan pemerintah guna merespon kesan buruk birokrasi. Birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain:
a.    Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
b.    Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).
c.    Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d.    Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan.
e.    Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.
Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
Oleh karena itu, untuk merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan tenaga kerja birokrasi professional yang mampu menguasai teknik-teknik manajemen pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule oriented) tetapi juga pada pencapaian tujuan (goal oriented).




BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan beranggapan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh pejabat pemerintah (birokratisme) yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya reformasi birokrasi
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan nasional, regional, dan internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme, kompetensi dan akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur negara harus siap dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi. Oleh karena  itu, reformasi di tubuh birokrasi indonesia harus terus dijalankan demi tidak terciptanya lagi patologi birokrasi di Indonesia.
     Usaha untuk mendorong peningkatan kompetensi aparat birokrasi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, sebagai wujud profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, harus memerhatikan tiga hal pokok di bawah ini :
1.    Peningkatan kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah.
2.    Peningkatan etika dan moral birokrasi pemerintah.
3.      Peningkatan profesionalisme birokrasi pemerintah.
Tujuan reformasi birokrasi: Memperbaiki kinerja birokrasi, Terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, Pemerintah yang bersih (clean government), bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
3.2    Saran
1.    Diharapkan kepada Pemerintah untuk memperhatinkan pelayanan yang optimal kepada masyarakat.
2.    Untuk Peningkatan pelayanan, pemerintah  harus memberikan pelayanan yang merata di berbagai aspek
3.    Masyarakat bukan hanya sebagai pihak yang dilayani tetapi juga pengawas pelayanan maka pemerintah haruslah memperbaiki system pelayanan hal ini di karenakan takutnya ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah yang menjalankan pelayanan.
4.    Diharapkan juga kepada masyarakat agar lebih berpartisipatif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan korupsi.
5.    Mengupayakan penataan perundang-undangan, dengan menyelesaikan rancangan undang-undang yang telah ada, Agar reformasi birokrasi guna mencegah buruknya birokrasi dapat berjalan dengan baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.






DAFTAR PUSTAKA

Benveniste, Guy. 1997. Birokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. reformasi birokrasi public di Indonesia. Yogyakarta: UGM press.
Qodri azizy, abdul. 2007. Change management dalam reformasi birokrasi. jakarta: gramedia,
Thoha, Miftah. 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

- Copyright © Contoh Makalah - Date A Live - Powered by Seyoenita - Designed by Sopriadi -